Sajak-Sajak Faustina Hanna
- By Faustina Hanna
- 24 Desember 2022
Buku Biru
/1/
Rembulan akhirnya memutuskan berenang bersama kata-kata paling manis yang kutulis pada halaman buku biru, tepat malam mendung ini. Belumlah kukirimkan kepada alamat yang membuat gelap makin mendidih. Pori-pori kasar sang rembulan nampak berkisaran mengepung pori-pori lembut sang kata. Pertengkaran pun jadi tiada terelakkan. Tentang perlengkapan tidur, tentang momentum cinta yang melunak dan terpaksa tertunda, malam ini.
/2/
Aku tetap bergeming, lalu memutuskan menjauhi sebuah mopit. Begitu bosan, di hadapan cermin lusuh yang warnanya takkan pernah sekeruh susu madu kesukaanku. Dan supaya tampil berjasa, kau acap kali membakar kantuk bersama bau hujan yang telah basi, lalu melapor kepada saudagar tua panutanmu itu. Tentang aku yang sesekali menyisir perlahan helai rambutku, memilin lembut ujung-ujungnya, menambahkan kisah-kisah yang kini telah terlampau jauh dari romantis, pada halaman baru dari buku biru.
/3/
Hingga tiba saat aku memutuskan membenamkan buku biru pada kedalaman keranjang sampah yang belum juga siuman dari pingsan kedua −seperti tengah berupaya beralih dari bentuk lingkaran ke segi empat pada bagian mulutnya. Sebab aku sungguh jadi muak ketika mesti terlelap dengan perlengkapan tidur yang belum juga lengkap. Dan penolakanmu dengan berpuisi, di ujung telepon, malam ini.
2013
Pembunuhan Helai Rambut di Dekat Kampus Pahlawan Reformasi
seusai berucap kaul dengan meyakinkan, malam sebentar lagi
dapat bersiulan panjang. −dingin
persis getar nada yang digariskan sejenak oleh perasaan miris. dan miris,
perlu kau ketahui,
bukanlah perasaan mendua yang sengaja berpura-pura mengunjungi
hati manusia, sebagai hujan pendamping kabut berlebih. kenangan tambun
berkeliaran di ubun-ubun tulisan tegak Kampus Pahlawan Reformasi. sepasang
bahuku − dengan lukisan serigala terpejam yang melolong pada kesunyian
dasar kulit − telah berpamitan terlebih dahulu, pada tubuh yang justru rapuh,
dan
tak lagi utuh. diundang sebagai si kembar akur, yang terencana menyediakan
ruang lapang bagi jatuhan ringan rambut-rambut muda yang belum
terlampau panjang;
rambut yang kau temukan dari perempuan lain
perempuan belia yang lain
−demikian seterusnya, menjadi perempuan belia yang lain,
dan yang lain lagi
"menarilah lepas, asal dan pemelihara tubuh!"
hingga tampil pesta kepedihan perempuan, bagi tubuh yang rapuh. kini
nampak tujuh kepala beserta rambut perempuan di atas satu tubuh yang
rapuh. yang dengan sendirinya menyapa 'ibu' pada bahuku.
tunggulah sabar, anak-anak yang memilih dilahirkan oleh malam.
bakal ada pembunuhan helai-helai rambut di sini. sebentar lagi.
gunting-gunting kurus, khusus, dan tajam yang dipesan seorang ibu
yang sepenuhnya cemburu
bakal bersimbah darah, atau malah dilaporkan sibuk −bercucuran
air mata.
2013
Hati Kudus Yesus
− Sacred Heart −
“…Sebab lebih baik satu hari di pelataran-Mu
dari pada seribu hari di tempat lain;
lebih baik berdiri di ambang pintu rumah Allahku
dari pada diam di kemah-kemah orang fasik…”
(Injil Mazmur 84:11)
melalui sedikit tetes air suci,
aku memadatkan seisi tubuh rapuh
−bukan sekadar demi janji, bakti diri
: menempuh hulu sendiri. dari kengerian
cinta yang paling sunyi.
kemudian, seutuhnya, aku mau
berjalan, menyentuhkan wajah dingin
dosa yang terbalik pada lantai gereja.
kepada lembut suara-Mu, kepada tegas suara-Mu,
lekas-lekas aku menandai setiap
pendengaran jiwa yang mungkin masih peka
dengan kepulangan air mata, yang sedikit pun
tak ingin tertunda.
aku perlahan memandang
Altar Suci di hadapanku
−Itu bukan serupa tubuh luka yang terbuka
melalui lembah-lembah suara
Darah dan Air,
Darah dan Air
yang mulia
dan dalam gelap yang boleh dihabiskan
kami terakhir; lembar-lembar kitab tua ditahbiskan menjadi
mata! mata yang selalu siap membesar, berkeliling
−untuk yakin melihat
"ada bara api yang tetap terus mengilau, berwarna merah,
merah dengan mahkota duri. berbentuk hati sempurna.
tepat di tengah-tengah kalian semua."
Stasi St. Polikarpus, 2013
(18.35)
KATEDRAL, 4
; St. Faustina
Maka kau perlu tahu,
Faustina
Puisi-puisi ini takkan lagi bangkit dan bernyanyi
Membangunkanmu. Sebagai isyarat, di tepi jurang matimu. Malam ini setiap
Lubang mimpi akan lebih dicermati, sepanjang dinding suci Katedral.
-- Tuhan belum tiba
Faustina. Sayap burung-burung gereja telah berdarah,
Memeluk rumah. Dengan beribu penghuni
Yang berdosa. Menunggu seluruhnya dijanjikan ke
Udara.
Surga
Hingga terbukalah lautan pagi yang mereka
Kasihi. Lautan pagi yang melarutkan
Aroma lonceng gereja.
Nantikanlah, kala itu Doa Malaikat Tuhan* bergema,
Doa Malaikat Tuhan kian bergema
Bagi jiwa-jiwa sengsara.
2016
* Doa Malaikat Tuhan (Angelus Domini nuntiavit Mariae): salah satu devosi untuk menghormati penjelmaan Tuhan menjadi manusia, dan didoakan tiga kali dalam sehari, pada pagi, siang, dan sore hari, ketika lonceng dibunyikan.
Banjir Ibu Kota, 1
rembulan sungguh menyesal; setelah menjatuhkan bayangan air yang teramat luas ke bawah. meremang kami −tak henti: di rumah, di jalanjalan besar, di persimpangan sempit dan berbahaya, di pengungsian serta penampungan darurat yang tak dapat lagi dinamakan kering, lantas di perbatasan antara puncak malam dan garis dasar kegelapan, kami hanya terus mengupasi remah cahaya pada hati kami masingmasing.
−menyentuh perlahan kaca jendela kamar yang masih bertumpuk rinairinai semalam− aku seperti sedang di seperdua hampa: membayangkan pasang... di suatu tempat yang lain...
aku telah setia menikahi mimpimimpimu selama itu, ibu kota... ketika bayangan
luas air adalah sepuluh perempuan kesepian yang berbaring memeram dendam,
dan mengundang tamu dalam suatu pesta sementara:
genangan-genangan hitam yang sama luasnya. yang memuja hakikat lautan
/hujan deras dan gelap di jakarta barat yang takkan terlupakan/
17-23/01/2013
Komentar