Puisi-puisi Rai Sri Artini
- By Rai Sri Artini
- 12 November 2023
Hujan
Apa yang kau kenang saat hujan luruh
Gang menuju rumah yang dipagari barisan Streblus Asper
Masih lengang dari deru motor
Seorang lelaki lalu lalang di jalan kecil itu
Membawa sekarung sampah
Yang siap dimuntahkan
Lima ekor anjing mengikrarkan diri
Menetes - neteskan liur dan kencingnya
Di mata ini masa lalu menulis prasasti
Tulisan-tulisannya ruah saat hujan tiba
Hujan menyucikan luka
Hujan menumbuhkan tunas
Betapa jalan kecil menuju rumah
Menjaga denyut nadi ibu dengan rapi
Batu bata yang tersusun rapi
Di sisi kiri
Masih menyimpan aroma peluh bapak
Setiap hujan kutangkap kembali
Selaksa peristiwa
Berdengung lirih
Seperti suara genta purba seorang rsi
Di depan hamparan sesajen
Kupandang apa pun yang lewat
Bayang-bayang berkelebat
Sedang hujan masih menyanyi khidmat
( Tuka, Maret 2021 )
Pesan Setyawati kepada Salya
Padamkanlah api yang bersembunyi dalam bibirmu
Bukankah kau bilang cintamu Sungai Gangga
Yang mengalir sejuk bagai mantram puja
Padamkanlah bara dalam matamu
Bara yang menyalakan gurun-gurun
Membakar rumput kering
Menciptakan cinta yang gelap
Waktu yang rapuh
Kau dan aku akan menua
Berangkat dari waktu yang gelap
Menciptakan kekosongan demi kekosongan
Dari kepenuhan demi kepenuhan
Perlahan-lahan usia merayap ke senja yang tua
Kita akan kehilangan kelamin
Bahkan kehilangan baju di musim-musim yang entah
Maka padamkan api itu
Jangan lupa sisakan api dalam dirimu
Untuk menerangi kegelapan
Mencari kanak-kanak yang sembunyi dalam lipatan waktu
Dan menyusuri lekuk tubuh dinginku
Yang pernah beku di medan Kurukshetra
( Tegaljaya, Februari 2021 )
Mata Gandhari
Cahaya yang lahir dari mataku
Akan membuatmu hidup
Seribu tahun lagi
Kumuntahkan firman ke dalam tubuhmu
Tubuh yang diberkati doa-doa
Namun tak bisa kugenapkan seluruh tubuhmu
Sebab deras luka di dadaku serupa lenguhan lenguhan
bukan lenguhan panjang di musim kawin
Tak ada suara gerimis di luar sana
Tak ada derap kuda atau denting senjata
Hanya kita berdua
Masihkah kau putraku ?
Di mataku mengalir tujuh mata air
Tertiup angin kelamin yang malu menampakkan rupanya
Tak apa
Biarlah darmaku menjadi genap diantara puing-puing peperangan
Mungkin aku hanya ingin dicatat di harum tanah Hastinapura
Ke sinilah putraku
Biarlah mataku dengan seribu air mata
Memandang matamu
Sebentar lagi seribu doa menyentuh tubuhmu
Agar seribu senjata tak mampu menembusnya
Maka seribu cahaya akan bersinar menjelma baju zirah
Kecuali desis ular yang sembunyi dalam bentangan kain
O Madawa
Mahkota yang dihiasi bulu merak
Muslihatmu telah menjelma cadar kelamin
Membenamkan lentera mata tua ini
Hanya tinggal kerut kerut
Legam, sembab
Membawa putraku pergi jauh
terasing dari tanah ibu
terasing dari dirinya sendiri
( Tuka, April 2021 )
Memuja Sajak
Apalagi yang mesti kukatakan
Selain sajak-sajak penghimpun air mata
Tak sekedar kata-kata asing yang bising
Ia memikul bebanku sepanjang usia
Nadaku sendiri sumbang
Didengar telingaku yang bimbang
Bermacam pertempuran menciptakan luka
Luka-luka yang baka
Sungguh aku terasing dari rima sajak
Hanya terpenjara dalam sunyi
Berjarak dengan bunyi
Aku memuja sajak-sajak dengan darah
Dengan bulan sabit merah
Meski menghidangkan kematian
Dalam panjang penantian
Ingin kusembahkan nyawa berlipat-lipat
Namun tiada urat lagi melompat
Ke segenap alamat
Disematkannya padaku kata pecundang
Yang malang
Sebab tak ada terpandang
Dari basi kata-kata alang kepalang
Kanku ingat setelah berganti baju
Berapa ratus kelahiran kurayakan
Untuk menemukan rahasia kupu-kupu
Di lekuk tubuhnya
( Tuka, Nov 2020 )
Dua Perempuan Menulis Sajak di Tubuhku
: Y.Warastini dan N.Sulastri
Di tanah ini
Yang kerap dihiasi bunga dan dupa
Kita menisankan kelahiran
Mencatat kedatangan kita
Di pintu gerbang dunia
Dua perempuan melukis di kanvasku
Dengan darahnya sendiri
Mengirim pelangi di lengkung bibirku
Menjatuhkan gerimis di rambutku
Lalu aku tumbuh menjadi sebuah garis cahaya
Dengan warna terbaik di sepanjang musim
Akar-akarku tumbuh dengan berani
Menerobos selimut bebatuan yang liat
Daun-daunku tumbuh dengan liar
Di tengah kegilaan yang hakiki
Dua perempuan menulis sajak di tubuhku
Mengirim jantungnya ke malam - malamku piatu
Tak lupa diseduhnya secangkir kopi bagi gigil
Tubuhku
Disimpannya, puisi-puisiku yang kehilangan ruh
Dengan penuh hikmat
Dua perempuan bermata rembulan
Dengan laut di dada selalu setia menjadi muara
Dongeng- dongeng tua yang kukirim di
Celah waktu yang retak
Tetaplah di sini
Aku hanya bisa menjamumu dengan puisi
Tak ada yang lain
Puisi itu doaku yang paling dalam
( Tegaljaya, Januari 2021 )
Perjamuan Sederhana
Kita tetap di sini merawat kata-kata
Menjelma puisi
yang lahir dari secangkir kopi
Kita bercakap,
Menua dan berbagi rasa bersama
Harum pahit kopi
Pahit manis perjalanan
Ketika kesedihan datang dari jauh
Bertamu dan mengucap salam
Secangkir kopi mengaliri wilayah-wilayah asing
Menghangatkan kabut di pelupuk mata
Dengan ikhlas dimuntahkannya kata-kata ke lembah basah
Tempat sekuncup tunas tumbuh
Dengan penuh seluruh dihantarkannya kita
Ke perjamuan sederhana yang lekat dengan tanda jeda
Tempat air mata dikekal
Dalam waktu yang entah
( Tegaljaya, Desember 2020 )
Membuat Tempe Kacang Hijau
Biarlah kau pakai bajumu hingga masuk kamar
Katamu baju hijaunu sangat baik dalam menyimpan
Rahasia
Baiklah aku tak bersusah melepasnya
Maka kuelus-elus saja kau
Seusai mandi lalu kuhangatkan tubuh mungilmu
Seperti di sauna kau akan merasa begitu didih
Menahan sabar meneguk harum doa-doaku
Kini ketika siang mulai beranjak
Kau telah selesai dengan segala ritual
Kutuangkan seluruh diriku ke dalammu
Dalam pesta awal tahun
Kubedaki seluruh tubuh mungilmu
Sambil mengenang tangan ibu yang rahim
Mengusapi peluh dan air mata
Di peraduanmu, ruang gelap hening
Ciptakanlah rasa paling rasa
Dua hari lagi kan kujemput
Dengan jantung bertalu-talu
Rindu mengelu-elu
Sanggupkah kau menjelma puisi ?
( Tegaljaya, Maret 2021 )
Komentar