Lima Puisi Iva Titin Shovia
- By Iva Titin Shovia
- 22 Januari 2020
Purnama di Ujung Malam
Sekuntum purnama dan selarik angin-angin
Bercengkrama di sebuah malam,
Ketika seorang perempuan memandang bulan
Nafasnya tumbuh dari cahaya,
senyumnya menghapus gerhana
Perempuan sedang sendirian, dengan irama seruling ia berteman, mencangkum irama malam
------ hidupku sunyi, Seperti kecapi putus tali
Dan sunyi dicerai sunyi
------ aku tak punya lelaki, Yang berkisah tentang Walmiki
dan membawaku keliling bentala tanpa alas kaki
perempuan sedang sendirian, bersama secangkir teh hangat tanpa pemanis buatan, memagut dingin malam
Sebatang hati, kadang tercidera
Perempuan rindu akan rasa
Siapa dirindu?
Siapa dirasa?
Di ujung malam, sepasang kejora tak mau berdamai
Dan surya yang selalu datang tiap pagi
Ternyata lupa janjinya membawakan sloki
Perempuan sedang sendirian, benar-benar kesepian
Sepasang gelas, ia tenggak cecairnya sekalian
Secabik Senyum dalam Hujan
Hujan resah di tepian malam
Perempuan bimbang, disergap dendang
Menikmati luka-raya seperti kupu
Bergelora, gemuruh
Kemarau telah mengucap selamat jalan,
Dan sekeping lubang meratap di ceruk ancala
Serupa kawah ditinggalkan pijar
Ada yang sedang kedinginan
Dingin menemani selembar malam seperti sejawat
Selaksa rindu tak pernah terjawab
Senyum sang perempuan menandak di kerjap kilat
Tercabik perih di babad tanpa lanskap
Mencangkum lutut, perempuan teringat detak
Kala itu, dalam jantungnya menjejak
Namun hujan menghapus tapak
Setandan senyum tercerai retak
-----Tak pernah hujan sedemikian jalang,
Apa karena di dadaku ada lubang?
Di senyumku ada kerontang
-----lidah tak mampu melukis suara
Lubang menganga seperti rawa
Diserbu hujan, kian celaka
Tentang Resah, Tentang Tuan
Jika tuan tanya, sebesar apa resah
Mungkin sekedar saja
Jangan pernah Tuan mengira perkara
Sekedar itu biasa saja
Resah adalah tuan,
Yang puan tanya pada hujan, tentang pelangi
Warnanya adalah semboyan cinta yang tak melulu merah
Resah adalah tuan
Yang puan cari dalam laut, dalam peluk tiram-tiram pencipta mutiara
Sesekali pernah juga air mata puan kujejalkan ke sana
Jangan tuan tanya, sebesar apa resah
Meski bilang sekedar, sebenarnya sangat besar
Resah tuan?
Apakah pernah ketika puan menyelam jelajah ke haluan?
Apakah pernah sejenak saat detak melambat dan teringat puan pernah lekat dalam tatap?
Tuan oh tuan,
Sepertinya tak mengenal resah di buritan
Kiranya puan berlutut sendiri
Dipagut sunyi, nista sendiri
Nyanyi Sepi Perempuan Sendiri
Sungguh dia sebenarnya sedang melolong jalang
Karena malam dipikirnya sedang girang
-----nyanyianku adalah cermin, di sana kulihat diriku tertumus di wisata purnama badar
Perempuan, nyanyi sepi sendiri,
Serigala sesak nafas hilang suara
Terharu kisah si perempuan tak pernah bernyawa
-----nyanyianku adalah tirani, sedang menjalar di malam-sepimu, menjual kenangan pada pelukan,
Rindu di tepi sepi,
Mengalun seperti nyanyi dan lolong bermelodi
Entah kapan bertemu seperti nira pada mabuk, asyik pada masyuk
Purnamaku Retak Sudah, Tuan
Ricuh, riuh rendah
Gulana gundah
Bulan mengambang liar
di pucuk-pucuk damar
lirik liku lantam menuju saru
kabur ingatan dibekuk jerubu
Tuan, bila ada purnama setengah jalan
rubuh kalut ditebang kelam
retak sudah
kacau belah
Malam masih dilindas kenangan
jejenang karma dihadang rajam
bersapalah badung serumpun,
kujajar hati di puncak benderung
Moksa tindak-tanduk dan percakapan kita di jamuan tanpa meja
Kedip hilang banal di sepanjang pandang
Pejam mata, oh pejal rasa
Duka diri dipejara dalam renjana
Tuan, kisah memang belumlah jangkap
Sehelai bebangnya putus tak pepak
Purnama telah retak
Aku mendusin tanpa silap
Komentar