Catatan Kecil Penyair dan Petani Kita

  • By Anto Narasoma
  • 09 Oktober 2023
Pustaka Ekspresi

Bagi sastrawan dan penggemar sastra, menjelajahi dunia estetika dalam satu kumpulan puisi, mampu membangun keindahan di dalam imajinasinya.

Karena itu, ketika penyair mengayuhkan imajinasinya ke dalam antologi puisi, kekayaan jiwanya akan meluap ketika ia terlibat dalam program kumpulan puisi tersebut.

Menjelajahi antologi puisi berjudul Sekuntum Puisi untuk Petani yang berisi 129 puisi, imajinasi kita akan terpatok pada nilai pertanian secara berbeda. Sebab para penyair mempunyai sudut pandang yang tidak sama. Meski demikian, latar belakang tani dan dunia pertanian itu memiliki ruang luas yang bisa ditatap dari berbagai sisi. Tak hanya mengisahkan sepetak sawah dengan tanah lumpur semata, namun penyair mampu memandang semua itu melalui dunia estetika yang kaya keindahan dan semangat kekaryaan (puisi).

Dari 129 puisi yang tertera di dalam kumpulan puisi pertanian, masing-masing penyair menulis karyanya dari berbagai sudut ide yang diramu secara beragam kreativitas. Seperti yang dikemukakan B Simorangkir-Simanjuntak dalam buku Kesusteraan Indonesia yang diterbitkan Jajasan Pembangunan Djakarta 1953, jang paling indah bagi dunia kepenjairan adalah bahasa, isi, dan kata-kata pilihan (estetika). Karena itu, ketika kita masuk ke dalam substansi isi, pembaca akan dikelilingi persoalan cerdas, penuh dengan beragam ide yang mencengangkan, sehingga akan memperkaya kreativitas kita untuk ikut menentukan tulisan secara pribadi dalam kreasi tema yang lain lagi.

Dari sejumlah puisi itu, ada beberapa karya yang cukup cerdas menangkap persoalan sosial, misalnya puisi bertajuk Pemetik Cabai karya AG Andoyo Sulyantoro. Penyair begitu jeli melihat dan merasakan pahit, manis, dan pedasnya kehidupan sehari-hari. Dari bait awal, masalah sosial yang kerapkali dihadapinya, ia kisahkan dengan diksi-diksi sederhana. Namum dari balik kesederhanaan itu, Andoyo begitu piawai menuturkan proses kedalaman hidup petani pemetik cabai.

Dari bait pertama,.. "cabai-cabai" merah, panas dan pedas//semerah aliran darahmu//sepedas sambal kehidupanmu. Secara konotatif, cabai diibaratkan satu usaha (semangat) yang menuturkan kerasnya alur kehidupan para petani cabai. Kekerasan itu diurai seperti pedasnya sambal kehidupan. Pedasnya kehidupan petani, dari mulai menjual hasil panen (cabai) kepada tengkulak yang harganya menjadi permainan pihak kedua (tengkulak). Maka secara tanda-tanda (bahasa) yang dipaparkan ke batiniah petani cabai, begitu pedas perjalanan batinnya (sepedas lada jalan jalanan batinmu) di bait kedua.

Lain lagi dengan penyair Dewadi Wijaya. Sebagai penyair, ia menyorot kerja petani dari sisi lainnya. Dalam puisinya bertajuk Pak Tua Bertopi Anyaman, penyair mengisahkan perkara makan dan pengganjal isi perut. Apakah ini salah? Wow, tidak. Sebab pada dasarnya, bekerja dan berusaha bagi rakyat kecil (petani), mengisi perut adalah hal paling utama dalam kehidupan ini. Soal kaya, nanti dulu. Dalam puisi itu, Dewadi Wijaya menuturkan,.. Gemulai daun gabah merunduk//tertiup angin selatan//menerbangkan harap hingga ke tuan//untuk sesuap pengobat lapar. Bisa kita tangkap bahwa dari balik lapisan kalimat, penyair menjelaskan tentang watak rendah hati, meski berbagai "tamparan" kehidupan terus menerpa.

Bagi petani (lirik), bekerja (bertani) adalah konsep kehidupan yang menerjemahkan nilai perjuangan usahanya sampai ke pada tuan (lirik) atau pembeli, sehingga bisa mengatasi kelaparan (pokok-pokok kehidupan). Sementara penyair Galuh Duti, dalam puisinya berjudul Puisi Kembali ke Ubun-ubun, lebih banyak mengurai tentang rasa syukur atas usaha pertaniannya, meski usaha itu dilakukannya hingga ke ubun-ubun. Begitu dalam format sajian tentang konotasi penjelasan tentang puisinya. butiran puisi menetap di ubun-ubun//tumbuh subur menjadi padi//tinggal di permukaan bumi petani. Kalau diamati dari bait awal puisi ini, nilai intrinsiknya begitu menjiwai. Sebab bagi Galuh, konsep puisi dan ruang pertanian, merupakan nilai mendasar bagi jiwa kemanusiaannya. Maka itu ketika ia menancapkan usaha pertanian melalui strategi ilmu pengetahuan dan akal pikiran (..menetap di ubun-ubun.) Secara estetis, konsep puitikal semacam ini sangat tinggi nilainya. Karena sebelum ke bait-bait lanjutan, Galuh Duti mengajak pembaca untuk bergelut terlebih dahulu dengan dasar pemikiran (pemahaman) tentang konsep sastra (puisi) dan dunia pertanian. Dalam bait ketiga penyair cenderung mengungkap rasa syukur kepada Sangpemberi Rezeki atas panen (bulan mei), …panen awal mei//bergulir beras menunggu ditanak//nikmat nasi dan lauk di atas piring//meja-meja dipenuhi syukur.

Nah, kekayaan wawasan penyair menjadi "batu asah" bagi pola pikir kita. Ibarat pisau baja, ketika selalu diasah di batu asahan, maka ketajaman cara berpikir kita akan mampu membelah persoalan pelik yang bergulir dalam kehidupan masyarakat sehari-hari. Tak perlu disebutkan apabila dari satu penyair ke penyair lainnya memiliki sudut pandang berbeda ketika menulis puisi dalam satu tema, petani dan dunia pertanian. Meski demikian dari sudut pandang berbeda inilah kekayaan estetika akan memperkaya posisi sudut pandang, kreativitas karya, serta nilai kemampuan kita mengelola ide secara intrinsik. Seperti yang disorot penyair Gimien Artekjursi dalam puisinya bertajuk Indonesia Hari Ini: Mencari Kambing Hitam, lebih banyak mengungkap masalah pertanian secara politis. Penyair bukan seorang politikus, tapi kepekaannya sebagai seniman sastra, ia mampu menerjemahkan masalah apapun secara politis. Dalam bait kedua secara tegas dinyatakan bahwa kerap kali petani kehilangan sawah karena pihak tertentu yang menginginkan lahan itu untuk tujuan tertentu secara politis (untuk pengembangan ekonomi). Mampukah petani mengatasi konflik tersebut seperti yang dialami warga Pulau Rempang Batam? Lalu jika sawah-sawah berubah jadi rumah//ladang-ladang menghilang menjelma pabrik dan gudang//kemana petani mencari tempat bercocok tanam//selain menebang pohon-pohon, menggusur hutan? Pertanyaan ini begitu tajam dan meluas ke wilayah kepentingan sosial masyarakat, ekonomi, dan politik. Jika kondisi masyarakat petani tak ada lagi menggarap sepetak sawah, akhirnya tentu akan mencuri kayu di hutan-hutan lindung. Kalau habitat hutan rusak, maka nilai kehidupan sosial pun akan meroyak menjadi luka bernanah. Bahkan sirkulasi cuaca akan terjadi perubahan yang signifikan. Lantas bagaimana kondisi kehidupan sosial masyarakat, ekonomi, atau politik secara meluas?

Maka menjelajahi dunia estetika di dalam antologi ini, sedikit banyaknya kita akan mengenal dunia kemanusiaan secara luas. Sebab dari berbagai pandangan yang berbeda di antara satu penyair dengan penyair lainnya, maka akan menjadi isyarat bagi kekuatan pokok pemikiran kita. Semoga buku kumpulan puisi (antologi) yang bertema tani dan dunia pertanian ini akan memperkaya wawasan kita. Semoga bermanfaat.

Palembang, 1 Oktober 2023


TAGS :

Anto Narasoma

Lahir di Palembang. Aktif menulis cerpen, puisi, artikel, dan reportase. Bekerja sebagai wartawan.

Komentar