Lima Puisi Ketut Sugiartha
- By Ketut Sugiartha
- 17 Maret 2020
Kujinakkan Renjana
meski semua pintu kututup
masih saja kelayap suara-suara
yang tak mampu kukunyah
dan gelisah tak kunjung kudedah
bersama kepala berlarian
sepanjang nadi sang kala
kutembus pekat malam
susuri jejak kelam musim
kujinakkan renjana
kulepas segala buhul
hingga tak ada sesal
untuk yang tak kulakukan
biarkan aku menyepuh
segenap lara
pada sulur usia
yang terus merambat
2019
Dengan Apa
dengan apa lagi kuperkenalkan diri jika
yang kupunya hanya sebuah nama
dengan apa lagi kunyatakan perasaan jika
yang kupunya hanya sekeping damba
orang bilang cinta tak pernah memilih
orang bilang cinta hanya titipan untuk ditagih
tapi kenapa banyak yang berjuang begitu gigih
untuk menggenggam milik yang sahih
seandainya kau tahu
yang dititipkan padaku milikmu
haruskah aku datang padamu
mengeja namamu setiap waktu
seperti doa-doa yang kutabur
kuharap membuatmu tak ragu
2019
Kota Tua
kota tua yang berdegup di zaman hindia belanda
masih kudengar desah napasnya di stasiun kota
derap langkah adalah keseharian yang kekal
bergegas melintas di balik pagar trotoar
di sana para penjaja perkosa pedestrian
tak ada keluh dan tak terdengar makian
masing-masing suntuk dengan urusannya
kubagi receh pada kardus pengamen uzur
yang menggesek biola dengan tangan keriput
dari mana melodi mengalun gugup
hidupkan perlintasan bawah tanah nan redup
ia tak mengemis seperti pengamen bus kota
ia ingin nada biolanya disimak
ia bahagia dianggap ada
2019
Kutangkap Pelangi di Matamu
kutahu di mana bertandang gerimis
pantulkan semesta warna-warni
di ambin matamu yang runcing
pada senja cerah melembayung
kutangkap pelangi di matamu
tujuh dimensi fusi
dalam kanvas surgawi
kukejar bayangmu
sampai ke sudut terpencil desa nan jauh
bumi tempat kekal terpahat namamu
meski niskala namun jelas
di mataku yang tak berkejap
dan seharusnya aku percaya
ada cinta yang patut dirayakan
2019
Taman Puring
sore ketika tetes penat mengristal
kususuri kelopak bibirnya yang tak bergincu
mungkin hanya aku rasakan lembut kecupnya
sementara orang-orang sibuk menyeka peluh
adakah orang-orang marjinal butuh taman
walau telah bertahun merawat jiwa
rimbun daun, bunga mekar, dan kicau unggas
mungkin serupa udara yang tak dianggap ada
sembari menggenggam sisa hari
kusematkan larik demi larik
pada dinding waktu, berharap jadi puisi
telah kuredam riuh kesah kota
pun segenap deru debu yang menyesakkan
tapi tetap tabah seperti taman penjaga sudut kota
2019
Komentar