Lima Puisi Agus Buchori
- By Agus Buchori
- 06 Maret 2020
Di Semarang Sisa Kediktatoran Menjelma Hantu
Memasuki salah satu pintu di gedung itu
Laksana menguak suara jeritan para tahanan
Mencekam. Pengap
Tercium darah sisa sisa siksa
Berpuluh tahun lalu
Saat kediktatoran dan ketidakadilan penguasa
Memenjarakan pribumi tak berdaya
Menerima dera menjadi luka luka abadi berbilang masa
Kini ketidakadilan itu berbuah riwayat
Bagai membangkitkan ribuan mayat
berdiri dan melangkah dari ribuan pintu
Hanya di Semarang sisa kediktatoran bisa menjelma hantu
Di Stasiun Tawang
Orang orang bergegas turun
Menyandarkan lelah dan rindu
Sejenak menyalakan rokok disela irama Gambang Semarang
Di kursi Stasiun Tawang itu mereka hembuskan harapan harapan
Malam itu nampak sepasang kekasih
Saling berhadapan di pintu kereta
Mereka hanya diam
Sementara wajah wajah resah melewatinya
Saat peluit nyaring menyapa telinga
Kenyataan adalah jarak yang harus ditempuh
Mesin menderu dan orang orang bergegas
Meninggalkan bara dalam sejeda waktu
Semarang Adalah Catatan
Memasuki kotamu saat tergenang
Kuingat dua wajah kotamu
Bukit dan rawa
Di selatan adalah kenyaman
Di utara adalah tempat kehidupan
Bersatu menghidupkan gerak kota
Terabadikan jejak di kota lama
Membingkai jejak sejarah kotamu
Menghayati lembar catatan di sana
Tentang perang cina dan kisruh bumi jawa
Kini yang ada adalah catatan
Seberapa jauh air laut ke daratan
Malam di Simpang Lima
Dengan sepincuk tahu petis
Menyapa malam di Simpang Lima
Silau pada peradaban rakyat
Begitu gemerlap di alun alun kota
Nyiblek, Mas
Suara di balik rimbun taman kota
Sambil menaikkan ritsleting celananya
Ia tersenyum malu malu
Sambil berlari kecil
Gadis kecil itu tersipu malu
Digenggamnya lembaran sisa cinta
Entah untuk sekolah atau beli pulsa
Malam di Simpang Lima
Gemerlapnya bercampur desah
Gadis muda dan bapak tua
Dan komedi putar itu tertawa entah untuk apa atau pada siapa
Ereveld Kalibanteng
Berjajar rapi ratusan nisan
Mereka perlu dihormati
Di negeri ini
Ini negeri punya bumi
Siapa mati
Biarlah ia berserah diri
Bukit kota semarang
Menjadi saksi
Kita masih punya Budi
Komentar