Puisi-puisi Rai Sri Artini

  • By Rai Sri Artini
  • 12 November 2023
Pexels-Christopher

Hujan

Apa yang kau kenang saat hujan luruh
Gang menuju rumah yang dipagari barisan Streblus Asper
Masih lengang dari deru motor

Seorang lelaki lalu lalang di jalan kecil itu
Membawa sekarung sampah
Yang siap dimuntahkan
Lima ekor anjing   mengikrarkan diri
Menetes - neteskan liur dan kencingnya

Di mata ini masa lalu menulis prasasti
Tulisan-tulisannya ruah saat hujan tiba
Hujan menyucikan luka
Hujan menumbuhkan tunas

Betapa jalan kecil menuju rumah
Menjaga denyut nadi ibu dengan rapi
Batu bata yang tersusun rapi 
Di sisi kiri
Masih menyimpan aroma peluh bapak

Setiap hujan kutangkap kembali 
Selaksa peristiwa
Berdengung lirih
Seperti suara genta purba seorang rsi
Di depan hamparan sesajen

Kupandang apa pun yang lewat
Bayang-bayang berkelebat
Sedang hujan masih menyanyi khidmat

( Tuka, Maret 2021 )    


Pesan Setyawati kepada Salya

Padamkanlah api yang bersembunyi dalam bibirmu
Bukankah kau bilang cintamu Sungai Gangga
Yang mengalir sejuk bagai mantram puja

Padamkanlah bara dalam matamu
Bara yang menyalakan gurun-gurun
Membakar rumput kering
Menciptakan cinta yang gelap
Waktu yang rapuh

Kau dan aku akan menua
Berangkat dari waktu yang gelap
Menciptakan kekosongan demi kekosongan
Dari kepenuhan demi kepenuhan

Perlahan-lahan usia merayap ke senja yang tua
Kita akan kehilangan kelamin
Bahkan kehilangan baju di musim-musim yang entah
Maka padamkan api itu

Jangan lupa sisakan api dalam dirimu
Untuk menerangi kegelapan
Mencari kanak-kanak yang sembunyi dalam lipatan waktu
Dan menyusuri lekuk tubuh dinginku
Yang pernah beku di medan Kurukshetra

( Tegaljaya, Februari 2021 )


Mata Gandhari

Cahaya yang lahir dari mataku
Akan membuatmu hidup
Seribu tahun lagi

Kumuntahkan firman ke dalam tubuhmu
Tubuh yang diberkati doa-doa

Namun tak bisa kugenapkan seluruh tubuhmu
Sebab deras luka di dadaku serupa lenguhan lenguhan
bukan lenguhan panjang di musim kawin

Tak ada suara gerimis di luar sana
Tak ada derap kuda atau denting senjata
Hanya kita berdua
Masihkah kau putraku ?
Di mataku mengalir tujuh mata air
Tertiup angin kelamin yang malu menampakkan rupanya
Tak apa
Biarlah darmaku menjadi genap diantara puing-puing peperangan
Mungkin aku hanya ingin dicatat di harum tanah Hastinapura

Ke sinilah putraku
Biarlah mataku dengan seribu air mata
Memandang matamu 
Sebentar lagi seribu doa menyentuh tubuhmu
Agar seribu senjata tak mampu menembusnya
Maka seribu cahaya akan bersinar menjelma baju zirah
Kecuali desis ular yang sembunyi dalam bentangan kain

O Madawa
 Mahkota yang dihiasi bulu merak
Muslihatmu  telah menjelma cadar kelamin
Membenamkan lentera mata tua ini
Hanya tinggal kerut kerut 
Legam, sembab
Membawa putraku pergi jauh
 terasing dari tanah ibu
terasing dari dirinya sendiri

( Tuka, April 2021 )


Memuja Sajak

Apalagi yang mesti kukatakan
Selain sajak-sajak penghimpun air mata
Tak sekedar kata-kata asing yang bising
Ia memikul bebanku sepanjang usia

Nadaku sendiri sumbang
Didengar telingaku yang bimbang
Bermacam pertempuran menciptakan luka
Luka-luka yang  baka

Sungguh aku terasing dari rima sajak
Hanya terpenjara dalam sunyi
Berjarak dengan bunyi

Aku memuja sajak-sajak dengan darah
Dengan bulan sabit merah
Meski menghidangkan kematian
Dalam panjang penantian

Ingin kusembahkan nyawa berlipat-lipat
Namun tiada urat lagi melompat
Ke segenap alamat
Disematkannya padaku kata pecundang
Yang malang
Sebab tak ada terpandang
Dari basi kata-kata alang kepalang

Kanku ingat setelah berganti baju
Berapa ratus kelahiran kurayakan
Untuk menemukan rahasia kupu-kupu
Di lekuk tubuhnya

( Tuka, Nov 2020 )

Dua Perempuan Menulis Sajak di Tubuhku

: Y.Warastini dan N.Sulastri

Di tanah ini
Yang kerap dihiasi bunga dan dupa
Kita menisankan kelahiran
Mencatat kedatangan kita
Di pintu gerbang dunia

Dua perempuan melukis di kanvasku
Dengan darahnya sendiri
Mengirim pelangi di lengkung bibirku
Menjatuhkan gerimis di rambutku

Lalu aku tumbuh menjadi sebuah garis cahaya
Dengan warna terbaik di sepanjang musim
Akar-akarku tumbuh dengan berani
Menerobos selimut bebatuan yang liat

Daun-daunku tumbuh dengan liar
Di tengah kegilaan yang hakiki

Dua perempuan menulis sajak di tubuhku
Mengirim jantungnya ke malam - malamku piatu
Tak lupa diseduhnya secangkir kopi bagi gigil
Tubuhku
Disimpannya, puisi-puisiku yang kehilangan ruh
Dengan penuh hikmat

Dua perempuan bermata rembulan
Dengan laut di dada selalu setia menjadi muara
 Dongeng- dongeng tua yang kukirim di
Celah waktu yang retak

Tetaplah di sini
Aku hanya bisa menjamumu dengan puisi
Tak ada yang lain
Puisi itu doaku yang paling dalam

( Tegaljaya, Januari 2021 )


Perjamuan Sederhana

Kita tetap di sini merawat kata-kata
Menjelma puisi
yang lahir dari secangkir kopi

Kita bercakap,
Menua dan berbagi rasa bersama
Harum pahit kopi
Pahit manis perjalanan

Ketika kesedihan datang dari jauh
Bertamu dan mengucap salam
Secangkir kopi mengaliri wilayah-wilayah asing
Menghangatkan kabut di pelupuk mata

Dengan ikhlas dimuntahkannya kata-kata ke lembah basah
Tempat sekuncup tunas tumbuh
Dengan penuh seluruh dihantarkannya kita
Ke perjamuan sederhana yang lekat dengan tanda jeda
Tempat  air mata dikekal 
Dalam waktu yang entah

( Tegaljaya, Desember 2020 )


Membuat Tempe Kacang Hijau

Biarlah kau pakai bajumu hingga masuk kamar
Katamu baju hijaunu sangat baik dalam menyimpan
Rahasia
Baiklah aku tak bersusah melepasnya

Maka kuelus-elus saja kau
Seusai mandi lalu kuhangatkan tubuh mungilmu
Seperti di sauna kau akan merasa begitu didih
Menahan sabar meneguk harum doa-doaku

Kini ketika siang mulai beranjak
Kau telah selesai dengan segala ritual
Kutuangkan seluruh diriku ke dalammu
Dalam pesta awal tahun

Kubedaki seluruh tubuh mungilmu
Sambil mengenang tangan ibu yang rahim
Mengusapi peluh dan air mata

Di peraduanmu, ruang gelap hening 
Ciptakanlah rasa paling rasa 
Dua hari lagi kan kujemput
Dengan jantung bertalu-talu
Rindu mengelu-elu
Sanggupkah kau menjelma puisi ?

( Tegaljaya, Maret 2021 )
 


TAGS :

Rai Sri Artini

Rai Sri Artini beralamat di Tuka, Dalung. Suka menulis puisi, memasak dan menonton film. Puisi-puisinya tergabung dalam beberapa antologi bersama. Klungkung, Tanah Tua Tanah Cinta, Mengunyah Geram Seratus Puisi Melawan Korupsi, Ketika Kata Berlipat Makna, Lumbung Puisi, Progo 4 Temanggung dalam puisi, Antologi Puisi Bogor, Ning, Saron, Seutas Tali Segelas Anggur, dll. Antologi Puisi tunggalnya Pohon Api di Meja Makan. Bisa dihubungi di Facebook Rai Sri Artini dan di alamat email raisri_artini@yahoo.com

Komentar