Pasien
- By AG Pramono
- 02 Januari 2024
Cerpen: AG Pramono
RUMAHNYA penuh dengan lukisan. Sebagai pengantin baru, Sukat harus lebih jarang meninggalkan rumah. Lelaki berperawakan kurus dan rambut sepundak itu merasa optimis, mempertaruhkan jiwa raganya ke dalam kanvas. Ia sangat paham, berumah tangga bukannya hal yang sepele. Istrinya, seorang perawat di sebuah rumah sakit negeri. Selain seorang perawat, istrinya juga seorang penari. Bakat tari di diri istrinya, sudah tertanam sejak kecil. Walau akhirnya tak masuk sekolah jurusan tari, tetapi malah terdampar di kampus sekolah keperawatan. Itulah sosok istrinya. Sukat memilihnya, karena di dalam diri istrinya masih mencintai kesenian, walau sehari-sehari berurusan dengan pasien dan obat-obatan. Kebiasaan menari, dia tunjukan di hadapan Sukat setiap hari. Nuning minta tubuhnya jadi model lukisan suaminya. Jika Sukat sedang melukis, Nuning selalu menari-nari memperagakan caranya merawat pasien. Pernah sekali waktu Nuning minta dirinya dilukis dan Sukat selalu mengelak. Meskipun sebenarnya dia tak mau melukis tubuh istrinya sendiri. Katanya, tubuh istrinya tidak imajinatif.
Kendati tak dianggap cocok untuk dilukis, setiap hari Nuning selalu ingin membuktikan bahwa dirinya adalah sosok yang perlu dituangkan ke dalam kanvas. Begitulah ia selalu menari di hadapan Sukat.
***
Suatu hari Nuning siap untuk dilukis lagi. Diambilnya sebuah kuas lalu dicelupkannya ke dalam cat warna. Tubuh istrinya itu seolah-olah masuk ke dalam kanvas. Sukat menatap, lalu diambilnya kuas dan dimulai dengan tarikan garis di kanvasnya.
Nuning menari. Ia seperti sedang merawat seorang pasien. Musik pun mengalun. Nuning terus menari. Gerakannya semakin teratur. Nuning menari dan terus menari. Amboi, tarian Nuning menjadi lain. Kanvas itu benar-benar hidup. Tangannya seperti hembusan angin. Sangat romantis.
Ia seperti melihat pepohonan tertiup angin. Tubuh Nuning terus bergerak. Sukat terpaku. Dinding rumahnya mulai lain warnanya. Lampu kecil di atas bergoyang-goyang, sehingga tubuh Nuning diselimuti bayang-bayang di dinding. Sukat masih tak percaya. Apakah yang dipandangnya itu istrinya atau bukan? Matanya terbelalak menatap bayang-bayang siluet istrinya di dinding, di atas meja, di daun pintu, di ventilasi, serta di plafon rumah. Goyangan cahaya lampu mengganggu pandangannya. Selang tak berapa lama, Nuning kembali menari dan melekukan tubuhnya lebih lentur lagi. Sukat seperti tersadar dan tak menginginkan jika istrinya terus menerus seperti mengigau dengan tak henti-hentinya menari.
“Ning, bangun Ning,” ucap Sukat sambil mendekap tubuh istrinya.
Nuning tak menggubris. Ia berusaha berontak dan melepaskan dekapan suaminya. Nuning memejamkan matanya rapat-rapat. Tubuhnya tegang. Sepertinya ada yang ingin dikeluarkan dari tubuhnya. Selang beberapa menit, ia muntah. Lalu tubuhnya lemas dan terkulai. Nuning pingsan. Sukat langsung memapahnya ke kamar. Berkali-kali digoyang-goyangkan tubuh Nuning lalu dipijat-pijat kakinya, tangannya, kepalanya, tetapi semuanya sia-sia. Nuning tidak bangun-bangun juga. Sukat mulai bingung. Ia keluar memanggil beberapa tetangga dekatnya. Setelah itu, ia kabur mencari seorang dokter. Ia ingat ada kenalan dokter yang tidak begitu jauh dari rumahnya.
Sesampainya kembali, betapa terkejutnya Sukat. Nuning sudah kembali menari lagi. Dokter Bahrun hanya tersenyum sambil menepuk-nepuk pundak Sukat. Sukat masih tak percaya. Beberapa tetangganya mohon diri.
“Tadi istri bapak tiba-tiba saja bangun lalu mengambil sebuah kuas dan menyuruh kami menyetel lagu ini. Kami takut pak, kalau tidak dituruti, ia mengancam mau pingsan lagi. Ya, terpaksa kami turuti kemauannya, lalu ia menari,” kata salah seorang tetangganya.
“Terima kasih bapak-bapak, ibu-ibu. Gara-gara istri saya, semuanya jadi repot. Sekali lagi, terima kasih, terima kasih,” Sukat mengangguk berkali-kali. Lalu mereka mohon diri. Dokter Bahrun masiih berdiri di samping Sukat.
“Pak dokter, saya minta maaf. Gara-gara istri saya, pak dokter jadi meninggalkan pasien yang lain,” mohon Sukat. Dokter Bahrun hanya tertawa lalu menepuk-nepuk pundak Sukat.
“Jadi istri saya, sakit apa dokter?” tanya Sukat.
“He, he, he…., istrimu tidak sakit. Tetapi obatnya ada pada dirimu. He, he…., istrimu minta dilukis,” jawab dokter Bahrun pelan.
“Jadi …”
“Ya, istrimu minta dilukis. He, he…., Nuning itu suster teladan jadi wajar jika dirinya minta dihargai,” jelas dokter Bahrun. Sukat terdiam, lalu mereka saling berjabatan tangan Sementara Nuning terus menari.
***
Suatu hari Nuning tiba-tiba bernyanyi sekeras-kerasnya. Lalu dia kembali minta, tubuhnya dilukis pagi itu. Sukat cepat-cepat mengambil peralatan lukisnya. Sukat khawatir, bila tak segera dituruti kemauannya, istrinya akan kembali mengigau, sambil menari sesuka hatinya. Bahkan akan mengoleskan cat warna itu ke seluruh tubuhnya.
Diambilnya kuas, lalu Sukat menarik garis pertama di atas kanvas. Angin tiba-tiba berembus, Sukat merasa gagal. Setiap tarikannya belum begitu kuat, menahan sudut pandangannya yang benar-benar dahsyat. Tampaknya, Nuning tak tahan, sehingga dia kembali menari sambil memejamkan matanya. Tangan Sukat gemetar. Seperti sulit menarik garis yang diinginkannya. Tarian Nuning begitu berat dihayati. Semuanya saling tarik-menarik. Mulai dari matanya, hidungnya, rambutnya, lehernya, dagunya, pundaknya, tangannya, dadanya, pinggulnya, sampai lekukan jari-jari kakinya. Sukat gagal lagi. Setiap tarikan garis yang satu dengan yang lainnya selalu terputus-putus. Kadang-kadang hidungnya tak sempurna, kadang-kadang lehernya memanjang, kadang-kadang matanya tak jelas, kadang-kadang dadanya kehilangan bentuk, kadang-kadang kakinya meliuk-liuk seperti ular.
“Aneh,” bisik Sukat sambil merenung.
Esoknya, sebagaimana biasa, Nuning berangkat kerja. Sukat mengantarnya hingga pintu depan. Matahari mengiringi langkahnya. Sukat memandangi Nuning hingga di ujung jalan. Cahaya keluar dari atas kanvas yang telah terolesi cat-cat. Sukat menoleh. Ia lihat lukisan tubuh istrinya yang selalu gagal digoresnya. Sukat memandangnya dengan seksama. Di dalam hati, ia bertanya-tanya kenapa ia selalu gagal melukis istrinya sendiri. Dipegang lekukan-lekukannya, arsirnya, tebal tipisnya bahkan sapuan yang melintang di setiap sudutnya.
“Aneh,” bisik Sukat. Dipegang kanvas itu lalu diangkatnya.
“Tidak, aku tak boleh gagal!” bentaknya.
Sukat tiada punya pilihan lain kecuali pergi ke dokter Bahrun. Di pikirannya, hanya dokter Bahrunlah yang bisa diajak bicara. Maka segeralah ia ke rumah dokter itu. Sesampainya di sana dokter Bahrun tertawa mendengar penuturan Sukat. Sukat dengan serius bercerita tentang lukisan. Sekali lagi dokter Bahrun hanya menepuk-nepuk pundak Sukat.
“Cobalah dokter, berilah saya resep agar lukisan ini sempurna,” pinta Sukat.
“Lucu, lucu, kenapa kamu bertanya kepada saya. Itu kan bidangmu. Seharusnya kamu yang lebih mengerti,” ucap dokter Bahrun balik bertanya.
“Saya serius dokter,” pinta Sukat lagi.
“He, he…, kamu benar-benar lucu,” jawabnya.
“Tetapi setidaknya dokter kan lebih paham, karena Nuning itu seorang perawat,” tutur Sukat. Lagi-lagi dokter Bahrun tertawa, bahkan kali ini lebih keras.
“Sukat, Sukat. Nuning itu kan istrimu, jadi kamulah yang lebih tahu luar dalamnya. Kenapa harus saya,” ledek dokter Bahrun.
“Tetapi, saya benar-benar tidak tahu apa maunya. Berhari-hari kerjanya hanya menari. Tariannya seperti sedang merawat seorang pasien. Ia pikir rumahku rumah sakit apa!” keluh Sukat.
“Sukat, Sukat. Masak kamu tak mengerti juga. Nuning itu kan kerjanya setiap hari merawat pasien. Jadi wajar kan di rumah prilakunya seperti itu. Kenapa kamu tidak sadar bahwa kamu sekarang jadi pasiennya. Saya ingin tanya, sudah berapa lama sih kamu kawin dengannya?” kata dokter Bahrun.
“Baru satu bulan,” jawab Sukat.
“Waktu satu bulan, sudah cukup lama untuk memahami semua itu. Bersabarlah, nanti kamu akan menemukannya sendiri,” jelas dokter Bahrun.
“Lalu saya harus bagaimana?” Sukat menepuk-nepuk kepalanya.
“Jadilah, pasien yang setia,” jawab dokter Bahrun.
“Apa, jadi pasien? Saya tidak sakit!” teriak Sukat.
“Sakit maupun tidak sakit, ya tetap menjadi pasien,” ucap dokter Bahrun.
Setelah mendapat nasehat dari dokter Bahrun, Sukat mohon diri. Di pikirannya masih berkelenjotan bermacam-macam pertanyaan. Matahari menyengat tubuhnya. Garis-garis yang membujur di atas kanvasnya mulai pudar warnanya. Sesampainya di rumah, betapa terkejutnya Sukat, melihat Nuning sudah berdiri di hadapannya sambil menari.
“Ning, bangun Ning, kamu bermimpi!” bentak Sukat.
***
Di sebuah rumah sakit, Nuning sedang merawat seorang pasien.
“Bapak Sukat,” seorang perawat mempersilakan masuk ke dalam.
“Saya suster,” jawab Sukat.
Di depan pintu rumah sakit mereka saling berhadapan, lama sekali dan perlahan-lahan mereka sama-sama menundukkan wajahnya. Kanvas itu tiba-tiba kosong tanpa garis.
Komentar