Kembali ke Bahasa Ibu

  • By IDK Raka Kusuma
  • 26 Januari 2020
Foto: Tut Sugi

Sebagai sastrawan Indonesia, Ketut Sugiartha sudah menghasilkan beberapa karya. Yakni: kumpulan cerpen Sketsa Untuk Sebuah Nama, novel Kabut Sepanjang Jalan. Elegi Sang Penari dan Mimpi Sang Pramugari yang keduanya merupakan novel. Ketut Sugiartha juga menghasilkan kumpulan cerpen terjemahan yang berjudul Karya Besar dan cerita anak-anak Kambing yang Cerdik.

Sambil terus menulis novel dan cerpen dalam Bahasa Indonesia, Ketut Sugiartha, sejak bulan April 2017 menulis cerpen dan novel berbahasa Bali. Setahun berkiprah, Ketut Sugiartha menghasilkan satu kumpulan cerpen: Surat Uli Amsterdam.

Fenomena Ketut Sugiartha ini menarik. Menarik, karena fenomena ini memberi gambaran seorang sastrawan yang menulis dalam bahasa Indonesia, kembali ke bahasa ibunya, Bahasa Bali dalam hal ini.

Pada fenomena di atas makna apa yang bisa dipetik, kemudian dipaparkan menjadi uraian? Bila diumpamakan, Ketut Sugiartha adalah perantau yang kembali dan menetap di tanah kelahirannya. Umum berlaku, pada jumpa pertama ketika pulang, seorang perantau pasti mengalami keterkejutan. Dan, memerlukan waktu beradabtasi yang lama.

Pada Ketut Sugiartha, tidak terjadi keterjutan itu. Dan, tidak memerlukan waktu lama untuk beradaptasi. Terbukti, setelah cerpen pertama, cerpen berbahasa Bali berikutnya mengalir dengan lancar. Dalam alur ceritera, dalam memaparkan peristiwa dan kejiwaan tokoh cerita, dalam memaparkan konflik cerita, bahasa Bali hadir dengan baik walaupun pada sebagian kecil paragraf cerpen dalam antologi ini ada yang terkontaminasi bahasa Indonesia. Salah satu contoh: Sunaran paningalané ngorahang yéning tresna sanget pesan tekén kumpiné. Dalam bahasa Bali sunaran digunakan untuk bulan, matahari atau lampu karena berarti cahaya. Sunaran paningalané mungkin yang dimaksud cahaya matanya. Menempatkan kata sunaran paningalané dalam bahasa Bali, berarti menempatkan idiom bahasa Indonesia sejajar dengan bahasa Bali. Ini, bisa dikatakan ada unsur kontaminasi. Sunaran paningalané bisa diganti dengan paliatné, agar kontaminasi tidak terjadi.

            Selain yang disebut barusan, karena berpuluh tahun menulis karya sastra berbahasa Indonesia ada hal atau istilah yang dilupakan oleh Ketut Sugiartha, tidak menyengaja melupakan. Lupa ini, lebih banyak disebabkan kata atau istilah itu mengendap di bawah sadarnya. Tepatnya, terpendam di bawah sadarnya.

Kita baca judul cerpen pertama Ketut Sugiartha. Janda lan Teruna Bagus. Janda bahasa Balinya balu. Orang Bali, dimana pun berada, selama menikah dengan orang Bali, tetap menyandang status balu. Tetap pula disebut balu.

Jelas terlihat, tidak ada unsur kesengajaan Ketut Sugiartha melupakan istilah balu bagi janda yang ditinggal mati oleh suaminya. Atau dicerai karena sesuatu hal. Tentu janda orang Bali dimaksudkan di sini.

sebab narasi bahasa Bali cerpen ini, sudah mendekati kebenaran dalam struktur bahasa Bali yang digunakan sebagai cerita.

            Pada cerpen Nelokin Dadong, ada kesalahan kecil penempatan istilah pengégér. Pengégér bukanlah dipakai oleh orang Bali yang berkecimpung dalam dunia dagang. Namun, digunakan oleh orang Bali yang berkecimpung di bidang seni pertunjukan. Yang berkecimpung dalam usaha dagang, pada umumnya perempuan Bali memakai panglantih.

            Dalam cerpen Surat Uli Amsterdam, pada awal cerita tertulis dua kalimat. Muané Ngurah sayan seming. Paningalané enduk. Kalimat pertama struktur bahasa Balinya benar. Tetapi kalimat kedua: paningalané enduk tampak kurang tepat. Dalam struktur bahasa Bali, tidak pernah ada disebut paningalané enduk. Yang ada paningalané barak, paningalané sepenan, paningalané séro, paningalané séngat. Lalu kata apa yang dipasangkan dengan enduk sehubungan dengan kalimat ke dua pembuka cerpen Surat Uli Amsterdam ini? Tak lain paliatné. Jika disatukan terbaca: paliatné enduk.

            Sekali lagi, Ketut Sugiartha, tidak sengaja melakukan hal di atas. Itu terjadi karena lupa. Lupa, akan menyebabkan alpa. Alpa akan menyebabkan terjadi kekeliruan menuliskan yang ingin dituliskan. Walau, untuk mengurangi kekeliruan ini, dilakukan upaya membuka kamus. Kamus, sebagai himpunan kata, bisa menimbulkan kekeliruan jika dipakai membantu untuk menulis sebuah konteks yang memasuki wilayah spesifik.

            Terlepas dari hal di atas, ada hal yang patut kita puji pada laku Ketut Sugiartha dalam menulis cerpen berbahasa Bali. Ketut Sugiartha dalam konteks ini, dengan berani memasukkan kata-kata bahasa Indonesia ke dalam cerpennya. Pemasukan ini, tidak menyebabkan keberadaan cerpen berbahasa Bali dalam kumpulan cerpen Surat Uli Amsterdam ini, terganggu. Kata-kata tersebut: sing tertarik, berwira usaha, berangkat, terminal, jurusan Sastra Bali, perayaan Hari Kemerdekaan, ponsel, penghargaan sebagai lulusan terbaik.

Kata berbahasa Indonesia berikutnya: maaf ini siapa?, sudah baca iklan itu?, iklan apa? Atau : datang ya.

Bahkan, Ketut Sugiartha dengan berani pula memasukkan kata-kata dalam bahasa Inggris ke dalam cerpen pada kumpulan ini. Penempatan kata-kata berbahasa Inggris dalam kumpulan cerpen Surat Uli Amsterdam tidak mengganggu keberadaan Bali yang terpapar sebagai narasi. Kata-kata dimaksud: oh, sorry…sorry, It’s Okay, Miss Universe 1994.

Keberanian ini, bukan keberanian yang sengaja dilakukan. Namun, karena tuntutan cerita. Tuntutan cerita, karena tokoh ceritanya orang asing keberanian ini, pasti dilakukan dengan berbagai pertimbangan. Terutama pertimbangan dua bahasa dalam satu cerita, tidakkah berarti pencampuradukan bahasa? Pencampuradukan bahasa tidakkah merusak keberadaan cerpen? Bila dilihat dengan seksama, justru keberanian Ketut Sugiartha menunjukkan kemampuan sastra memposisikan bahasa dengan benar dalam cerita.


TAGS :

IDK Raka Kusuma

I Dewa Nyoman Raka Kusuma atau yang sering dikenal dengan nama IDK Raka Kusuma di dalam karangannya, lahir di Getakan Klungkung, 21 November 1957. IDK Raka Kusuma sudah memiliki kegemaran mengarang karya sastra sejak mengawali menjadi guru di sekolah dasar. Ia adalah salah satu pengarang senior sastra Bali modern.

Komentar