Guru Sejarah

Ilustrasi: Pixabay

Malam kian pekat, tetapi ia masih setia duduk menghadap di meja itu. Meja itu yang menemaninya bertahun-tahun menyemai kesadaran anak-anak didiknya. Di atas meja kayu tua itu, ia menuliskan apa yang mesti diajarkannya esok hari pada anak-anak didiknya. Bertahun-tahun ia menikmati suasana pembelajaran di kelas yang gaduh yang membuatnya tak merasa tua atau rapuh.

Keseharian yang menjemukan bagi banyak orang tapi tidak baginya. Baginya, menjadi guru sejarah adalah panggilan yang mesti ia jalankan laksana mesiah mengabarkan kabar dari langit bagi yang tersesat di jalan gelap. Ia akan merevisi angka-angka dan juga nama-nama bilamana ada yang berubah saat sejarah bergerak maju dan ada fakta baru yang harus dimunculkan. Sejarah haruslah berkata apa adanya itulah prinsip hidupnya.

Sejarah akan selalu ia jaga dengan ketekunan sebagaimana perasaan ayah pada anaknya. Pesan yang ia tanamkan pada anak-anak didiknya adalah menjunjung tinggi keadilan dan hidup tanpa kepentingan untuk menguntungkan diri sendiri. Baginya sejarah bukanlah sekedar angka-angka untuk dipahami dan diingat sebagaimana waktu yang berlalu. Lebih dari itu, sejarah harus bisa memberi makna bagi yang sudi membacanya. Sejarah adalah kaca benggala.

Ia pandangi buku tua di meja itu. Lembar-lembar halaman telah ia buka namun tak jua ia temukan halaman penuh warna hijau. Warna yang begitu membuatnya bangga memiliki sebuah negara yang berwujud kepulauan ini. Hijau yang mendinginkan dan menenteramkan setiap mata yang memandang. Kini di peta itu semua menjadi merah dan jingga. Sebuah legenda peta yang berarti daratan tandus tak bervegetasi sama sekali.

"Aku mulai jenuh dengan keadaan," katanya pada suatu ketika. "Sejarah yang kuajarkan membuatku sering menghapus dan merevisi. Aku menyesal, selama ini telah memberikan sebuah data kebohongan." Itulah pengakuaannya pada kepala sekolahnya saat ia ingin mengundurkan diri.

"Sudahkah Pak Arif pikirkan resikonya jika, Bapak mundur jadi guru sejarah di sekolah kami. Kita perlu guru sejarah yang mampu menjelaskan kebenaran di negeri ini, tolong Pak Arif renungkan kembali niatan untuk mundur itu!" jelas Kepala sekolahnya waktu itu.

Ia merasa bersalah karena apa apa yang ia tuturkan selama ini bukanlah sebuah kebenaran. ia merasa sejarah telah banyak dimanipulasi ketika beberapa bulan yang lalu ia melakukan perjalanan dengan tema bertemu pelaku sejarah. Kegiatan perjalanan itu ia maksudkan untuk mendengar langsung dari tuturan kisah para pelaku sejarah. Ia tak mau hanya mengkonsumsi buku ajar yang selama ini ia pakai sebagai bahan mengajar di kelasnya.

Pak Arif sering menghadiri diskusi sejarah yang menghadirkan tokoh-tokoh pelaku sejarah di negeri ini. ia ingin merasakan langsung suasana peristiwa sejarah dari suara para pelakunya. Apa sesungguhnya yang terjadi adalah rahasia yang selama ini ingin ia gali. Ia tahu sejarah hanyalah berkutat pada yang punya akses untuk menuliskannya. Sejarah hanya tertulis untuk kelas menengah ke atas.

Banyak peristiwa di negeri ini yang sebenarnya terlewat untuk dituliskan pada buku-buku pelajaran di sekolah. Ia mengetahui ketika membaca buku-buku yang ditulis oleh orang-orang yang tersingkirkan dari panggung sejarah bangsa ini, bahwa banyak tokoh-tokoh kecil yang seharusnya berperan besar untuk ikut tercatat di buku sejarah namun tidak ia temukan namanya di situ. Mereka bukan bagian dari penguasa jadi perannya seolah terhapuskan bahkan dilupakan. Banyak di antaranya tak bisa menikmati hasil jerih payahnya selama ini.

Sejarah hanya diisi orang-orang besar dengan kata lain adalah mereka yang mempunyai akses pada jalannya peristiwa ketika ia hadir di dalamnya. Banyak latar belakang peristiwa yang menjadi tonggak perjalanan bangsa ini melibatkan orang-orang tak bernama. Karena saking kecilnya untuk bisa dicatat sebagai bagian dari peristiwa penting perjalanan berdirinya bangsa ini.

Proklamasi, siapakah yang mengabadikan foto itu. Andai tak ada yang megambil gambarnya mungkinkah kita bisa merasakan bagaimana dramatisnya peristiwa itu. Dan ia pun tak tahu siapa juru fotonya. Harusnya ia tercatat di buku sejarah bangsa.

Seksi dokumentasi memang tak pernah menjadi aktor sebuah peristiwa. Ia hanya pelengkap karena tanpa keberadaannya peristiwa itu tetap jalan. Tapi di manakah kenangan dan fakta yang berupa gambar nantinya bisa jadi bukti jika para pelaku dokumentasi selalu terabaikan.

Kenangan harus ada yang merekam dengan gambar. Gambar banyak menyajikan kalimat-kalimat yang hanya dengan melihatnya kita mampu membacanya.

Karena gambar begitu meyakinkan banyak juga yang menghapus bahkan membuang sebuah penampakan seseorang untuk mengaburkan peranannya. Para tokoh sejarah pun punya ambisi untuk tampil sendiri meski perjuangannya bersama-sama.

Di peta itu ia menelisik warna yang banyak berubah. Ia berubah karena kerakusan para penguasa yang namanya banyak dihafal di buku-buku sejarah bangsa. Ia menangis dalam hati dan air matanya menetes ke lembaran peta yang kini telah banyak berubah warnanya.

"Kerakusan membuat seseorang lupa. Anak-anakku bacalah sejarah yang disuarakan oleh mereka yang terpinggirkan dari lingkaran kekuasaan!" ujarnya tegas pagi itu di ruang kelasnya. Anak-anak didiknya menyimak sambil mereka-reka nama-nama mereka yang tersisih dan terhapuskan dari buku pelajaran sekolahnya.

Di papan tulis ia menunjuk peta besar nusantara yang telah berubah warna. Semua berwarna jingga yang mengartikan daerah tandus. Salah satu muridnya bertanya, "Bukanlah tujuh puluh tahun lalu peta itu berwarna hijau, Pak?"

"Peta ini telah membuat kita tahu bahwa terlalu banyak pahlawan di negeri ini yang sebenarnya tak layak disebut pahlawan karena telah merusak negeri sendiri." jawabnya dengan nada perih.


TAGS :

Agus Buchori

Penulis lahir di desa nelayan, Paciran, di pesisir utara Kabupaten Lamongan. Sehari-harinya menjadi Arsiparis di Dinas Kearsipan Daerah Kabupaten Lamongan serta mengajar Bahasa Jawa di SMAM 6 dan MTsM 02 Pondok pesantren Karangasem Paciran Lamongan.

Saat ini   aktif di komunitas Literacy Institute yang bergerak dalam pengembangan literasi di lamongan. Bersama teman temanya di sana melakukan penerbitan buku baik sastra maupun budaya untuk menggiatkan kegiatan tulis menulis di Lamongan.

Puisinya tersebar di Bali Post, Radar Bojonegoro (jawa Pos grup), Balai Bahasa Jawa timur dan di qureta.com, Baru baru ini bersama komunitasnya menerbitkan antologi cerpen Bocah luar Pagar , Hikayat daun Jatuh, dan antologi puisi Ini Hari sebuah Mesjid Tumbuh di Kepala.   Bisa di hubungi di agusbuchori@gmail.com.

Komentar