Karya Besar
- By Frank Richard Stockton
- 30 Desember 2019
Terjemahan Ketut Sugiartha ~
Suatu hari tatkala hatiku diliputi perasaan senang sekali, aku merampungkan sebuah cerita istimewa dan terbaik dari semua cerita yang pernah kutulis. Ide cerita itu muncul secara tidak terduga dan menarik sekali, sehingga aku menggarapnya dengan sangat antusias. Dan cerita yang kuberi judul “Adik Perempuan Istrinya yang Meninggal” itu kuselesaikan dalam waktu singkat. Hypatia, istriku, sangat menyukainya. Ketika aku membaca cerita itu untuknya, ia meneteskan air mata. Dan aku dapat menangkap kesan yang dalam di hatinya. Setelah aku selesai membaca cerita itu, ia mengeringkan air matanya dan berucap, “Cerita ini akan membawa keberuntungan besar buat kita. Kukira belum ada yang menandingi selain karya Lamartine yang berjudul ‘Kematian Seorang Pembantu Rumah Tangga’ itu.”
Pada hari berikutnya segera kukirim ceritaku itu ke redaktur majalah yang paling banyak menerbitkan cerita-ceritaku. Tak lama kemudian aku menerima sepucuk surat darinya. Ia memuji ceritaku, pujian mana tak pernah ia berikan pada hasil goresan penaku sebelumnya. Menarik sekali, katanya. Dan menurutnya bukan hanya dia yang mengatakan begitu, tetapi juga semua teman-temannya sekantor. Cerita itu akan dimuat dalam waktu dekat.
Jika ada sesuatu yang membuat hidup kami lebih indah, itu adalah surat yang baru saja kuterima dari redaktur majalah itu. Tak lama kemudian cerita itu pun diterbitkan. Aku dan istriku yakin, para pembaca akan sangat puas seperti yang dirasakan redaktur itu. Sahabat-sahabat karibku pun menyatakan kesannya yang sangat menyenangkan. Pada beberapa surat kabar dan majalah dimuat pujian yang tinggi dari para kritikus sastra.
“Ini sebuah karya besar dalam sastra!” tulis salah seorang dari mereka.
Akan tetapi, belum lewat sebulan sejak dimuatnya ceritaku yang mengagumkan itu, sesuatu yang luar biasa dan tidak kuharapkan terjadi. Naskah cerita yang kukirim belakangan dikembalikan oleh redatur majalah di mana “Adik Perempuan Istrinya yang Meninggal” itu pernah dimuat.
“Sebenarnya cerita ini bagus,” tulis redaktur itu, “tetapi tidak sebagus cerita yang telah Anda tulis baru-baru ini. Kami khawatir jika kami sampai merusak reputasi yang telah Anda peroleh gara-gara menerbitkan cerita Anda yang tidak lebih baik bobotnya dari ‘Adik Perempuan Istrinya yang Meninggal’ yang sangat gemilang itu.”
Aku sangat sedih ketika membaca surat itu, karena sebelumnya naskah ceritaku tidak pernah dikembalikan. Tetapi aku tidak mengatakan apa-apa mengenai hal itu kepada istriku, sebab kupikir tidaklah bijaksana menunjukkan kekecewaan di hadapannya yang mungkin bisa merusak suasana bahagia di rumah kami.
Naskah ceritaku yang dikembalikan kemudian kukirim ke majalah lain. Namun aku jadi tak habis pikir ketika, setelah lewat seminggu, naskah itu dikirim kembali kepadaku. Surat yang datang beserta naskah itu menandakan bahwa redaktur majalah itu sama sekali tidak berkenan menerimanya.
“Dengan menyesal,” tulisnya, “kami kembalikan naskah Anda. Tetapi, harap Anda ketahui, jika Anda mengirim naskah lain semacam ‘Adik Perempuan Istrinya yang Meninggal’, pasti akan dimuat.”
Kali ini kupikir aku harus mengatakan hal ini kepada istriku. Seperti halnya aku, dia pun jadi sangat tidak mengerti.
“Mari kita baca sekali lagi cerita itu,” ajaknya menyarankan, “dan coba kita cari apa kekurangannya.”
Setelah selesai membaca, istriku memberikan komentar. “Sebagus cerita-cerita yang telah kau tulis. Dan kupikir sangat menarik, walaupun tentu saja tidak sebaik ‘Adik Perempuan Istrinya yang Meninggal’ itu .”
“Tentu saja tidak,” ujarku. “Tidak mungkin aku dapat menulis cerita seperti itu setiap hari. Tapi, barangkali cerita yang terakhir ini memang ada kekurangannya, hanya saja tidak dapat kita lihat. Atau barangkali keberhasilanku belakangan ini telah membuatku agak ceroboh dalam menulis.”
“Aku tidak percaya itu,” tanggap istriku.
”Sudahlah. Bagaimanapun yang satu ini mesti kusisihkan dan aku akan menulis yang lain.”
Naskah cerita lain segera kurampungkan dan lantas kukirim ke majalah kesukaanku. Beberapa minggu telah lewat ketika naskah itu dikembalikan kepadaku.
“Cerita Anda tidak bisa dimuat,” tulis redaktur majalah itu. “Yang kami harapkan dari Anda adalah cerita-cerita yang bobotnya tidak lebih buruk dari ‘Adik Perempuan Istrinya yang Meninggal’. Kami tidak ingin mengecewakan pembaca-pembaca kami yang menunggu edisi berikutnya dari majalah kami yang diharapkap memuat cerita-cerita Anda yang terbaik.”
Naskah cerita itu kukirim ke empat majalah lain, dan masing-masing kembali pula dengan catatan bahwa walaupun itu bukan cerita yang jelek, tetapi bukan merupakan cerita yang diharapkan pembaca dari pengarang ‘Adik Perempuan Istrinya yang Meninggal’.
Redaktur majalah Western memesan cerita padaku untuk dimuat dalam edisi khusus buat masa liburan. Aku menulis sebuah cerita yang kemudian kukirim ke sana. Tetapi ternyata dikembalikan juga.
“Bila kami memesan karya Anda,” tulis redaktur itu, “kami berharap menerima yang semacam ‘Adik Perempuan Istrinya yang Meninggal’. Sayang sekali, kami harus mengatakan bahwa kami kecewa.”
Beberapa hari kemudian aku memutuskan untuk pergi menemui redaktur majalah itu, kepada siapa aku paling banyak mengirimkan buah penaku, termasuk ‘Adik Perempuan Istrinya yang Meninggal’. Aku mau menumpahkan kekesalanku padanya sekalian minta nasihat. Redaktur itu adalah seorang laki-laki yang baik dan senantiasa menunjukkan sikap bersahabat padaku. Ia mendengarkan dengan penuh perhatian apa yang kututurkan padanya. Dan ia memahami kesulitanku.
“Bagaiamana pendapat Anda,” katanya setelah kami berdiskusi dengan serius, “jika cerita-cerita yang telah Anda tulis belakangan ini diterbitkan dengan nama lain? Maksud saya nama samaran sebagai pengganti nama asli Anda. Hal ini akan membat pembaca-pembaca kami puas selain tidak merusak reputasi Anda.”
Pada saat itu juga kuterima nasihatnya dengan senang hati. Semua naskah yang telah kutulis, yang mana telah ditolak oleh banyak redaktur, kemudian kukirim ke redaktur majalah kesukaanku itu. Dan terbitlah semua ceritaku dengan nama John Darmstadt yang kami pilih. Aku juga menerapkan siasat yang sama dengan redaktur-redaktur yang lain, sehingga John Darmstadt jadi pengarang dari cerita-cerita yang dihasilkan penaku.
Waktu berlalu dengan meyenangkan. Satu tahun, dan seterusnya. Suatu ketika aku mendapat ide yang luar biasa menarik untuk dijadikan sebuah cerita, dan aku merasakan ada keinginan mendesak untuk menyelesaikan cerita itu. Tanpa menunda lagi aku mulai menggarapnya. Seperti biasa, setelah naskah itu selesai kukerjakan, aku membacanya untuk istriku. Begitu selesai membaca, istriku melingkarkan tangannya ke leherku.
“Aku tidak pernah merasa begitu bangga padamu,” katanya, dengan mata memancarkan kebahagiaan, “seperti saat ini. Cerita yang sangat mengagumkan. Ya, aku yakin, ini adalah cerita yang bagus, sebagus ‘Adik Perempuan Istrinya yang Meninggal’.”
Ketika ia mengucapkan kata-kata itu, tiba-tiba kami serasa membeku. Kebanggaan yang kurasakan dari pujiannya lenyap seketika. Aku beranjak selangkah, kemudian kami saling menatap. Pada saat yang sama kami meyakini kenyataan luar biasa bahwa cerita tu sebagus “Adik Perempuan Istrinya yang Meninggal”.
Kami berdiri tanpa suara. Kami dicekam kecemasan tentang betapa cerita itu akan memberi pengaruh pada masa depan kami.
Besoknya kuambil naskah itu dan dengan hati-hati kubungkus dengan kertas coklat. Lalu aku pergi ke toko terdekat untuk membeli kotak kaleng kecil. Naskah itu kemudian kumasukkan ke dalamnnya dan tutup kotak itu kukunci. Setiba di rumah, aku naik ke loteng untuk mengambil kopor besar, yang dulu dimiliki salah seorang anggota keluargaku yang menjadi kapten kapal. Kupanggil istriku dan kuberi tahu isi kotak kecil itu yang kemudian kumasukkan ke dalam kopor dan kututup serta kukunci.
“Kunci ini,” ujarku sambil memasukkannya ke dalam saku, “akan kubuang ke sungai sore ini pada saat aku keluar.”
Ia menatapku, dan aku tahu bahwa ia setuju dengan tindakanku.
“Dan sekarang, sayangku,” lanjutku, “tak seorang pun kecuali kau dan suatu saat nanti anak-anak kita yang tahu bahwa naskah ini pernah ada. Bila kelak aku mati, salah seorang dari keluarga kita mungkin akan membuka kopor dan kaleng ini, lantas mengijinkan cerita ini diterbitkan pada sebuah majalah.”
Dikutip dari Karya Besar, kumpulan cerpen terjemahan Ketut Sugiartha (Nusa Indah, 1986).
Komentar