Enam Sajak IDK Raka Kusuma
- By IDK Raka Kusuma
- 09 Januari 2022
MENUJU SORGA PALING SORGA
“menuju sorga paling sorga
sudah kupersiapkan diri ke sana”
duduk di depanku, busana seputih mega
riang, sangat riang, kau berkata
ke arah jam dinding aku berpaling
jarum jam melaju tanpa suara
menuju angka paling bening
melebihi kecepatan lesatan cahaya
“cintaku, cintaku, aku berangkat
begitu keduanya pada angka itu merapat”
di pipiku air mata tidak menulis sukacita
di pipiku air mata menulis dukacita
WAKTU TAK BISA DIRINGKAS
waktu tak bisa diringkas
dengan tulisan di atas kertas
kau berbisik. waktu cerita panjang
alur berliku, berkelindan, berjenjang
serupa labirin tinggi menjulang
penuh perangkap menyebabkan terjerembab
ke lorong paragraf: buntu, tak pernah terang
abjad masa silam memenuhi, kusam dan lembab
agar tamat dengan lekas
kau berkata: ke arahnya aku bergegas
tanpa berkata-kata memasuki
maknanya, yang paling hakiki
CERITA PENGHUNI TIGA KOTA
dini hari lalu kau bercerita
penghuni tiga kota tiga tetangga
ramah menyapa tiap berjumpa
sambil tersenyum memberi tanda tanya
minta dijadikan pertanyaan dengan jawaban ganda
diterka dengan kata-kata bernada canda
diucapkan dengan rasa sangat bahagia
diakhiri dengan kesimpulan derai tawa
dini hari ini kau bercerita
penghuni tiga kota tak lagi tetangga
“kupilih penghuni kota sunyi jadi saudara
tidak memberi, tidak meminta”
TANPA PAYUNG DI BAWAH GERIMIS
tanpa payung di bawah gerimis
aku akan mengekalkan tangis
katamu, belum pernah kudengar
di akhir hidup abadi terdengar
bagaimana aku mengatakan
gerimis bukan bagian tangis?
dengan apa aku mengatakan
gerimis sesungguhnya isyarat kosmis?
disampaikan kepada dunia
segera muncul tunas muda berpawai
disampaikan kepada kita
hidup tak pernah usai
SURAT TERSIMPAN SEPANJANG MUSIM
surat tersimpan sepanjang musim
padaku akhirnya kaukirim
tentang pohon metafora negeri tropis
tak basah oleh hujan dan gerimis
warna daun, warna ranting, merah muda
serupa warna fajar langit tropika
warna cabang, warna batang, jingga
serupa warna senja cakrawala tropika
aku terpana, di akhir surat kaumenulis
tak ada tahu pohon itu menangis
senantiasa kesepian, merasa terpencil sendiri
walau satu-satunya, satu-satunya di bumi
LAGU BAGI MENDIANG
kau beri tanah setapak
berbingkai sebuah jejak
berisi tiga larik sajak
huruf berbentuk artefak
untukku pelan kaubaca
hidup adalah tanda baca
dalam nukilan terpahat di pusara
terselip di sela aksara baka
belum lama dalam diri kusimpan
kau datang tiba-tiba. membawa nisan
menyanyi: aku titik yang tertinggal
di batu ini tinggal tak akan tanggal
Komentar