Wiku Dharma

  • By Wayan Jengki Sunarta
  • 09 Oktober 2023
Pustaka Ekspresi

Sejak remaja saya selalu tertarik dengan cerita silat, baik dalam bentuk komik, cerita bersambung (cerbung), novel, maupun film. Ketika membaca cerita silat, saya terpukau dengan cara pengarang melukiskan adegan-adegan perkelahian, nama-nama jurus, nama perguruan silat, peragaan ilmu dan jurus sakti, atau pun wejangan-wejangan sang guru kepada muridnya. Hal itu selalu membekas dalam benak saya. Membaca cerita silat seringkali memicu adrenalin bekerja melalui ketegangan-ketegangan yang dilukiskan dalam cerita.

Hal itulah yang saya nikmati dan rasakan ketika membaca novel Wiku Dharma karya Ketut Sugiartha. Novel ini menggabungkan cerita silat, biografi, sejarah, ajaran Zen, dan renungan-renungan filosofis tentang perjalanan kehidupan dalam mencari dan menemukan kesejatian diri.

Secara garis besar novel ini berkisah tentang Syamar, seorang tokoh dari India yang belajar ilmu kanuragan dan kebijaksanaan di Bali. Syamar kemudian dikenal sebagai suhu Da Mo, guru Zen yang disegani di daratan Tiongkok dan mewariskan ilmu kungfu di sana.

Salah satu kutipan dialog dari novel ini yang membekas dalam benak saya adalah: “Berhati-hatilah dengan takdir Anda, Pangeran.” Sebab: “Masa depan itu tidak pasti, Pangeran. Bahkan yang akan terjadi sebentar lagi pun tidak Anda ketahui. Waspadalah!”

Kutipan dialog antara Syamar dan seorang pertapa itu muncul dua kali dalam novel ini, yakni di bagian awal dan akhir. Dan, tentu saja hal ini bukan suatu kebetulan, melainkan kesengajaan dari pengarangnya untuk menegaskan peranan takdir dalam proses dan perjalanan kehidupan manusia.

Takdir tampaknya menjadi benang merah yang merangkai adegan demi adegan dalam novel ini. Takdir pula yang membuat Syamar sampai di Bali dan berguru kepada Ki Suling yang bertapa di Gunung Batukaru sebelum akhirnya Syamar berangkat ke daratan Tiongkok dan menjadi guru Zen di sana. Menjalani takdir adalah mencintai takdir itu sendiri.

Ketika membaca novel ini sampai selesai, saya memetik banyak renungan kehidupan, terutama ajaran spiritualitas. Bagi saya, kehadiran novel ini menjadi penting di tengah minimnya novel-novel yang mengisahkan cerita silat dan biografi tokoh yang pernah hidup dan mengajarkan kebajikan di dunia ini.


TAGS :

Wayan Jengki Sunarta

Wayan Jengki Sunarta, lahir di Denpasar, Bali, 22 Juni 1975. Lulusan Antropologi Budaya, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Udayana. Pernah kuliah Seni Lukis di ISI Denpasar. Menulis puisi sejak awal 1990-an, kemudian cerpen, feature, esai/artikel seni budaya, kritik/ulasan seni rupa, dan novel.

Komentar