Enam Puisi Sindu Putra

  • By Sindu Putra
  • 28 November 2020
bali.bisnis.com

HANYA PUISI


hanya puisi
       yang masih dapat
       menyehatkan dunia
dunia yang menyesat dalam hujan asam
di tangan lelaki
        yang membuat rumah dari asap
di tangan perempuan
        yang mengeram burung pendoa
terakhir
di tangan rahib yang raib
        di tengah hujan merah
               hujan yang paling tajam
               di tengah hari Oktober
               
maka,          karena hanya puisi
        yang masih dapat
        menyelamatkan dunia
mari,   beri warna hujan
                dari warna manusia
hingga dunia ditemukan kembali
dunia yang gaib
        milik kanak-kanak
anakku          yang ingin tidur
dalam buku dongeng

 

MADE BUDHIANA, AKU CURI GARISMU


apa kau merasa kehilangan garis, Made Budhiana!

aku curi garis kasat mata tanpa warna
yang tumbuh di kanvasmu yang bermekaran
diantara pepohonan sungsang rumahmu

dengar, aku menancapkannya
titik-titik hitam bersambungan itu
menjelma burung-burung bisu
yang hidup di bawah tanah

lihat juga,    garis itu aku gerus
tertanam pohon mudra
rumah api bagi ular air dan kupu-kupu
yang ke dua sayapnya berbeda gambar

aku minta,   kau ikhlas melepasnya
periksalah lukisanmu, aku mengambil
garis yang paling kau cintai
garis air,    garis api,    garis bunga
garis cahaya, garis tangan yang dukana
garis rahasia, garis suci, garis maut

aku hanya menjadikannya puisi

 

PEREMPUAN PASAR


aku menemuinya di pasar rakyat
perempuan yang berasal dari tanah yang
mengambang
“ini bahan untuk membuat boneka,” ujarnya,
menawarkan garam
mulutnya yang mengunyah sirih,
bercerita tentang bau nyale
bulan purnama, hutan karet, surut laut
“tiga lelaki telah menjadi suami saya,” tuturnya

sepanjang siang,   sejak pagi ia menunggu
layaknya menunggu masa kering panen
“saya sudah lahir ketika jepang datang,
tiga anak saya sudah kawin dan
memberi saya enam cucu,” celotehnya

ke tiga lelaki yang pernah menjadi suaminya
kabarnya telah kawin lagi,
“hidup adalah panen raya,” tambahnya
sambil meludah.
“ada waktu menanam, menyiapkan bibit
menabur pupuk, mengusir hama,
lalu menunggu buah siap dipetik.....”

di lorong-lorong pasar yang lembab oleh hujan asam
matanya melayarkan perahu rempah
“saatnya untuk karam dan bertemu pembeli
jodoh.  hidup-mati.
dan mimpi malam hari
tidak bisa ditawar.
Setiap orang punya harga,” katanya

aku menemui perempuan itu di pasar rakyat
darimana ia memperoleh bahan-bahan jualan, serta
kemana ia pergi setelah pasar tutup

perempuan itu berasal dari tanah yang mengambang
dengan dakinya ia membuat boneka garam
lewat air matanya ia melayarkan perahu rempah
perempuan itu tidak menangis.              Tidak!
kapan pun aku menemuinya di pasar rakyat

 

AYAHKU SEBUAH TELEVISI


matilah ayah.               hentikan wajahmu
24 jam kau menyakiti aku, dengan kenikmatan itu

ayahku sebuah televisi,
yang tak pernah puas menghisap listrik
sejarah melintah di lidahnya yang bercabang
masa lalu,
       hanya pembangkit birahi, untuknya
       
dalam rendaman cahaya ruang tamu
diajarinya aku melihat dunia dengan telinga
mendengar bumi dengan mata:

“pejamkan tubuhmu,” hasutnya,
      “hingga serupa danau, laut atau sawah”
pemandangan yang hanya tinggal tumbuh dalam
televisi

lantas dituturkannya tatacara mentumpangsarikan
padi
seluk beluk menangkar kupu-kupu
sampai hal ihwal mengawinkan ikan
seumur hidup ayah,         dirajamnya
keyakinanku
meniru meditasi dalam rumah kaca
dan menikah dengan metode hydrophonic

aku pun sebuah televisi
24 jam aku menyakiti diriku dengan kenikmatan

 

KUPU-KUPU KUNING DALAM CERITA PENDEK PUTU ARYA TIRTAWIRYA


ia sentuhkan tanganku yang kering
ke dadanya
yang paru-parunya basah oleh getah tembakau
sembari minta doa:
      “sengatkan naga dari tubuhmu
             hingga menggigit luka hatiku……..”
            
lelaki yang terbaring di atas jalan cerita,
yang ditulisnya diseantero Lombok
tubuhnya menyimpan demam,
  yang dideritanya seumur hidup
tak ada yang ditutup-tutupinya,
tak ada yang tidak dituturkannya:
     “lihatlah, sindu,      kupu-kupu kuning
       yang hinggap di potret masa muda
saya……….”

kupu-kupu yang menyeberangi selat Lombok
menemukan taman bunga bawah laut,
dengan sungai-sungai apinya yang menyala
menemukan taman rahasia, tempat Sita
disembunyikan
kupu-kupu yang menemukan nektar bunga perdu,
yang lebih manis dari susu ibu

ia sentuhkan lagi tangannya yang kering
ke dadanya,           yang biru oleh batu rindu:
“ciumlah bau tuak, sindu
yang menenggelamkan bulan di Cakranegara
dengarlah kokok ayam jantan,
yang menggiring penangkar kupu-kupu
ke goa-goa di pinggiran kota.
saya ini,      seorang urban di kampung
halaman.....”

kupu-kupu yang tua Putu Arya Tirtawirya
dalam cerita-cerita pendeknya yang getir.
kupu-kupu getas
yang kehilangan sehektar taman bunga
kupu-kupu garam
yang kehilangan bunga padi yang wangi,
kupu-kupu yang tua itu,
kini hinggap di potret masa lalumu
dalam kamar, tanpa sungai-sungai api
                    tanpa pohon-pohon sungsang
kupu-kupu yang ditinggalkan malam,
kupu-kupu yang ditinggalkan pagi

tapi, Putu Arya Tirtawirya
terimakasih
telah kau contohkan
bagaimana menceritakan diri sendiri

 

CERPEN TERAKHIR PUTU ARYA TIRTAWIRYA


9 September 2009
Putu Arya Tirtawirya menuliskan
cerita pendeknya yang terakhir:
        kekupu debu pulang ke sarang tanah
        burung air terbakar di mata air
        dan penyu api memijarkan titiktitik api
        dari sekujur tubuhnya
        
karena Mataram bukan lagi hanya impian
seorang Van Ham, jendral perang VOC
yang kehilangan nyawa, sementara
pasukannya dibekam demam malaria
jam enam petang,
dengan menempuh perjalanan tak berjarak
sajak tanpa kata-kata itupun tuntas diketiknya
langkahnya lapang
  rokok menyala membasahi paru-paru
bayangan lelaki itu melintas,
aku melihat,          tangannya yang birahi
      melipat-lipat kertas menjadi perahu
      untuk melarutkan tokoh-tokoh impiannya
di selat yang buas.
    Ia yang makan sayur tanpa garam
        ia yang minum air mata,
bagaimana orang tahu ia sedang menangis
menangisi kekupu debu pulang ke sarang tanah    
burung air terbakar di mata air dan
penyu api memijarkan titik-titik api
dari sekujur tubuhnya
ke bagian paling hitam dari pulau garam ini
di tempat tersembunyi,
dimana tumbuh bunga cahaya
Mataram menanamkan dalam malam
mata rama-rama itu, 9 September 2009


TAGS :

Sindu Putra

Sindu Putra
dilahirkan di Bali, 31 Juli 1968
belajar menulis sejak di sekolah
menengah pertama
sajaknya mula-mula dipublikasikan di
Bali Post Minggu (1982)

sajaknya kemudian juga dimuat:
Kompas, Koran Tempo, Media
Indonesia, Republika
Horison, Jurnal Cak, Jurnal Puisi dan
KaLam
Buku puisinya: Dongeng Anjing
Api (Buku Arti, 2008), Segara Anak
(Pustaka Ekspresi, 2010)

Jl. MELATI VII/282 BTN REMBIGA
MATARAM 83124

Komentar