Galungan

  • By IDK Raka Kusuma
  • 14 Februari 2020
Foto: Tut Sugi

Oleh IDK Raka Kusuma

Hari Raya Galungan, bagi orang-orang seagama denganku, pasti dirayakan sebagai hari kemenangan. Hari mana dirayakan dengan wajah sumringah memancarkan rasa bahagia tak terkira.

Bagiku? Kau pasti beranggapan aku ingin tampil beda. Atau cari sensasi murahan. Kalau aku katakana dengan wajah sangar tetapi hati penuh luka: Galungan bagiku hari kekalahan. Kekalahan total bahkan.

Apa pasal? Kenapa? Bisa jadi tiga patah kata dengan dua tanda Tanya itu kau lontarkan dari bibirmu menanggapi pernyataanku barusan. Akan kujawab. Tapi, sebelum kulepas jawaban jangan kau anggap aku mendramatisir keadaan. Jangan kau anggap aku mengeksploitasi cerita secara berlebihan, bila aku katakan, sampai sekarang kekalahan itu masih tetap kurasakan.

Dengarlah. Pada hari raya galungan itu, aku dan ibu tak punya apa-apa. Pinjam atau minta pada tetangga? Jangan harap dapat. Dan pasti tak mendapat. Apa yang menyebabkan? Pasti pertanyaan terlontar lagi dari bibirmu setelah menghembuskan asap rokok.

Penyebabnya, aku dan ibuku sangat dibenci tetangga. Yang menyebabkan demikian, sebelum ibu menjadi janda, ayahku perampok ulung dan pembunuh berdarah dingin yang sadis. Tanpa takut,ayahku merampok di desa-desa lain. Sekaligus membunuh pemilik rumah yang berani melawan. Bukan hanya perempuan dia bunuh. Anak kecilpun dia habisi. Bahkan pula, nenek atau kakek dia tikam dengan klewang, bila amarahnya memuncak akibat perlawanan sengit pemilik rumah.

Ayahku, pasti kau tanyakan, kok menang terus dalam melakukan operasi? Ayahku pesilat tangguh. Tubuhnya kebal. Padaku sering dia pamerkan saat menurunkan ilmu silatnya kepadaku di kebun kelapa yang luas di belakang rumah. Aku tidak berani bertanya kepada ayahku, dimana dia memperoleh kedigjayaan itu. Aku tidak berani bertanya, pada awal menurunkan ilmu silatnya padaku, ayah melarang bertanya. Satu pertanyaan, kata ayahku dengan nada suara mengancam, satu bogem mentah di pipi plus dua tendangan di pantat.

Semula ayahku, sendiri melakukan perampokan plus pembunuhan itu. Kemudian, ayahku punya komplotan. Komplotan ayahku berjumlah lima orang termasuk dia. Selain ayah, semua, atau keempatnya berasal dari luar desaku. Keempatnya pesilat tangguh, kebal dan berdarah dingin. Bedanya, keempatnya, besar dan berotot. Keempatnya berkepala plontos.

Ayahku dan komplotannya sangat licin selalu lolos dari sergapan orang-orang desa yang mereka rampok. Dalam setiap sergapan, sekejap mata sudah tidak terlihat. Walau senter dan obor diarahkan pada gelap malam jumlahnya tak terhitung.

Di luar sepengetahuan ibu, ayahku memanggilku. Dia menginginkan setelah aku besar mengganti dirinya sebagai pimpinan komplotannya. Aku tidak berani menolak. Aku tahu watak ayahku. Bila permintaannya kutolak siksaan berat akan menimpa tubuhku. Sebagai pengetahuan awal,ayah mengajariku menutup wajah agar tidak dikenal. Selanjutnya ayah mengajariku teknik merampok. Teknik mempertahankan diri.

Di luar sepengetahuan ibu, ayahku juga mengajarkan mantra pembangkit kekebalan sesudah menyuruh aku menelan sesuatu yang dimasukkan pada sebiji pisang emas. Juga diajarkan mantra menghilang saat dikejar.

Penduduk desa tempatku lahir, semula tak membenci aku, ayah dan ibuku. Karena tak pernah melakukan perampokan di sana. Karena, perampokan yang ayah lakukan, ditularkan juga pada desa kelahiranku, maka seluruh penduduk (di luar keluarga besar ayah dan ibu) membenci ayah, ibu dan aku.

Kebencian mereka bukan diawali ayah dan komplotannya ketahuan merampok. Tetapi diawali, dengan salah seorang penduduk desa memergoki aku dan ibu menjual hasil rampokan ayahku di kota. Sialnya, hasil rampokan itu, milik penduduk paling kaya di desaku.

Karena tahu ayah pesilat tangguh dan kebal. Karena masih menaruh rasa hormat kepada keluarga besar ayah dan ibu, penduduk desa bersepakat melalui kepala desa menyarankan agar ibu dan tetua keluarga menasihati ayahku.

Hasilnya? Ayah melontarkan kata-kata di luar dugaan, saat pertama menasihati.

            “Perempuan bedebah berhenti menasihatiku. Kau tahu? Aku melakukan ini karena dendam pada desaku ini juga pada desa lain yang aku rampok. Desa ini dan desa-desa yang kurampok mengirim perwakilan membunuh ayahku di kuburan desa. Karena ayahku menjadi pimpinan PKI yang tak mau menyerah. Dan ayahku, setelah rahasia kekebalannya diketahui dibacok beramai-ramai. Ditebas beramai-ramai.”

Diam sesaat. Lalu, “Kau pasti mau tahu, dari mana aku tahu hal ini. Ibuku membisikiku sebelum meninggal. Minta kepadaku sebelum memejamkan mata agar membalaskan. Nama-nama perwakilan desa, desa ini dan desa-desa yang kurampok disebutkan satu per satu dan itu masih kuingat.”

Ibu yang menerima jawaban tak terduga itu, langsung diam. Dan aku, tak bisa berkata apa-apa.

Ketika perwakilan keluarga besar ayah dan ibu datang menasihati ke rumah, bersama ibu kudengar perkataan ayah yang bernada marah.

“Kalian lebih memihak orang lain dari keluarga sendiri!”

“Apa maksud Made?” salah seorang tetua keluarga ibu bertanya.

“Kalian jauh lebih tua dariku. Pasti kalian ingat peristiwa pembunuhan beramai-ramai yang dilakukan perwakilan desa ini dan desa-desa yang kurampok!”

“Saat itu …”

Ayahku langsung menyela sambil menuding, “Sebelum kuhabisi kalian satu-satu, tinggalkan rumah ini sekarang juga!”

Perwakilan keluarga ayah dan ibu, satu persatu pergi. Kulihat seraya melangkahkan kaki mereka menunduk.

Sebulan setelah peristiwa itu, keluarga besar ayah yang terdiri dari sepuluh keluarga memutuskan transmigrasi. Keluarga besar ibu yang terdiri lima keluarga demikian juga. Tujuan mereka, jelas, tidak ingin dilibatkan oleh pihak desa. Juga tidak ingin terlibat jika pihak desa bertindak tegas kepada ayah, juga kepada komplotannya. Tujuan lain, mereka membuang aku, ayah dan ibuku. Sekaligus, secara terselubung pula tidak mengakui keluarga dan memutus tali semenda dan hubungan darah.

Bagaimana sikap ayah setelah itu? Tetap melakukan perampokan. Hanya saja pembunuhan jrang dilakukan. Penybabnya, jelas, yang punya rumah tidak melakukan perlawanan. Ibu dan aku tetap menjual hasil rampokan ayah ke kota. Tanpa menghiraukan sorot mata tajam mengandung dendam penduduk desaku ketika kami melangkah di jalan.

Kau pasti tahu. Siapapun diperlakukan sengan semena-mena, apalagi dirampok pasti akan melakukan perlawanan. Terang-terangan atau sembunyi-sembunyi. Juga melakukan upaya-upaya untuk bisa dengan segera melenyapkan si pelaku. Demikian juga penduduk desa tempat kelahiranku. Mereka bersatu padu. Anehnya, upaya mereka selalu sia-sia. Ayah dan komplotannya selalu terhindar dari segala bentuk jebakan dan pengejaran.

Tapi, penduduk desa dan penduduk desa lain yang dirampok ayahku, tidak putus asa. Sekali gagal, dua kali upaya mereka lakukan. Dua kali gagal, tiga kali upaya mereka lakukan. Tiga kali gagal, empat kali upaya mereka lakukan. Empat kali gagal, lima kali upaya mereka lakukan. Lima kali gagal, enam kali upaya mereka lakukan. Enam kali gagal, tujuh kali upaya mereka lakukan. Tujuh kali gagal, delapan kali upaya mereka lakukan. Delapan kali gagal, sembilan kali upaya mereka lakukan.

Pada upaya kesebelas mereka berhasil mengenyahkan ayahku bersama komplotannya. Penyebabnya, pastilah rahasia kekebalan mereka sudah diketahui.

Sebelum ayahku dienyahkan, sesungguhnya, ibu sudah menghalangi dengan menyatakan firasat buruk didengarnya dari burung gagak yang hinggap di bubungan dan bersuara keras.

Apa jawaban ayah?

“Firasat? Itu takhyul! Suara gagak? Itu suara binatang. Binatang punya kuasa apa terhadap manusia? Binatang tidak menentukan hidup mati manusia. He, perempuan bawel, jangan halangi aku, kupenggal kepalamu baru tahu rasa!”

Aku yang melihat peristiwa itu hanya menunduk. Di samping takut, perasaan tak menentu meliputi hatiku. Sebab di lantai kulihat bayangan kuburan berputar dengan kencang.

Jika saja, kepala desa tidak menghalangi penduduk desa tempat kelahiranku pasti aku dan ibu jadi sasaran berikutnya.

“Mereka tidak bersalah,” kata kepala desa, “Saya saksinya. Ketika saya pergoki menjual hasil rampokan di kota, sekeluar dari toko saya Tanya istri Si Napnap ini. Dengan jujur dia mengatakan dipaksa dan diancam hendak dibunuh bila menolak menjual hasil rampokan. Anak ini tak berdosa, hanya mengantar ibunya. Anak ini tidak tahu apa-apa.”

Dalam hati kubenarkan perkataan kepala desa. Saat mengatakan dipaksa dan diancam hendak dibunuh kepada kepala desa aku berdiri di samping ibu.

Sebelum kau bertanya di mana ayahku dikubur, akan kuceritakan padamu peristiwa selanjutnya. Ketika ayahku tergeletak bersama komplotannya dan tak bernafas lagi, nyaris penduduk desa tempat kelahiranku dan penduduk desa lain memutilasi. Syukur para pemuka desa menghalangi dan meminta agar mayat ayah dan komplotannya dikubur di sema pakutangan, tempat menguburkan jenazah orang yang tak dikenal asal-usulnya. Atau orang yang sudah tidak diakui lagi sebagai warga desa.

Aku dan ibu tetap hidup. Tetapi hidup di bawah bayang-bayang kebencian. Seluruh warga desa tempatku lahir. Hidup dalam ketertekanan maha hebat. Hal ini bertahun-tahun kami alami.

Setamat SMA musibah terjadi. Karena keteledoranku rumah dan seisinya ludes terbakar. Justru itu terjadi pada hari raya Galungan. Aku dan ibuku selamat. Usaha kami memadamkan api yang berkobar sia-sia. Warga desa? Mereka datang. Tetapi bukan membantu memadamkan kobaran api. Mereka menonton. Ada yang meneriakkan hore. Ada yang bertepuk tangan. Ada yang menyuarakan lolongan anjing.

Yang paling menyakitkan, ada yang meneriakkan, “karma phala, karma phala. Dulu Si Nanap merampok milik orang. Sekarang api merampok seluruh hartanya. Karma phala, karma phala!”

Ketika api padam, penduduk desa kelahiranku pergi setelah menatap dengan sorotan mata penuh kebencian.

Sepeninggal mereka, aku dan ibu duduk di halaman termangu. Tidak saling sapa. Tiba-tiba aku ingat, di desa sebelah yang tidak pernah dirampok oleh ayahku dan komplotannya karena dulu basis PKI, masih ada keluarga jauh ayah. Kepada ibu kukatakan, aku akan ke sana meminta bantuan. Ibu tidak menyahut.

Sepanjang jalan terbayang di mataku keluarga jauh ayahku menerima kedatanganku dengan ramah. Dengan ramah pula memberi bantuan. Pun dengan ramah menawari agar aku dengan ibu mau tinggal di sana.

Yang kubayangkan itu, membuat langkahku terayun dengan cepat. Ternyata yang kubayangkan iyu, bertolak dengan kenyataan yang kuterima. Mereka bukan saja tidak ramah menerimaku. Mereka, dengan kata-kata pedas memaki lalu mengusir.

Dengan perasaan hancur dan langkah gontai aku pulang. Setiba di rumah aku terkejut. Ibu tak ada. Kupanggil-panggil, tidak menyahut. Kucari hingga ke sudut kebun kelapa, sia-sia.

Lalu kucari ke sawah milik leluhur, tak kutemukan. Kucari ke sungai di ujung desa, yang airnya mengalir deras, ibu tak ada.

Sampai senja kucari tak kutemukan ibu. Dengan berat hati dan digayuti sesal karena meninggalkan ibu, kutinggalkan desa kelahiranku. Keputusan ini kuambil setelah kupertimbangkan dengan matang: sendiri di tempat tinggal yang tidak lagi berisi bangunan, berbahaya. Tak urung membuat nyawaku melayang.

Takdir mendamparkanku di kota yang riuh ini. Takdir pula yang membuatmu memungutku dan mengangkat sebagai saudara. Lalu, mengajakku setiap malam melakukan apa yang pernah ayahku lakukan.

Amlapura, 2018.

 * Hari Raya Galungan: Hari Raya Agama Hindu.


TAGS :

IDK Raka Kusuma

I Dewa Nyoman Raka Kusuma atau yang sering dikenal dengan nama IDK Raka Kusuma di dalam karangannya, lahir di Getakan Klungkung, 21 November 1957. IDK Raka Kusuma sudah memiliki kegemaran mengarang karya sastra sejak mengawali menjadi guru di sekolah dasar. Ia adalah salah satu pengarang senior sastra Bali modern.

Komentar