Bentuk-bentuk Kejahatan Berbahasa di Media Sosial
- By Rizma Febrianti
- 19 Desember 2023
Pemanfaatan media sosial saat ini berkembang dengan pesat. Hal ini dapat dibuktikan dengan semakin populernya Instagram, Whatsapp, Facebook, Line, Youtube, Tiktok dan lainnya. Perkembangan media sosial menjadi revolusi yang hebat dalam komunikasi pada era modern ini. Media sosial memberikan fasilitas komunikasi secara terbuka bagi para pengguna. Adapun kegiatan komunikasi terbuka yang dilakukan para pengguna media sosial di antaranya memposting story, video dan foto. Setiap pengguna media sosial dapat dengan mudah berpartispasi dengan cara berbagi postingan menarik di media sosial. Kegiatan partisipasi dan berbagi ini bersifat individu, di mana kegiatan ini biasanya terjadi jika pengguna menganggap postingan menarik tersebut dapat mengedukasi atau menginspirasi. Kegiatan partisipasi dan berbagi ini akan menimbulkan berita viral yang dapat diakses oleh pengguna lain jika postingan yang dibagikan tersebut mengandung unsur SARA dan unsur-unsur negatif lainnya. Fenomena yang terjadi saat ini, postingan yang mengandung unsur negatif akan cenderung diminati oleh pengguna media sosial kemudian postingan tersebut menjadi viral.
Antarpengguna media sosial juga dapat melakukan berbagai macam interaksi. Bentuk-bentuk interaksi inilah yang dapat menjadi akar dari munculnya kejahatan berbahasa. Interaksi yang dapat dilakukan antarpengguna seperti mengomentari, mengkritik, memuji dan bahkan mencela. Jika diresapi lagi, penggunaan bahasa di media sosial relatif bebas. Pengguna dapat dengan bebas menggunakan bahasa untuk melakukan interaksi dengan pengguna lain tanpa menyaring kembali bahasa yang digunakan. Apakah bahasa tersebut dapat diterima dengan baik oleh pengguna lain atau sebaliknya.
Bahasa merupakan elemen penting dalam suatu komunikasi, baik secara lisan maupun tulisan. Bahasa yang dituturkan oleh seseorang sebaiknya mengandung norma dan nilai. Norma bahasa yang dituturkan mengacu pada aturan cara berkomunikasi dengan orang lain. Norma bahasa yang harus diperhatikan saat bertutur di antaranya kesopanan, etika berkomunikasi, tata bahasa dan kesesuaian konteks. Norma-norma ini akan membantu tujuan komunikasi supaya komunikasi dapat berjalan dengan lancar, menciptakan lingkungan yang nyaman dan dapat melatih penggunaan bahasa yang sesuai dengan norma bahasa dalam komunikasi. Jika seseorang melanggar norma-norma bahasa khususnya dalam komunikasi, maka suatu kejahatan dalam berbahasa akan terjadi. Hal ini juga mengacu pada konteks dan cara seseorang menerima tuturan itu sendiri.
Kebebasan berbahasa dalam media sosial dipicu oleh keinginan pengguna untuk menyebarluaskan hal-hal yang dianggap sukar untuk diterima. Selain itu, pemikiran tentang kebebasan dalam berekspresi di media sosial juga mengacu pada kebebasan dalam berbahasa. Seperti halnya, mengomentari suatu postingan pengguna lain yang secara individu dianggap tidak elok dengan menggunakan kata-kata negatif yang terkesan menjatuhkan. Contoh tersebut akan menarik perhatian pengguna lain sehingga menimbulkan komentar-komentar serupa sebagai suatu respons terhadap postingan tersebut. Hal ini sudah terjadi di media sosial saat ini bahkan kian berkembang pesat. Pengguna media sosial Indonesia biasa disebut warganet. Warganet aktif memberikan respons berupa komentar-komentar kepada postingan artis, selebgram, atau pemerintahan. Konteks komentar yang dituturkan warganet biasanya berupa komentar negatif, respons dari ketidaksetujuan terhadap keterangan dalam postingan tersebut.
Tindak kejahatan berbahasa dalam media sosial berasal dari hal-hal yang sudah diterangkan sebelumnya. Sikap selektif dan waspada dalam menggunakan media sosial harus tertanam dalam diri setiap individu. Karena kejahatan berbahasa dalam media sosial bisa saja dialami oleh siapa pun. Adapun bentuk-bentuk kejatahan berbahasa yang perlu diketahui untuk meningkatkan sikap waspada di antaranya, yaitu:
1. Pelecehan atau penghinaan yang meliputi suatu ancaman, ujaran kebencian, pelecehan dalam bentuk lisan dan intimidasi.
2. Penyebaran informasi palsu (hoaks) merupakan penyeraban berita yang salah atau tidak benar sehingga membuat seseorang tersesat dan merugi.
3. Cyberbulliying merupakan tindakan intimidasi dan penghinaan yang dilakukan secara berulang. Hal ini dapat berupa komentar negatif, penghasutan, meme yang bermaksud merendahkan dan postingan klarifikasi yang bersifat menjatuhkan.
4. Penghinaan agama dan kebencian etnis merupakan suatu tindakan menggunakan media sosial untuk melakukan aksi penyebaran kebencian terhadap agama dan etnis sehingga menimbulkan permusuhan.
5. Pelanggaran privasi merupakan tindakan menyebarluaskan informasi seseorang baik nama, alamat, nomor telepon, tindakan, sikap dan hal lainnya yang mengacu kepada pribadi seseorang.
6. Menggunakan hastag untuk tujuan negatif merupakan aksi memviralkan kebencian terhadap sesuatu baik kemunitas, agama, etnis atau antarindividu.
Berdasarkan pemaparan mengenai bentuk-bentuk kejahatan berbahasa di media sosial yang saat ini sedang marak terjadi, sikap waspada dan selektif dalam menerima infomasi dari media sosial sangat diperlukan. Selain itu, pemikiran mengenai kebebasan berekspresi di media sosial juga harus diminimalisir. Bentuk-bentuk ekspresi yang didasari oleh kebencian akan memunculkan respons negatif dalam tuturan lisan di media sosial. Dengan demikian, kejahatan berbahasa di media sosial akan terus berkembang dalam berbagai bentuk yang akan meresahkan banyak pihak.
Referensi:
1. Sholihatin, E. (2023). Analisis Kejahatan Berbahasa Akibat Konten Media Sosial Ekida Rehan" Berjoget Menggunakan Atribut Dokter" di Twitter. COMSERVA: Jurnal Penelitian dan Pengabdian Masyarakat, 3(03), 838-848.
2. Aulia, K., Wardinasahira, P., Cintani, N. L., Nisrina, N. A., & Sholihatin, E. (2023). Dampak Penggunaan Teknologi Internet Melalui Tiktok Akun Gosip Terhadap Etika Berbahasa. JURNAL SYNTAX IMPERATIF: Jurnal Ilmu Sosial dan Pendidikan, 4(2), 146-155.
3. Herwin, H., Mahmudah, M., & Saleh, S. (2021). Analisis Kejahatan Berbahasa Dalam Bersosial Media (Linguistik Forensik). Fon: Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, 17(2), 159-168.
Komentar