Mawar Merah di Meja Guru

  • By IBW Widiasa Keniten
  • 25 November 2022
internet

HARI itu, 25 November, guru-guru di SMA Cinta Kasih menikmati kemeriahan. Beberapa mengucapkan syukur dengan mengadakan pesta kecil-kecilan. Kebahagiaan walau kecil, tapi penuh makna. Salam sapaan selalu terucap di bibir anak-anak bangsa yang ingin mengisi relung hatinya dengan keberagaman ilmu pengetahuan. Dengan ilmu pengetahuan, kegelapan hati bisa disinari. Ilmu adalah sinar bagi kehidupan.

          “Pagi,” begitulah jawaban Putu, guru muda di SMA Cinta Kasih. Tas hitam selalu melekat di pundaknya sebagai ciri khasnya. Ia sosok yang menginspirasi peserta didiknya. Guru muda yang memberi harapan pada masa depan bangsa.

          Langkahnya pasti saat menasuki pintu kelas. Ia tatap wajah anak-anak didiknya. Ia hitung satu per satu. “Ke mana Putri?” tanyanya.

          “Itu ada suratnya Pak. Katanya kondisinya kurang bagus hari ini.”

          “Oh begitu, ya.”

          Putri sosok remaja yang selalu ceria di kelasnya. Di hari itu, terasa sepi. Tak ada kata-kata nyeletuk dari bibir saat ketegangan pembelajaran. Remaja yang aktif berorganisasi di sekolahnya itu seakan tak pernah bersedih. Waktunya tak pernah disia-siakan.

          “Musim-musim seperti ini rentan untuk sakit. Untuk itu, jaga kesehatan. kesehatan fisik dan juga kesehatan hati.”

          “Benar Pak. Lebih-lebih kesehatan hati. Bisa lever kalau hati tak sehat.” Gelak tawa memecah keheningan di kelas. Putu tersenyum mendengar canda tawa anak-anak di kelas itu. Ia merasakan sesuatu yang tertinggal di kelas itu saat mengenal nama Putri. Ia teringat saat kuliah dulu pernah merajut kasih dengan teman kuliahnya dengan nama Putri. Gerak-geriknya seirama dengan anak didiknya yang namanya sama. Ceria dan selalu memberi semangat setiap hatinya merasa gundah.

          “Kenapa, aku teringat pada Putri? Bukankah ia sudah bahagia bersama pilihan hatinya. Apa hakku memikirkan Putri? Ah, dasar masa lalu yang susah dibuang.” Ia tak tahu raut wajahnya diperhatikan oleh anak didiknya. “Anak-anak kita bersepakat kemarin membuat kalimat yang berisi kata cinta. Ada yang mau mencoba?”

          “Saya Pak,” jawab Dewa. “Cinta terkadang membuat hati terasa perih.”

          “Preeeeeeeeeeeeeeeeet!” jawab teman-temannya.

Guru muda itu tersenyum. “Ada lagi?”

“Jika jatuh cinta, tai kucing terasa cokelat.”

“Waduh. Makan itu cinta, Mery.”

“Dibandingkan tak bisa buat kalimat,” jawabnya santai.

“Cintailah ibumu seperti mencintai dirimu.”

“Gaya kali kau, kayak filosof saja.”

“Sudahlah. Bapak bangga kalian sudah bisa membuat kalimat dengan kata cinta. Cinta itu memberi keindahan pada jiwa. Jika kita bisa merasakan cinta Tuhan kepada kita, kita selalu merasa bersyukur. Bersyukur masih bisa belajar. Bersyukur masih bisa bersekolah.  Jika Tuhan tidak cinta sama kita, bapak yakin tak akan sempat bertemu dengan kalian. Cinta itulah yang mempertemukannya.”

“Tapi, Pak. Cinta juga membuat perih hati.”

Guru itu tak menjawabnya. Ia alihkan ke materi selanjutnya. Kita akan membahas materi baru tentang majas dalam karya sastra. Ia suruh anak-anak di kelas itu untuk mencari majas-majas di google. Ia tak membatasi pada buku cetakan saja. Keberagaman sumber belajar menjadikan ia dicintai oleh anak-anak di SMA Cinta Kasih.

Saat akan keluar kelas, anak-anak di kelas itu berdiri dan menyanyikan lagu, Guruku Tercinta, Guru Tersayang. Anak-anak bergiliran menyalaminya. Hatinya merasa terenyuh. Tak terasa air matanya menetes. Ia merasa sebagai guru muda yang belum terlalu banyak berpengalaman dalam mendidik dan mengajar. Tapi, sentuhan kasih dan cinta itulah yang dirasakan oleh anak-anak di kelas itu.

“Terima kasih, anak-anak. Kalian generasi hebat. Majulah bersama. Jangan sia-siakan hari-harimu.”

Bergantian anak-anak didiknya ke depan menyalami dan mengucapkan, “Selamat Hari Guru.”  Ia bawa bingkisan itu ke ruang guru. “Wah, Putu sudah dapat bingkisan dari anak-anak.”

Ia tersenyum menuju meja kerjanya. Ia tertegun saat melihat setangkai bunga mawar di atas mejanya. Lamat-lamat ia baca nama Putri dalam sebuah lukisan jantung. “Putri? Putri siswaku? Atau Putri yang dulu? Kalau Putri di kelas? Tadi tidak masuk? Kalau Putri teman kuliah, tak mungkin. Ia sudah menikah. Putri yang mana?” bisiknya.

Guru muda itu tak berani menanyakan kepada guru-guru yang ada di dekatnya. Ia pegang bunga mawar itu. Harumnya merambat di hatinya, tapi durinya terasa menusuk jantungnya.


TAGS :

IBW Widiasa Keniten

Ida Bagus Wayan Widiasa Keniten lahir di Giriya Gelumpang, Karangasem. 20 Januari 1967. Lulus Cum Laude di Prodi Linguistik, S-2 Unud 2012. Tulisan-tulisannya tersebar di berbagai media massa berupa esai, karya sastra maupun kajian bahasa dan sastra baik dalam bahasa Indonesia maupun bahasa Bali. Cerpen-cerpennya pernah memenangkan lomba tingkat Nasional maupun provinsi.

Komentar