Tak Ada Laki-laki tanpa Perempuan di Sampingnya
- By AG Pramono
- 12 Oktober 2023
DUA sosok manusia, sebut saja namanya Lelaki dan Perempuan. Mereka tak menyangka, setelah bertahun-tahun berpisah akhirnya bertemu kembali di suatu tempat. Entah apalah namanya pertemuan itu, reuni atau semacam cinta lama bersemi kembali. Yang jelas, pertemuan mereka, tak pernah direncanakan sebelumnya. Maunya pertemuan itu hanya sekadar bertemu saja, tapi karena masih kangen, mereka memilih untuk melanjutkan ceritanya di dalam kamar.
Pukul 19.00 (Lelaki mulai cerita).
“Betapa terganggunya saya ketika tak kusadari kita bisa bertemu kembali dan betapa sibuknya saya ketika segalanya dari kita menjadi kanak-kanak lagi. Sungguh tidak kukira, pertemuan ini bisa terjadi. Padahal sedikit pun saya tidak menghendaki pertemuan ini terjadi lagi. Kamu masih seperti dulu dan saya tidak bisa lagi menyusun kata-kata. Segalanya sudah nampak di depan mata saya. Nakalnya kamu, manjanya kamu, cengengnya kamu, lucunya kamu, bodohnya kamu, dah, ah... semua itu tiba-tiba ada di depan mata saya. Saya tidak pernah lupa itu. Ya, masa kanak-kanak itu begitu lengket terekam di kepala saya.”
Pukul 19.30 (Lelaki mulai sibuk mengenang masa kecil)
“Ah, pertemuan ini begitu cepat membongkar album masa kanak-kanak kita. Tapi, jangan bilang sama siapa-siapa, cukup saya dan kamu saja yang tahu. Dan, kamu jangan senang dulu. Pertemuan ini, membuat saya terganggu. Saya menduga, pertemuan ini, sepertinya ada yang merekayasa. Sekarang kamu, sudah berada di depan mata saya. Mudah-mudahan, kamu sadar itu.”
Pukul 20.00 (Lelaki tertawa mendengar ceritanya sendiri).
“Ah maaf, sebenarnya saya tidak ingin menertawaimu. Karena saya tak ingin masa kanak-kanak kita terhapus begitu saja. Mudah-mudahan, kamu tak salah mengartikan pertemuan kita ini. Sebab drama kanak-kanak masa lalu itu, hanya kita yang memerankannya. Entah tokoh apa yang sedang kita perankan pada drama itu. Aku pun tidak paham. Yang jelas, dongeng kecil masa kanak-kanak itu, tiba-tiba menjadi cerita pada pertemuan ini. Kamu yang nakal dan saya yang suka usil mengganggumu. Ah, entahlah.”
Pukul 20.30 (Lelaki mulai memegang tangan Perempuan)
“Tapi tolong, dongeng kecil itu jangan kamu hapus. Ingat pertemuan ini, hanya kita saja yang tahu. Coba, kamu atur waktu ini, biar pertemuan ini tidak terlalu singkat. Saya tak akan mungkir, dongeng kecil itu memang pernah kita perankan bersama. Jika muncul kembali pada pertemuan ini, kuminta jangan saling menyalahkan. Kendati pun saya terganggu dengan pertemuan ini.”
Pukul 21.00 (Lelaki mulai kehabisan cerita, Perempuan masih terdiam dan sesekali tersenyum)
“Ah, apa yang harus saya ceritakan lagi. Semua cuma lewat begitu saja. Saya hanya minta, simpan baik-baik dongeng kanak-kanak kita itu. Apalagi kamu kan tahu, dongeng masa kanak-kanak kita itu, lebih banyak mengundang tawa. Karena itu lebih baik, jangan sampai ada yang tahu tentang pertemuan kita ini, apalagi sampai tahu tentang dongeng kecil yang sempat kita perankan.”
Pukul 21.30 (Lelaki mulai mendekat, Perempuan malu, tubuhnya sedikit digeser).
“Tapi, saya mulai terganggu lagi. Sebab untuk membuka album cerita dongeng kecil itu, harus membongkar-bongkar pikiran kita, apalagi ingatan kita terkadang mudah lupa. Tapi, ehm… sebentar ya, mudah-mudahan, saya masih menyimpan album cerita yang lain tentang kita. O ya, selain tentang sifat kamu yang cengeng dan manja, saya juga ingat, desa tempat tinggal kita, jalannya sangat becek kalau hujan turun terus menerus. Kamu masih ingat dengan sungai di ujung desa itu. Ya, sungai yang selalu kita datangi setiap sore dan kita mandi di sana. Lalu pohon-pohon besar di sekitarnya, menjadi sasaran untuk kita panjat bareng-bareng.”
Pukul 22.00. (Lelaki berusaha mendekat lagi, lalu….)
“Tapi saya minta kamu jangan senang dulu. Sebab saya mulai terganggu lagi, terutama mengganggu mata saya. Karena…ng, ng, ng, ng, kamu cantik.”
Lampu tempat pertemuan itu tiba-tiba padam. Pet! Gelap…, Lelaki dan Perempuan terdiam. Sepi …, entah apa yang terjadi.
Lalu sekitar pukul 22.30, tiba-tiba pintu kamar tempat mereka bertemu diketuk orang. Lelaki kaget. Lampu kembali menyala. Dan betapa kagetnya, ketika pintu dibuka, satu regu Hansip sudah berada di depan matanya.
“Kalian kami tangkap!” ujar salah seorang dari mereka yang berbadan gemuk.
“Salah kami apa pak?” tanya Lelaki heran.
“Kalian sudah berbuat mesum. Karena kalian bukan sepasang suami istri,” tegasnya.
“Kami ini tidak sedang yang bapak maksud, kami hanya melakukan pertemuan yang orang lain tidak boleh tahu,” ujar Lelaki berupaya menjelaskan.
“Sudah jangan banyak berkelit,” bentaknya.
“Lho, kenapa bapak tak percaya,” sahut Lelaki agak menantang.
“Sudah, jangan banyak cincong, ayo ikut kami ke kantor desa,” desak Hansip itu.
Lelaki tak mau. Sementara tangan mereka dipegang erat sekali. Dengan sekuat tenaga, Lelaki berontak bahkan berupaya melakukan perlawanan. Namun tenaga kelima Hansip itu, cukup kuat. Sehingga mereka berhasil digiring ke kantor desa. Sesampai di kantor desa, mereka dicerca sejumlah pertanyaan. Lelaki berusaha menjawab apa adanya. Tetapi kelima Hansip itu tetap tak percaya, bahkan berupaya mengejar dengan pertanyaan-pertanyaan yang menggiring supaya Lelaki mengaku.
“Nama kamu, siapa?” tanya salah seorang dari kelima Hansip itu.
“Lelaki, pak,” ujar Lelaki singkat.
“Kami tahu, kalau kamu itu laki-laki, tetapi kami tanya siapa nama kamu,” tanyanya kembali.
“Lelaki,” sahut Lelaki lagi.
“Jangan main-main, nama kamu siapa,” ujarnya mulai geram.
“Nama saya Lelaki, kalau di kota nama saya biasa dipanggil Cowok, kadang juga kalau di sekolah sering dipanggil Pria,” ujar Lelaki berusaha menjelaskan.
“Mana KTP,” pinta salah satu Hansip lainnya.
Lelaki menggeleng dan mengaku tidak punya. Dia mengaku masih sekolah.
“Kalau begitu kartu pelajar,” desaknya.
Lagi-lagi Lelaki menggeleng dan mengaku tidak punya.
“Berarti kamu tak jelas, tidak punya identitas,” bentak Hansip yang bertubuh gemuk sambil mencatat pelanggaran serta sejumlah pasal yang disebutkannya.
“Lalu adik ini, namanya siapa,” ujar Hansip gemuk itu mengarah pada Perempuan yang berada di samping Lelaki.
“Perempuan, pak,” sahut Perempuan ringan.
“Ini lagi, macam-macam, kami sudah tahu, kamu perempuan. Jangan main-main!” bentaknya.
“Benar pak, kalau di desa namanya saya Perempuan, karena di kota nama saya berubah jadi Cewek, gitu pak,” sahut Perempuan sambil mengangguk-angguk.
“Baik, sekarang mana KTP atau kartu pelajar,” pintanya.
“Kalau KTP ndak punya, kalau kartu pelajar saya ndak sekolah pak,” ujarnya.
“Ah, kamu ini tidak jelas juga. Kalau gitu kalian kena pasal yang berat,” ujar salah seorang Hansip yang bertubuh jangkung.
Lelaki dan Perempuan terdiam dan sedikit menunduk.
“Apakah kalian sepasang kekasih, lalu memilih pacaran di tempat yang gelap, begitu,” ujar Hansip gemuk itu lagi.
“Kami bukan sepasang kekasih,” ujar Lelaki.
“Lalu kenapa kalian bertemu di tempat gelap,” serangnya.
“Kami ndak tahu, tiba-tiba lampu padam.”
“Lalu, kalian sudah berbuat apa di sana.”
“Ndak melakukan apa-apa, kecuali hanya bercerita tentang masa kecil kami.”
“Ah, ndak masuk akal, kalau laki-laki dengan perempuan di tempat gelap, pasti sudah saling nyosor.”
“Jangan berprasangka dulu pak, kami hanya bertemu,” ujar Lelaki dan Perempuan serempak.
“Lalu kalian, ngapain aja,” kejarnya.
“Reuni aja, pak.”
“Reuni kok di tempat gelap, apalagi di dalam kamar,” desaknya.
“Kami juga tak menyangka, bertemu kembali. Dan kami juga ndak tahu, lampu di tempat kami bertemu tiba-tiba padam,” jelas Lelaki.
Lantaran proses pemeriksaan berlangsung cukup lama hingga dini hari, membuat kelima Hansip itu ngantuk dan tertidur. Mereka letih dan kembali lagi ke kamar, bercengkrama tentang masa kecil serta jalan-jalan desa yang becek. Tiba-tiba lampu di kamar itu kembali padam. Mereka khawatir, kalau ada yang mengetuk pintu itu lagi, sehingga mereka memilih bercengkrama di lapangan sepakbola saja. Esok paginya, Lelaki dan Perempuan ditemukan tertidur di rerumputan.
Komentar