Sajak-sajak Komang Berata
- By Komang Berata
- 27 Desember 2020
MENJELANG PURNAMA
malam belum larut
dalam mimpi ibu mengeluh sakit
tanpa pelita kususuri pematang ladang
sudah hapal pendek panjang langkah
di atap rumah nenek bulan
memintal letih ibu menjadi senyuman
di dalam bilik kudapati ibu dan ayah berpelukan
tetap mesra senyum mereka
pelan hangat mengalir di dada
aku belum mendongeng untuk anak-anak
tinggalkan saja ayam-ayam sudah dikurung
dan sapi-sapi sudah dikandangkan
malam sudah larut
di halaman bayangan atap kupungut
MEMILIH TUWA DI LADANG
karena waktu dikekal sepi
aku memilih tuwa di ladang batu purba ini
mengikat lebih erat silang pagar angin
karena angin tidak pernah salam mengeja musim
karena doa dikekal hati
percayalah bahasa gaib cuma meminjam imaji
di ruang tamu yang menyedia teka-teki
dijawab puisi
pada akhirnya bertemu kita
bukan memberi bukan berbagi
sama-sama membuat terjaga
dari tidur tanpa mimpi
TERJEBAK DI HUTAN SEPANG
terjebak kami di hutan dengan suara-suara
burung yang tidak dikenal
wangi kembang cengkeh setengah kering
membebani pencarian arah
perkampungan sudah dekat tapi bulan
dan bintang larut di balik pekat kelam
masih jauh gerangan simpang empat itu
masih jauh gerangan kedai menyendiri itu
pura di bawah pohon besar itu
belum juga terbayang
barangkali ada sesaji yang tersisa
sekadar menjernihkan pikiran kalut
tirta dari kampung untuk upacara esok pagi
menguatkan gemetar tubuh
SELAMAT HARI IBU
malam-malam kuketuk pintu rumah ibu
menyendiri di tegalan tepi dusun
kusodorkan ruang untuk diisi dongeng
entah nenek bulan memintal benang
entah tujuh dara menyeberang sungai meluap
malam-malam kuketuk pintu rumah ibu
kapal kertas yang kuterbangkan malam itu
masih tersangkut di atas pintu
tidak diperkenankannya aku mengambilnya
ibu menyimpan sebagian masa kanak-kanakku di sana
malam-malam kuketuk pintu rumah ibu
kubuka sendiri pintu rumah yang tidak pernah terkunci
lelap wajah ibu tanpa senyum
wangi asap tungku di dapur masih kucium
sisa rayuan ayah masih lekat di keningnya
PENARI REJANG DI PELATARAN PURA
dihabiskannya setengah malam
gadis-gadis terpilih menari
menemani laki-laki uzur
mencari-cari irama gamelan gambang
tak terbaca pada bilah-bilah lontar
kecemasan mempercepat peluh mengalir
meski terlontar dari orang-orang kesurupan
kata-kata kutukan lebih menakutkan
seperti terjerembab pada karpet merah di panggung kehormatan
habis berapa malam lagi untuk mendapatkan
kebetulan yang menyelamatkan
AYAH MENITIP KATA
disingkirkannya angka-angka
maka waktu kelahiranku tidak dicatatnya
dititipkannya kata-kata
setiap waktu luang ayah berkisah
katanya
kau lahir ketika bulan belum tergolek di langit siang
dan kasmaran angin berhembus dari selatan
tapi padi di sawah garapan sudah mulai berbunga
dan kawanan burung sawah belum tiba dari barat
berbinar mata coklatnya
katanya
harapan lebih indah dari kenangan
BULAN MENATAP GUNUNG
bulan menatap lekat kawah gunung agung
aku terpana
batuan di atas hutan cemara dibawanya ke dalam dongeng
tergesa-gesa tumbuh rindu
kupinang kau dulu itu dengan masa depan
di ranjang sudah tersedia harapan-harapan
yang terlontar dari lamunan
juga ayunan nasib
yang memilih peruntungan musim
sudah kulantunkan doa di bawah pohon mangga
kucuri juga perlengkapan dapur kerabat
LELAKI PENJAGA SAWAH
setelah membaca waktu yang menulis di angin
lelaki itu mengalirkan air ke petak-petak sawah
dilimpahkannya takdir pada air yang menggenang
setelah membelai waktu yang menulis di angin
lelaki itu membentangkan temali usia
rumpun padi menjadi tenang karenanya
burung-burung kecil kembali bergerombol karenanya
sawah penuh nyanyian
langit penuh nyanyian
irama sama lirik sama
ditumbuhnya berbeda makna
bersama waktu yang menulis di angin
lelaki itu menumbuhkan menjaga kesucian sawah
MERAYU AYAH DAN IBU
maukah kalian menjadi kanak-kanak
kurawat angin untuk setangkai daun di ladang
mengapa mesti kukenakan kacamata
untuk membaca aksara di kening kalian
lengkung senyum tergeletak pada ayunan di halaman
keriangan mengacau gerai rambut hujan
maukah kalian menjadi kanak-kanak
setiap saat aku menikmati waktu menjadi hutan
MENGAPA
mengapa kau mengeluh
melipat waktu yang merapuh
lihat anak kecil itu menari-nari
riang kepalanya dijilat-jilati anak sapi
tegak juga kau di lengang ladang
merapikan yang tumbuh dan yang ditanam
meremah buah tupai-tupai melenggang
meremah umbi landak-landak begadang
tiba saatnya kau memandang riang
waktu menjadi bagian dengus napas
MENJADI ORANG BAHAGIA
katakan kau belum kenal aku
setiap saat kita meranum rindu
apakah tetap ingin kau menjadi pohon
setiap saat riang burung singgah memohon
aku menjadi udara saja
pada air melembah dan uap memuncak
Komentar