Rindu di Masa Korona

Ilustrasi: Pixabay

Kegaduhan akibat merebaknya virus Korona makin menjadi-jadi. Ada lebih dari seratus orang yang sudah terjangkiti. Dan aku harus pergi meninggalkan kotaku yang tenang untuk menuju ke kota tempat beberapa orang dengan dugaan positif terjangkiti Korona yang mematikan itu.

Kereta api melambatkan lajunya saat memasuki stasiun. Orang-orang mulai berdiri dan mengambil barang-barang bawaannya. Suara petugas stasiun menyapa kami yang resah ingin segera turun. Aku masih duduk menikmati lambat laju kereta dengan sensasinya yang menyendat-nyendat.

Aku telah datang di kota ini sebelum lockdown diberlakukan. Undangan seminggu yang lalu mengharuskan aku untuk datang. Keperluanku untuk menghadiri pameran lukisan temanku. Ia pelukis sketsa yang sedang naik daun.

Ia adalah teman satu kos denganku saat sama-sama menempuh kuliah di fakultas senirupa. Ia mengambil seni murni dan aku desain komunikasi visual. Setelah lulus ia tetap bertahan sebagai perupa yang bertekad bisa hidup dengan kemampuan yang dimilikinya.

"Pras, aku di sini," ia menyapaku saat aku masih kebingungan di stasiun subuh itu.

Aku bergegas menghampirinya, "Sudah lama menunggu?" tanyaku. Ia langsung mengajakku ke mobilnya menuju apartemennya.

"Catatanmu pada brosur pameran yang aku adakan cukup mewakili pesan dan tema pameran," di apartemennya ia berujar sambil menunjukkan brosur pamerannya esok lusa.

"Aku hanya mencoba mengungkap sisi dirimu yang tak banyak orang tahu. Terima kasih jika itu mengena dengan tema pameran kamu," jawabku ringan saja.

Tiba tiba ada berita di televisi bahwa lima warga kota ini terjangkit virus Korona. Wali kota panik dan menghimbau isolasi pada tiap warga. Pameran temanku pun harus ditunda untuk waktu yang tidak ditentukan. Aku dan dia kecewa. Dan terutama temanku itu karena ini adalah pameran perdananya. "Bagaimana ini, aku tak bisa pulang karena stasiun sudah ditutup untuk dua bulan ke depan," aku meradang dengan sedih.

“Tinggallah di sini bersamaku, aku di sini sendiri dan kamu bisa tinggal sambil menemaniku berkarya.”

Sementara aku menunggu bersama temanku, kondisi wabah Korona makin menjadi-jadi. Kota bagaikan daerah mati akibat lockdown yang terus diperpanjang karena virus terus menginfeksi. Aku terjebak tak bisa kembali.

Aku tak bisa pulang. Tiga bulan ke depan aku harus tinggal di sini, menyendiri di apartemen. Hanya berdua dengan temanku. Berdua kita mengisolasi diri tanpa tahu kapan harus berakhir. Semua tak pasti.

Sebenarnya aku meninggalkan tunanganku di desa. Di sana ia pun harus mengisolasi diri jika tak ingin terjangkit virus yang dikenal dengan nama Covid-19 ini. Virus makin ganas dan telah menyebar ke pelosok desa. Semua aparat pemerintah menghimbau untuk menghindari kerumunan.

"Aku merindukanmu," sebuah pesan singkat dari tunanganku. Begitu singkat karena kerinduan yang membuncah tak lagi bisa dituliskan dengan bahasa romantis yang mendayu-dayu. Sebagaimana aku yang dicekam kesunyian di sini. Di kota ini aku bagai makhluk hidup yang mati suri. Terisolasi.

Aku ingin menuliskan perasaan rindu ini padanya. Tapi dengan apa aku merangkai kata sedang yang kutemui dan kujalani hanya di ruang empat kali lima meter persegi.

Sehari-hari aku hanya berkutat dengan gawaiku. Sementara berita masih berkutat dengan yang terduga dan yang mati, aku terus terbayang wajah Jayanti tunanganku. Rindu ini membuatku tak nyenyak tidur. Gelisah.

"Mas, aku demam. Semalaman aku menggigil, aku takut ini bukan demam lantaran merindumu," sebuah pesan muncul lagi di gawaiku hari ini. Yanti berkabar bahwa ia demam, tapi mungkin itu hanya demam lantaran rindu karena desanya juga ikut lockdown lantaran Korona makin merajalela.

Ada petugas medis datang ke apartemen yang kutempati. Ia hendak melakukan pemeriksaan suhu tubuh pada warga penghuni apartemen. Mereka mendatangi kamarku dan menembakkan sebuah alat ke jidatku. "Tiga puluh tiga derajat selsius," ia berkata dengan wajah penuh selidik, "tetap mengisolasi diri dan jangan ke mana-mana jika Anda ingin tetap steril."

Aku makin jenuh di apartemen. Hanya ada alat-alat lukis di sana-sini dan beberapa buku tentang komposisi anatomi dalam berbagai pose. Aku ingin membaca puisi atau novel tentang cinta tetapi di rak koleksi buku temanku ini sama sekali tidak ada. Semua hanya tentang teori seni rupa. Aku terjerat kangen luar biasa hanya berteman dengan orang yang sehari-harinya membuat sketsa.

"Deni, aku ingin kau buatkan aku sketsa wajah tunanganku. Ia berkali-kali mengaku rindu padaku hingga tubuhnya demam," aku meminta Deni yang sedang serius membuat sketsa di ruang tamu apartemennya.

"Mana fotonya?"

"Akan kukirim ke gawaimu sebentar lagi. Tolong kau sketsa dengan posisi aku sedang berdua dengannya di sebuah bangku tua dalam taman kota," aku menjawabnya sambil memilih wajah Yanti yang cocok untuk disket olehnya.

Aku berniat memotret hasil sketsa Deni, tetapi aku urungkan karena takut ia makin kangen denganku.

"Aku positif Korona. Semoga kamu baik-baik di sana." kabar dari Yanti melalui gawaiku datang lagi. Kabar kali ini membuat aku kaget. Lemas.

Aku mengambil sketsaku yang sedang duduk berdua di bangku taman kota. Aku memotretnya dan mengirim balik ke nomor tunanganku, Yanti. Pesanku hanya centang satu, mungkin whatsApp-nya sedang offline.

Tiga hari kulihat pesanku padanya belum terbaca. Aku panik tapi tak ada kabar berita. Dalam apartemen ini aku semakin merasa bagai dalam penjara. Sementara itu, Deni masih fokus dengan aktivitasnya membuat sketsa. Isolasi baginya adalah kesempatan untuk lebih kreatif berkarya.

Aku makin tersiksa dengan keadaan ini. Isolasi ini membunuhku pelan-pelan. Aku mencoba menghubungi Yanti tapi gawainya tak pernah aktif. Sepi.

Pada akhirnya aku pun merasa demam. Demam yang timbul dari rasa kangen yang tak berkesudahan. Di tengah himpitan pandemi Korona ini aku  merasa kehilangan.


TAGS :

Agus Buchori

Penulis lahir di desa nelayan, Paciran, di pesisir utara Kabupaten Lamongan. Sehari-harinya menjadi Arsiparis di Dinas Kearsipan Daerah Kabupaten Lamongan serta mengajar Bahasa Jawa di SMAM 6 dan MTsM 02 Pondok pesantren Karangasem Paciran Lamongan.

Saat ini   aktif di komunitas Literacy Institute yang bergerak dalam pengembangan literasi di lamongan. Bersama teman temanya di sana melakukan penerbitan buku baik sastra maupun budaya untuk menggiatkan kegiatan tulis menulis di Lamongan.

Puisinya tersebar di Bali Post, Radar Bojonegoro (jawa Pos grup), Balai Bahasa Jawa timur dan di qureta.com, Baru baru ini bersama komunitasnya menerbitkan antologi cerpen Bocah luar Pagar , Hikayat daun Jatuh, dan antologi puisi Ini Hari sebuah Mesjid Tumbuh di Kepala.   Bisa di hubungi di agusbuchori@gmail.com.

Komentar