Di Bawah Bayang Rembulan
- By Dewa Nyoman Sarjana
- 15 Januari 2023
TANGANNYA menjulur mengambil helai daun yang terjatuh dibawa angin. Lalu ia menatapnya. Terlintas dalam pikiran, daun saja coraknya warna warni. Ada merah, hijau, coklat, dan ada pula hitam. Mengapa aku harus terkurung dalam penyesalan? Bukankah hidup itu memang harus berwarna seperti daun itu? Tapi aku tidak ingin terjatuh seperti daun itu.
Raka bangkit dari duduknya. Melangkah menyusuri tepian pantai Mengening. Desiran angin dan debur ombak yang terpecah di sela bebatuan seakan menjilati karang yang kokoh seperti melahirkan tetabuhan dan menepis kesunyian hati Raka. Biasanya Raka menghabiskan senja di pantai. Ketika mentari berwarna jingga menyusup di kaki langit, dia sudah bergegas meninggalkan pantai yang kian gelap. Kali ini Raka luluh dalam kesendirian.
Dalam sunyi malam ia percaya bintang gemintang dan cahaya rembulan terasa membuka jalan napas kerinduan yang menindih. Setiap deburan ombak, seakan ada bayang perempuan merapat di matanya. Andai malam ini aku bisa bertemu, betapa bahagianya walau hanya sebentar. Ah... hasrat ini meski kukubur. Walau sulit, tapi aku harus mampu. Sepanjang jalan menuju Pura Batu Bolong, temaram lampu pedagang tampak indah. Siluet bayang bermain di air laut. Pengunjung sudah memadati pinggiran pantai sambil duduk-duduk di kedai. Kerinduan seperti pasangan yang dia lihat di bawah tenda bersama Luh Tantri dulu melintas. Rasa dingin tetesan embun malam, seirama dengan dingin perasaannya. Tiba-tiba HP-nya berdering. Lama Raka membiarkan suara itu. Ternyata dari Tantri, kekasihnya. Dia terpaku, tapi pikirannya tidak tega menyakiti.
“Raka, kau di mana?” Suara Tantri terdengar lemah. Raka mencoba menjawab dengan lembut.
“Mengapa kau telepon aku?”
“Kau tahu perasaanku, Raka? Kau tahu sakit hatiku?” Sampai di situ suara Tantri terputus.
“Tantri... Tantri. Kau masih mendengar suaraku? Aku ada di Pantai Mengening.” Tantri tiada menjawab.
Tidak berselang dua puluh menit, terlihat di kejauhan seorang perempuan bersama lelaki memarkir sepeda motor. Lalu berjalan mendekat. Cemburuku makin mendidih. Begitu sensualnya Tantri mempermainkan aku. Aku berdiri. Lelakiku tidak tahan dinistakan.
“Tantri. Apa-apaan ini? Begini caramu membuat lukaku makin berdarah. Kau perempuan tak pantas mempermainkan laki-laki!”
“Beli. Hati-hati bicara! Ya.. aku perempuan. Tapi Beli tidak pantas juga menyakiti perempuan. Apalah artinya kejantanan Beli menghadapi perempuan yang lemah.”
“Terus, laki-laki itu. Itu tandamu lemah!”
“Dengan cara apa lagi aku harus jelaskan kepada Beli. Sebulan lalu, saat Beli melihat Tantri berboncengan, sudah aku sampaikan sejujurnya, itu kakak misanku yang baru pulang dari Jakarta. Dia pingin tahu suasana di Bali. Apa kejujuranku tidak cukup?”
Raka merasa bersalah. Mengapa kejujuran Tantri yang telah terpelihara hampir setahun, runtuh oleh peristiwa sehari. Lalu dia bergegas mendekati laki-laki yang menunggu agak jauh. Dia menyalami lelaki itu.
“Perkenalkan aku Raka. Temannya Tantri.”
“Aku Bagus. Aku misannya Tantri. Aku tinggal di Jakarta.”
Setelah berbasa-basi sebentar.
“Maaf ya, saya mengganggu malam-malam begini. Kapan balik ke Jakarta?”
“Lusa, karena libur tahun baru sudah habis. Saya harus kerja.”
“Oh, ya. Selamat. Mudahan bisa bertemu di lain waktu.”
Lelaki itu kemudian mengambil helm dan jaket Tantri, lalu memberikannya.
“Dik, ni jaket dan helm. Kakak duluan ya. Nanti pulangnya sama kan Raka?”
“Iya kak, makasi. Hati-hati di jalan.”
Tinggalah Raka dan Tantri berdua. Kebisuan mereka berdua masih mewarnai malam.
“Apa Beli masih tidak percaya?” Tantri memecah kesunyian.
“Mestinya kamu tidak cerita satu kali saja.”
“Coba buka HPnya, Beli. Berapa kali Tantri nelepon Beli? Berapa kali aku chat Beli? Apakah Beli pernah menjawab? Jangan salahkan aku saja!”
Air mata Tantri mulai menetes. Dia berusaha menyembunyikan tangisnya. Tampak Raka salah tingkah. Pastinya ada perasaan malu dan bersalah karena dia tidak menghargai perempuan yang sangat mencintainya.
“Kalau Beli masih tidak terima, dengan cara apa lagiTantri membuktikan kesetiaan. Mungkin ini sudah jalan hidup Tantri!”
Raka tiba-tiba memeluk Tantri dengan erat.
“Maafkan aku Tantri. Ini semua salahku. Aku ternyata salah menilai kesetianmu.” Di bawah bayang rembulan, tanda cinta menemukan sinarnya. Cinta itu adalah ketulusan untuk menyatukan hati dengan keikhlasan.
Tabanan, 070123
Komentar