Turis Balinesia
- By Ketut Sugiartha
- 03 Oktober 2024
Kepolosan Turis Balinesia
Sampai saat ini, sudah delapan tahun lamanya Penerbit Pustaka Ekspresi turut berkiprah dalam upaya memasyarakatkan sekaligus mengembangkan sastra Bali modern. Selain mengutamakan penerbitan buku-buku sastra Bali modern, Pustaka Ekspresi juga aktif menyelenggarakan lomba naskah buku sastra Bali modern walau masih terbatas pada naskah kumpulan cerpen dan kumpulan puisi. Lomba yang dikenal dengan sebutan Gerip Maurip ini dimulai pada tahun 2017 dan telah memunculkan sejumlah penulis buku sastra Bali modern di antaranya Putu Supartika, Ketut Sugiartha, I Nyoman Agus Sudipta, IGB Weda Sanjaya, Komang Adnyana, I Putu Wahya Santosa, Esa Bhaskara, Ni Wayan Adnyani dan lain-lain.
Turis Balinesia karya I Wayan Nuryana ini termasuk salah satu naskah kumpulan cerpen Bali modern terpilih pada lomba sastra Bali modern Gerip Maurip 2024. Di dalam buku yang berisi 12 judul cerpen ini Nuryana mengangkat beragam kisah hidup yang lumrah terjadi di tengah masyarakat, mulai dari masalah rumah tangga, pencemaran lingkungan, pengaruh negatif teknologi modern, pengkhianatan, pragmatisme, pariwisata, selain juga kerinduan akan masa lalu dan kesadaran akan pentingnya menjaga kelestarian budaya serta lingkungan hidup.
Penulis mengawali bukunya dengan cerpen berjudul “Bangkrut”, berkisah tentang suami-istri kaya yang mengalami masalah klise: punya anak terlampau manja dan arogan karena segala keinginannya dikabulkan dengan limpahan harta. Sadar akan kekeliruan yang telah dilakukan, sang suami-istri kemudian pura-pura bangkrut dan terpaksa mengirim si anak ke kampung kakek-neneknya untuk belajar menjalani hidup sederhana. Upaya itu ternyata membuahkan hasil, perilaku si anak berubah seratus delapan puluh derajat.
Selanjutnya penulis menyuguhkan “Barong A Tugel” dan “Judol” yang bercerita tentang anak-anak yang keranjingan produk teknologi modern bernama HP dan bahkan ada yang sampai menjadi korban judi dalam jaringan.
Yang menarik adalah cerpen “Ngwangun Desa”, “Operasi Plastik”, dan “Warung Men Turi”. Dua cerpen pertama menyangkut kesadaran kolektif, kepedulian untuk melestarikan budaya dan lingkungan hidup, sedangkan “Warung Men Turi” menyiratkan kepedulian akan sesama, kesadaran untuk berbagi kasih atau kebaikan terhadap orang lain yang tanpa disadari kemudian mendatangkan kebaikan juga bagi diri sendiri.
Adapun “Emas-emasan”, “Sebet”, dan “Wong Jompo” mengangkat persoalan rumah tangga yang tak jarang terjadi di lingkungan masyarakat, baik rural maupun urban, menyangkut ketidakharmonisan hubungan antara adik ipar dengan kakak ipar, suami dengan istri dan bahkan antara orangtua dan anak-anaknya.
Kejelian Nuryana dalam memilih beragam tema menjadikan kumpulan cerpen ini layak untuk disimak. Akan tetapi, kepolosan penggarapan seorang pemula yang tercermin dari satu cerita ke cerita lainnya, menjadikan pesan yang tersirat di dalamnya kehilangan roh. Agaknya penulis belum memiliki cukup bekal dalam menuliskan cerita-ceritanya. Di samping alur ceritanya belum tertata dengan baik, konflik-konflik yang disuguhkan juga terasa datar-datar saja, belum mampu memicu ketegangan batin pembaca atau memberi kesan mendalam.
“Turis Balinesia” yang dijadikan judul buku kumpulan cerpen ini juga tidak jauh berbeda dengan cerpen-cerpen yang lain, merupakan cerita ringan yang diangkat dari pengalaman di jalanan, menghadirkan para pelaku yang terlibat obrolan yang bersifat lucu tetapi tidak cukup berhasil mengundang tawa pembaca karena sudah menjadi hal yang dianggap biasa.
Memang, akan sia-sia jika kita berharap akan dapat menemukan penyelesaian yang meninggalkan kesan mendalam dari cerpen-cerpen yang disajikan dalam buku ini kecuali “Montor Tua”. Dalam cerpen ini Nuryana berhasil menyuguhkan sesuatu yang berbeda, menghadirkan tokoh cerita berupa sebuah sepeda motor tua. Cerpen ini berhasil memberikan kejutan tak terduga di akhir cerita.
Komentar