Rumah Kita
- By Dewa Nyoman Sarjana
- 22 Oktober 2022
BERANDA rumah memang sempit. Ya, memang sempit. Rumah ini luasnya hanya enam puluh empat meter persegi. Orang mengenalnya rumah murah bersubsidi. Sering juga dibilang rumah burung karena orang kaya membayangkan seperti seluas sangkar burung yang ada di rumah mereka. Rumah ini hanya ada dua kamar tidur, satu kamar mandi, dan teras depan.
“Kita duduk di sini saja, sayang. Sambil menimang bayi mungil.”
Manisku tersenyum sambil menyusui buah hati. Sebagai seorang ibu, aku memintanya untuk menjadi ibu yang baik. Selama punya balita, aku tidak membolehkan bekerja di luar rumah. Cukuplah aku sebagai seorang ayah berusaha menutupi kebutuhan rumah tangga, walau sangat pas-pasan sisa cicilan rumah.
“Pa, bayi kita mungil ya?” kata istriku sambil memberi air susu ibu. Aku tersenyum. Aku mewajibkan dia memberi air susu ibu. Aku sangat percaya air susu ibu jauh lebih baik dari susu buatan.
“Iya, ma. Dia cantik seperti ibunya.”
Istriku tersenyum.
Mungkin sama ingatanku, ketika aku merayu dia pertama kali di pinggiran pantai Kuta. Entah angin mana yang mempertemukan kami di pantai indah dan disukai tamu manca negara itu. Saat itu tidak terlalu sore. Aku ingin menikmati sunset pantai Kuta. Aku santai duduk di pasir putih sambil memesan es kelapa muda. Tidak dinyana, perempuan manis berambut agak ikal hadir dan memesan es kelapa muda di tempat aku belanja. Kasihan dia berdiri lama menunggu antrean, aku beri kesempatan lebih dulu perempuan itu. Sambil mengambil es dia berucap, “Trims mas, sudah berikan duluan.”
“Sama-sama,” jawabku sambil memandangi dia pergi. Aku tidak memberi mata ini lepas nelisik. Ternyata gadis itu berhenti dan duduk di bawah pohon waru. Tempatnya tidak jauh. Sekitar sepuluh meter di selatan. Karena hati sudah terpaut, kesempatan mengenal lebih dekat perempuan itu tidak aku abaikan. Aku berdiri dan diam-diam mendekat. Pura-pura menerima telepon dan berhenti di samping perempuan manis itu. Aku santai saja duduk di sampingnya.
Matahari merah jingga mulai tampak di kaki langit. Panorama yang indah. Siluet riak laut pantai Kuta sangat menawan. Makin malam pengunjung makin ramai dan gelap menyapu hamparan pasir putih. Suasana teramat indah bila menjalin kasih di tempat ini. Sambil menikmati es kelapa muda, aku tak lepas melirik perempuan tadi. Dia masih duduk di bawah pohon waru, tapi ada yang menemani.
Perasaanku menjadi tidak enak. Apakah temannya itu laki-laki?
“Sama teman ya,” aku menggodanya.
“Ya mas. Dia teman kosku. Teman sekerja di villa Canggu.”
Aku melirik. Jalan napasku lega. Karena kulihat seorang perempuan. Aku jadi bingung sendiri.
Mengapa aku harus cemburu? Perempuan itu kan bukan apa-apaku. Kenal saja baru. Ah, aku tak mengerti. Dalam kegundahan, aku hanya sempat meminta nomor HP sebelum perempuan itu menjauh, meninggalkanku sendirian. Aku kesal. Aku memukul-mukul pasir laut. Mengapa aku tidak kenalan nama. Mengapa aku tidak tanya alamat. Mengapa? Mengapa berlarian di pikiranku, sambil tinggalkan pantai Kuta yang kian gelap. Hanya gemerlap lampu di pinggiran dan di hotel yang berjajar nampak indah. Aku mengambil motor menuju rumah.
Hari terus berlalu. Bayang perempuan itu setiap saat menghampiri ingatanku. Hanya lewat telepon kami sering berbincang. Perbincangan sebatas kerja di hotel. Ingin rasanya pertemuan pertama terulang lagi. Namun sebagai pekerja hotel, mencari waktu libur bukanlah hal yang mudah.
Mungkin ini namanya jodoh, kesetiaan terus terpaut walau hanya lewat video call. Kami mencurahkan rasa cinta lewat untaian kata-kata. Sesekali kami bertemu langsung. Entah mengapa juga kami lebih suka bertemu di pantai. Hingga suatu waktu, kami sepakat bertemu di pantai Seseh.
“Aku sudah di sini. Agak ke timur, dekat sungai.”
Itu SMS yang dia kirim. Aku bergegas berjalan ke arah itu. Dari jauh kulihat dia sendiri. Rambutnya tergerai hempasan angin.
“Hai, sudah tadi?”
“Nggak mas.
Tangannya lincah menerbangkan pasir putih. Aku duduk di sampingnya, sambil menjulurkan botol minuman. Tangan halus putih, tiada ragu mengambil. Seiring deburan ombak, perbincangan kami tiada terputus. Hingga batas kata terakhir.
“Sinta, aku mencintaimu.” Berbarengan dengan jari saling terpaut kata itu terucap. Santi menatap mataku. Ada buliran air mata yang tampak tersimpan. Tiada kusangka Sinta merebahkan kepala di bahuku. Desiran di dada menjalar, melebihi desir ombak di pantai. Hari terus berlalu. Bunga-bunga cinta kami pupuk, hingga pernikahan kami lalui dengan bahagia.
“Pa, teras ini nanti isi tirai ya. Biar aku bisa duduk di pagi hari sambil berjemur sebentar dengan si kecil.”
“Ya, ma. Kita tunggu gajian bulan depan. Kita isi tanaman gantung, biar suasana terasa santai.”
Istriku mengangguk, sambil menghentikan tangis si kecil. Rupanya dia merasa tidak enak basah karena baru habis pipis. Hari berganti hari. Bulan berganti bulan. Tidak terasa dua tahun sudah usia putriku. Istriku mulai merengek minta bekerja lagi. Dia merasa jenuh tinggal di rumah. Masuk akal juga, dia tidak sempat menikmati suasana di luar rumah. Aku tidak tega juga mengurung istriku di rumah. Syukur ada bibi dari keluarga ibu tidak punya pekerjaan, sehingga dia kujadikan pengasuh di rumah kami. Seiring berjalannya waktu.
Cerita indah berumah tangga kami lalui. Tawa dan tangis si kecil mewarnai rumah ini. Namun suatu saat ada hal yang berubah pada istriku. Dia mulai sering mangkel di rumah. Apalagi lepas kerja. Aku memaklumi. Dia pasti lelah setelah kerja. Punggungnya membelakangi tidurku sambil menyusui. Itu dia lakukan sering kali. Sebagai lelaki, rasa cemburuku tiada bisa disembunyikan. Hingga suatu saat sambil duduk di teras.
“Ma, rasanya kok mama beda sekarang?”
“Beda apanya. Kan bapak memulai,” sambil menyodorkan SMS yang dia simpan.
Istriku berdiri dan langsung masuk ruangan. Sepintas SMS itu kubaca. Ada satu kata, sayang yang tertulis dari teman kerjaku. Padahal itu kata hanya candaan melepas lelah dipengat kerja. Tapi aku merasa bersalah. Esok hari aku duluan memulai. Tak ingin istriku menanggung beban. Aku ajak istriku menikmati pagi nan cerah di beranda.
“Ma, ini susu. Sudah bapak buatkan.”
“Taruh di teras rumah. Aku menyusui,” jawab istriku kecut.
Aku sabar menunggu hingga dia selesai menyusui.
“Ma, beri aku kesempatan menjelaskan,” begitu aku memulai.
Aku jelaskan dengan sejujurnya. Aku perlihatkan siapa temanku itu. Semua postingannya aku perlihatkan. Sampai aku beri dia kesempatan untuk menelepon. Malam pun tiba. Si kecil menikmati tidur malam. Malam ini cuaca agak dingin karena rintik hujan membasahi bumi. Perlahan aku tidur di sebelah istriku. Aku memeluknya. Tapi tak sedikit pun berkata-kata. Tiba-tiba istriku berbalik dan memelukku erat-erat, sambil berucap maafkan istrimu salah menepatkan cemburu padamu. Kesempatan baik tak kusia-siakan. Aku memeluk dan membelai rambutnya. Dalam diam aku merenung. Syukur rumah mungilku tidak menjadi ajang prahara mahligai rumah tangga yang baru saja aku rintis. Hingga kami terbangun di ujung malam dalam pelukan.
Tabanan, 04-10-22
Komentar