MENELUSURI JEJAK LELUHUR ORANG BALI

Pura Besakih/Tangkapan Layar

Ada yang bilang bahwa orang Bali asli adalah orang Bali Aga, padahal sudah jelas Wong Aga itu merupakan bagian dari rombongan Resi Markandya yang menyeberang dari Jawa ke Bali pada sekitar abad ke-8. Lalu bagaimana dengan orang Bali Mula?

Dalam buku Leluhur Orang Bali: Dari Dunia Babad dan Sejarah yang ditulis Drs. I Nyoman Singgin Wikarman disebutkan, penghuni daratan Bali terus berkembang dari masa ke masa. Mulai dari manusia yang disebut Phitecantropus Erectus pada saat mana Bali, Jawa dan Sumatera masih bergabung dengan daratan Asia yang disebut Dataran Sunda.

Pada saat itu Bali dihuni oleh ras manusia pendukung kebudayaan kapak genggam, yaitu orang-orang yang tinggal di goa-goa. Karena ras manusia ini diperkirakan mengalami kepunahan, maka tidak mungkin merupakan leluhur orang Bali.

Pada periode berikutnya ada ras baru yang datang ke Bali, yakni orang-orang Papua Melanesoid, yang pada mulanya mendiami daerah Tonkin, Tiongkok. Pada waktu itu disebutkan  telah terjadi penyebaran penduduk yang begitu luas. Untuk mendukung penyebaran penduduk itu tentu diperlukan alat komunikasi berupa bahasa. Para ahli memperkirakan, yang dipakai pada waktu itu adalah bahasa Melayu-Polinesia yang lebih dikenal dengan bahasa Austronesia. Dan bangsa yang mempergunakan bahasa itu disebut bangsa Austronesia yang berpusat di Tonkin pula.

Bangsa yang merupakan pelaut mandiri ini datang ke Bali pada 2000 tahun SM. Mereka telah memiliki kebudayaan yang tinggi. Peralatan mereka tidak saja terbuat dari batu yang diperhalus tetapi juga dari logam, khususnya perunggu, antara lain berupa nekara. Masa pembuatan alat-alat dari perunggu itu disebut masa perundagian atau zaman megalitkum.

Berdasarkan peninggalan-peninggalan yang ada, terbukti mereka telah memiliki kreasi seni yang bermutu tinggi. Contohnya hiasan-hiasan nekara perunggu yang masih tersimpan sampai saat ini di Pura Penataran Sasih Pejeng, Gianyar.

Orang-orang Austronesia dari zaman perundagian ini tinggal berkelompok yang membentuk suatu persekutuan hukum yang disebut thani atau dusun. Mereka mempunyai kepercayaan bahwa roh leluhur akan selalu melindungi mereka. Oleh karena itu mereka melakukan pemujaan terhadap leluhur. Persekutuan hukum oran-orang keturunan Austronesia yang telah merata di seluruh wilayah Bali ini diperkirakan merupakan cikal bakal desa-desa di Bali.

Orang-orang yang mendukung kebudayaan itulah yang menjadi leluhur sebagian orang Bali, yang dalam fase berikutnya membaur dengan orang-orang yang datang kemudian dari luar Bali. Orang-orang itu disebut orang Bali Mula. Penyebutan itu hanya untuk membedakan dengan orang-orang yang leluhurnya datang belakangan ke Bali.

Orang-orang keturunan Austronesia yang hidup berkelompok di Bali dipimpin oleh ketua kelompok yang disebut Pasek Bali. Ketika itu mereka belum beragama. Secara spiritual mereka masih kosong. Oleh karenanya Pulau Bali waktu itu dikatakan masih kosong. Keadaan itu berlangsung sampai abad ke-4.

Melihat keadaan yang masih terbelakang itu, para penyebar agama Hindu berdatangan ke Bali untuk memajukan penduduknya dalam segala sektor kehidupan. Salah satu yang tercatat dalam sejarah adalah kedatangan Resi Markandya.

Menurut Purana, Resi Markandya berasal dari India. Nama Markandya bukanlah nama perorangan, melainkan nama peguruan atau pasraman seperti juga nama Agastya. Perguruan atau pasraman itu adalah lembaga yang mempelajari dan mengembangkan ajaran-ajaran gurunya.

Biasanya, di setiap generasi ada yang diangkat menjadi guru dengan gelar yang sama, dan garis perguruan itu disebut parampara. Masing-masing perguruan menyusun pokok-pokok ajaran yang umumnya disebut purana, yakni buku suci yang memuat ajaran dan cerita kuno. Itulah mengapa ada pustaka suci bernama Markandya Purana dan Agastya Purana.

Adapun Resi Markandya yang datang ke Bali adalah seorang resi dari garis parampara Markandya di India. Ia datang ke Nusantara untuk menyebarkan agama Hindu Sekte Waisnawa.

Di Jawa mula-mula ia berasrama di Gunung Dieng, lalu berdharmayatra ke timur dan membagun pasraman di Gunung Raung dengan murid-murid Wong Aga. Dari situ ia lalu pindah lagi ke timur menuju Pulau Bali yang ketika itu dikatakan kosong karena belum menganut agama tertentu.

Ia berangkat ke Bali diiringi oleh murid-muridnya yang berjumlah 800 orang. Di samping bertujuan untuk menyebarkan agama, ia juga bermaksud mengajarkan teknik pertanian dan bidang-bidang lainnya seperti membuat upakara yadnya atau piranti upacara keagamaan dan sebagainya.

Sesampai di wilayah sekitar Gunung Agung, ia dan murid-muridnya merabas hutan untuk lahan pertanian. Akan tetapi, sebagian besar murid-muridnya terserang penyakit yang aneh dan banyak di antaranya yang meninggal. Oleh sebab itu ia dan murid-muridnya yang tersisa kembali ke Gunung Raung. Di sana ia kemudian beryoga, ingin tahu mengapa murid-muridnya tertimpa bencana. Menurut pawisik atau wahyu yang diterima, bencana itu terjadi karena ia tidak melaksanakan yadnya atau ritual agama sebelum membuka hutan.

Setelah menerima petunjuk, ia kembali ke Gunung Agung. Kali ini diiringi oleh 400 orang murid. Sebelum mulai bekerja, ia terlebih dahulu menyelenggarakan ritual keagamaan dengan memendam pancadhatu atau lima jenis logam di lereng Gunung Tohlangkir.

Karena semua pengikutnya selamat setelah melakukan ritual itu, maka tempat itu disebut Besuki yang kemudian menjadi Besakih yang artinya selamat. Di tempat  memendam lima jenis logam itu itu kemudian didirikan pura yang sekarang dikenal sebagai Pura Besakih.


TAGS :

Ketut Sugiartha

Menulis esai, puisi, cerpen dan novel. Tulisan-tulisannya telah tersebar di berbagai media cetak dan daring. Telah menerbitkan sejumlah buku fiksi meliputi antologi puisi, kumpulan cerpen dan novel. Buku terbarunya: kumpulan cerpen Tentang Sepuluh Wanita, antologi puisi Mantra Sekuntum Mawar dan novel Wiku Dharma.

Komentar