Perjalanan Hidup Kiayi Gusti Agung Pasek Gelgel
- By Ketut Sugiartha
- 24 Mei 2024
Ketokohan Kiayi Gusti Agung Pasek Gelgel sudah melegenda di Bali. Betapa tidak, beliaulah tokoh yang paling bertanggung jawab untuk menyelamatkan Bali setelah Kerajaan Bedahulu runtuh akibat serangan Majapahit.
Diperkirakan lahir pada tahun 1300, beliau yang memiliki nama asli Mpu Jiwaksara merupakan putra Mpu Dwijaksara II. Sampai tahun 1343 beliau menjadi patih senior pada pemerintahan Sri Astasura Ratna Bumi Banten alias Sri Tapaulung sehingga beliau disebut Ki Patih Ulung. Beliau memiliki peran penting dalam masa transisi dari pemerintahan Sri Astasura Ratna Bumi Banten ke pemerintahan Majapahit.
Mpu Dwijaksara II adalah keluarga Mahagotra Pasek Sanak Sapta Resi dari garis keturunan Mpu Witadharma. Beliau diutus ke Bali oleh Kryan Gajah Mada atas perintah Raja Kalagemet alias Jayanegara untuk menata kembali parhyangan-parhyangan di Bali terutama di Besakih, Lempuyang, Silayukti dan Gelgel. Jayanegara berkuasa di Majapahit sejak tahun 1309-1328. Pada masa itu Mpu Dwijaksara II sekaligus menduduki jabatan bagawanta kerajaan dan berasrama di Gelgel pada bekas pasraman Mpu Gana. Mpu Jiwaksara ikut datang ke Bali menyertai ayahandanya.
Pada pemerintahan Sri Astasura Ratna Bumi Banten, Mpu Jiwaksara diangkat menjadi Patih Amengku Bumi dengan gelar Ki Patih Ulung dan berkedudukan di Gelgel. Selain Mpu Jiwaksara, diangkat pula para senopati dan patih lainnya seperti: Ki Pasung Grigis di Tengkulak, Ki Kebo Iwa di Blahbatuh, Pangeran Tambyak di Jimbaran, Ki Kalung Singkal di Taro, Ki Tunjang Biru di Tenganan, Ki Tunjung Tutur di Tianyar, Pangeran Kopang di Seraya, Ki Buahan di Batur, dan Rakryan Girikmana di Ularan.
Ketika terjadi pertempuran antara Majapahit dengan Kerajaan Bedahulu, semua senopati perang tersebut takluk kepada Gajah Mada dan Arya Damar dari Majapahit. Di antara mereka ada yang tewas di medan perang, ada pula yang ditangkap kemudian ditawan.
Pejabat Kerajaan Bedahulu yang paling senior saat itu dan terbebas dari konflik perang dan masih hidup adalah Ki Patih Ulung. Sebab, beliau sejatinya adalah seorang brahmana yang karena dibutuhkan oleh kerajaan diangkat menjadi seorang Patih Amangkubumi.
Untuk menelusuri jejak perjalanan hidup Kiayi Gusti Agung Pasek Gelgel seutuhnya, kita mesti kilas balik ke tahun 1222 pada saat mana terjadi perseteruan antara Raja Kediri Kertajaya atau Dandang Gendis dengan kaum brahmana anak cucu Mpu Gnijaya yang menyebabkan mereka meninggalkan Kediri dan pergi ke Pasuruan. Mereka adalah: Mpu Pemacekan, Mpu Sangkulputih, Mpu Wiradharma, Mpu Paramadaksa, Mpu Pratekayadnya, dan Mpu Wiradangkya.
Sebelum perselisihan itu terjadi ada juga anak cucu Mpu Gnijaya yang meninggakan Kediri menuju Tumapel, yaitu Mpu Wiranatha dan Mpu Purwanantha bersama dua orang anaknya: Mpu Purwa dan Ken Dedes.
Pada saat terjadi ketegangan antara Dangdang Gendis dengan Ken Arok, para brahmana anak cucu Mpu Gnijaya merestui perjuangan Ken Arok dan bergabung mendukung suami Ken Dedes itu. Pada tahun itu juga meletus perang antara Tumapel di bawah Ken Arok melawan Kediri di bawah Dangdang Gendis di desa Ganter dan dimenangkan oleh pihak Tumapel. Ken Arok kemudian memproklamasikan berdirinya kerajaan baru yang diberi nama Singasari.
Dengan kekalahan Dangdang Gendis maka berakhirlah kekuasaan Dinasti Warma di Jawa dan diganti oleh dinasti yang didirikan oleh Ken Arok-Ken Dedes dengan nama Dinasti Rajasa. Jatuhnya Kediri oleh Singasari juga berdampak secara politik sampai ke Bali karena raja-raja Bali berasal dari Dinasti Warma, masih satu dinasti dengan raja-raja Kediri keturunan Airlanga.
Pada tahun 1267 Mpu Dwijaksara I atau Sangkulputih tiba di Gelgel. Beliau mulai membenahi dan membangun Pura Dasar Buwana Gelgel. Namun, situasi politik yang memanas akibat pertentangan Raja Bali yang masih setia dengan Dinasti Warma dengan Raja Singasari dari Dinasti Rajasa mengakibatkan pembangunan tersebut tidak bisa dilaksanakan sampai selesai.
Pada tahun 1286 Prabhu Kertanegara menyerang Bali yang dikuasai Dinasti Warma. Penyerangan ke Bali didahului dengan penciptaan mitos dengan menyebut raja Bali sebagai Maya Danawa. Sosok Maya Danawa digambarkan sebagai raja yang melarang umat Hindu bersembahyang ke Pura Besakih sehingga perlu disingkirkan dan diganti dengan raja yang toleran. Dalam mitos itu akhirnya Maya Danawa ditewaskan oleh Dewa Indra.
Mitos itu merupakan upaya Kertanegara untuk mengesahkan penyerangannya terhadap Kerajaan Bali yang berdaulat. Kertangera mempersonifikasikan dirinya sebagai Dewa Indra, sementara Raja Sri Adidewa Lancana diposisikan sebagai Maya Danawa atau raksasa yang melarang rakyat Bali bersembahyang ke pura Besakih.
Dalam naskah lontar Linaning Maya Danawa dikisahkan Maya Danawa mati terbunuh oleh Ki Kebo Parud, utusan Kertanegara yang menyerang dari utara. Sedangkan dalam Babad Pasek yang disusun Jro Mangku Gde Ketut Soebandi, Adidewa Lancana dikatakan sebagai keturunan Raja Masula-Masuli.
Merujuk pada kedua sumber tersebut, mitos Maya Danawa di Bali terjadi pada masa pemerintahan Prameswara Sri Hyangning Hyang Adidewa Lancana antara tahun 1260-1286. Dengan takluknya Kerajaan Bali kepada Singasari, maka Kerajaan Bali praktis berada di bawah kendali Singasari.
Untuk memperkuat kedudukan politik Singasari atas kerajaan Bali, maka Kertanegara mengirim dari Singasari para arya dan para brahmana bersama Bujangga Waisnawa ke Bali sebagai pejabat di Bali. Mereka yang diangkat sebagai pejabat di Bali di bawah kendali Singasari di antaranya: Kryan Demung Sasabungalan, Kebo Parud Makakasir dan Mpu Dwijaksara I sebagai Bagawanta Kerajaan.
Pada tahun 1292 terjadi kudeta di Singasari yang dilakukan oleh Jayakatwang dari Dinasti Warma Kediri. Pada tahun 1293 Jayakatwang dikalahkan oleh Raden Wijaya dari Dinasti Rajasa yang kemudian mendirikan Kerajaan Majapahit. Dengan demikian kendali atas wilayah kekuasaan Kediri dan Singasari digantikan oleh Kerajaan Majapahit.
Raden Wijaya memproklamasikan berdirinya kerajaan Majapahit pada Purnama Sasih Kapat tahun 1293. Dan pada saat yang sama juga disahkan berdirinya organisasi Sanak Pitu di Majapahit guna mendukung kelancaran tugas-tugas kerajaan.
Mpu Dwijaksara II, yang merupakan keluarga Mahagotra Sanak Sapta Resi menjadi anggota Dang Upadhyaya di Keraton Majapahit pada masa pemerintahan Kalagemet atau Jayanegara. Pada masa itulah Mpu Dwijaksara II diminta oleh Gajah Mada ke Bali untuk menata kembali parhyangan-parhyangan di Bali.
Di Bali ada beberapa kawasan yang sangat disucikan dan dijaga serta dihindarkan dari konflik. Kawasan tersebut adalah Besakih, Padang-Silayukti, Desa Bisbis-Lempuyang dan Gelgel. Kawasan tersebut adalah kawasan suci yang dibangun oleh para Mpu pada jaman dahulu. Dan Gajah Mada adalah seorang patih yang sangat memperhatikan keberadaan tempat-tempat suci umat Hindu. Oleh karena itu, saat terjadinya konflik terbuka antara raja Bedahulu dengan Majapahit, maka Gelgel bebas dari daerah peperangan.
Sudah menjadi tradisi kerajaan-kerajaan Hindu sebelumnya bahwa, raja taklukan tetap diberikan wewenang untuk mengatur daerah kerajaannya tetapi kedudukannya berada di bawah kendali raja yang memenangan perang.
Begitulah, dari tahun 1343 Ki Patih Ulung diberi kepercayaan untuk menjadi pimpinan pemerintahan di Bali dengan gelar Kiayi Gusti Agung Pasek Gelgel. Dengan dilantiknya Sri Kresna Kepakisan sebagai Adipati Bali pada tahun 1350, maka Kiayi Gusti Agung Pasek Gelgel kembali menjadi patih dengan pangkat Patih Amengkubumi.
Namun, karena ada intrik politik di antara para pejabat Kerajaan Bali di mana para arya dari Majapahit keturunan Kediri menginginkan jabatan Patih Amangkubumi dijabat oleh mereka, maka Kiayi Gusti Agung Pasek Gelgel mengundurkan diri dan memilih menjadi Bendesa di Desa Mas dengan gelar Kiayi Gusti Pangeran Bendesa Manik Mas.
Komentar