Lima Puisi Rai Sri Artini
- By Rai Sri Artini
- 15 Agustus 2021
Menatap Bulan
Bulan bulat sempurma
Malam diterangi dongeng cahaya
Dari hitam putih masa kecil
Bertubi-tubi tubuhku diserang rindu
Menjalari seluruh perdu
Di pangkuan ayah, terbayang masa depan
Dan berjuta harapan
D pangkuan ibu, tergenang kehangatan
Yang menenangkan
Bulan di atas sana menulis banyak kisah
Alunan rindik di petang hari
Kidung geguritan yang lirih
Tergesa-gesa aku menyeka kenangan
Menyimpan ledakan kembang api
Agar malam tak kalap
Menandaskan air mataku
(2019)
Teguklah Perlahan
Kau kisahkan untukku
Cerita-cerita dari negeri seberang
Juga dongeng-dongeng tua
Lautan, tetumbuhan, patung-patung purba,
Lukisan dan animasi adalah sebagian tempatmu memungut
Warna dalam perjalanan
Lalu dalam lautanmu yang paling dalam
Kau simpan petakan aneka temuan
Untuk menjelajah samudera berikutnya
Kau mulai paham cara bermain warna
Menari di tengah hujan
Cara malam meminang rembulan
Dan cara sederhana berbahagia
Dalam belantara sunyi yang riuh
Kau temukan ceruk-ceruk baru yang mengantarmu
Pada mantel dan sayap yang dikirim tuhan
Tapi musim seringkali mengirim dingin dan gerimis
Yang tak selalu manis
Isi kepalamu tak jarang hangus dibakar waktu
Dan pesta yang sulit dipetakan
Menghidangkan batu-batu endapan baru
Kau mulai mengais jejak tangismu di sebaris senja
Kau bayangkan burung-burung
Kau bayangkan batu-batu yang lebur
Kau lihat musim-musim bergerak
Mengganti satu sama lain
Kau bayangkan gunung,laut dan lembah
Kau nikmati film Disney dan musik-musik
Perlahan kau hirup aroma waktu yang gegas
Di dadamu kutanam pohon puisi
Agar kau mampu membaca gerhana
Belajar memahami cahaya dan lapar
Serta mengumpulkan warna-warna yang membentuk waktu
Baca. Bacalah puisi itu
Hiruplah dalam-dalam
Teguklah perlahan
Sepanjang usiamu
(2020)
Bach
Bach melelehkan kenangan di telinga kita
Membarakan degup
Dari jejak-jejak purba
Di tanah merah kelahiran
Di sudut ruangan tempat Bach menyanyi
Kau memainkan senar masa lalu
Tentang ombak dan kepak camar
Yang samar -samar menegakkan akar kita
Kita berjalan
Menciptakan ladang-ladang baru
Sementara anak-anak menjerit
Diam-diam di dalam tumpukan kertas
Ibu menyimpan rembulan di kamar doa
Kamar sunyi, bebas dari seruan musik sinetron
Sia-sia rasanya menunggu cahaya ufuk timur
Lalu kita menciptakan cahaya dari nyala dada
Dari keterasingan yang sarat doa rembulan
Pagi dan senja terus berpacu
Menciptakan garis- garis yang entah
Sedang Bach terus menyanyi tanpa lelah
Melahirkan kuntum-kuntum indah di
Ladang waktu
Yang penuh misteri tanpa ciri
(2020)
Di Suatu Masa
Kita pernah datang ke suatu masa
Berenang di sungai rindu
Kita menjelma ikan-ikan yang kuat
Sepanjang musim menyusuri sungaisungai
Dari sudut mata tercipta kisah
Yang membuat tertahan dan bertahan
Dari malam malam bisu
Musim pancaroba
Kita berjalan
Menghalau gigil dengan pelukan hangat
Kita pernah datang ke suatu tempat
Tempat yang benar benar gelap
Misteri dan piatu
Di mana usia tak dapat lagi dihitung
Rasa tak dapat ditakar
Kita berdiri di ambang pintu
Menanti mentari
Lekat dengan degup yang dicipta kulum bibir
Kita dikekal rasa asing
Dikepung cahaya dan gelap silih berganti
Kita merasa asing
Ketika romantika datang meracuni jiwa
Kita sembunyikan diri
dalam empat mata angin
dalam sajak yang menjauh dari cahaya
Di suatu masa
Di suatu tempat yang misteri, aku akan mengenangmu
Bukan dengan tangisan
Tapi dengan hening malam dengan seribu bulan
(2021)
Meletupkan Masa Muda
Aku
Telah menyimpan masai rambutku
Untuk bibirmu yang sendu
Telah pula kurawat lekuk tubuhku
Yang samar oleh luka
Untuk kau elus urai menjadi sajak panjang
Di lembab ranjang
Lalu kau lafalkan mantra hatimu
Ke telingaku
Syahdu
Meresap ke pori- pori
Seperti embun yang gegas membasah di dedaunan
Kita menikmati cahaya dari langit
Sekaligus merayakan bayang malam
Penuh larik piatu
Tiap kali kita merayakan pergerakan musimmusim
Mimpi dan igau sama gelap dan indahnya
Kita letakkan waktu sejenak
Memuja mimpi yang tergantung di awang
Membiarkan bibir merasakan nyala
Menghalau segala muram
Segala durja menjadi sayap pelangi
Lalu mengalir ke sepanjang pembuluh nadi
Sebagai getar yang dahsyat
Kita nyanyikan puisi dengan hikmat
Sambil bertanya tubuh puisi mana yang belum
Kau jelajahi
Belantara mana yang belum kau taklukkan
Kita letakkan detak jarum jam sejenak
Di dada, tempat kota kota bermekaran
Membilang mimpi semu
Sebab cumbu hanyalah bumbu
Di lipatan waktu yang absurd
Diam-diam kita meletupkan masa muda
Yang telah pergi jauh
(2021)
Komentar