Selubung Barong dalam Lahar

  • By I Nyoman Darma Putra
  • 04 Juli 2023
Pustaka Ekspresi

Novel ini pertama kali terbit tahun 1979 oleh penerbit Sarana Bhakti, Denpasar, ukuran 18 x 12 cm, tebal 141 halaman. Rupa dan warna desain sampul bisa dilihat di bagian belakang novel ini. Desain sampulnya sengaja dipasang dengan berwarna di belakang (dan di bawah untuk hitam putih) untuk memenuhi rasa ingin tahu pembaca, yang mungkin bertanya: kayak apa sih bentuk sampul edisi perdana?

Novel ini diterbitkan kembali karena sulit didapatkan dan untuk memperluas akses pembacaan bagi peminat. Faktanya bahwa novel Selubung Barong dalam Lahar ini tidak dikenal masyarakat, termasuk tidak dikenal kalangan penggemar atau mahasiswa pecinta dan peneliti sastra di Bali. Ini petanda kehadiran novel I Gusti Ngurah Pindha ini tidak sampai ke tangan pembacanya, padahal isinya sangat menarik dan penting.

Seperti bisa disimak dari judul dan gambar sampul aslinya, novel ini dikisahkan dengan latar letusan Gunung Agung 1963. Meski berkisah tentang bencana alam mahadashsyat yang dialami Bali saat itu, novel ini berkisah jauh tentang filosofi Hindu, seperti ihwal karma phala, tri sarira (tiga lapis unsur dalam diri manusia: stula, suksma, dan anta karana sarira, masing-masing adalah badan kasar, badan halus, dan jiwa manusia), dan tentu saja Tuhan. Elemen percintaan diselipkan untuk

membuat kisah dan cerita memiliki daya pikat yang multidimensional.

Situasi kaos mencekam yang terjadi saat bencana, lanskap puing, soal hukum karma, mitos, dan ihwal magis, dan kemahakuasaan Tuhan dinarasikan oleh pengarang lewat perjalanan dan dialog tokoh utama cerita, pemuda Bali yang kuliah di Yogya. Dalam perjalanan pulang ke desanya yang terletak tak jauh dari lereng Gunung Agung itu, dia melihat dan merasakan segala kedukaan yang bisa dirasakan pembaca.

Di akhir cerita, dia dikisahkan bertemu sosok gaib yang tampak seperti kakeknya tetapi bukan. Tokoh gaib ini menjelaskan semua rasa ingin tahu pemuda itu untuk menjelaskan berbagai misteri di balik lahar Gunung agung. Mengapa kata ‘barong’ digunakan di dalam judul novel, bisa disimak jawabannya dalam dialog sang tokoh dengan kakek tua gaib itu.

Peristiwa besar biasanya menjadi inspirasi tiada habis bagi sastrawan untuk menulis. Namun, erupsi Gunung Agung 1963 yang mahadasyat apalagi dikaitkan dengan pelaksanaan gagal upacara Eka Dasa Rudra saat itu belum banyak ditulis sebagai latar atau tema cerita. Bukan tidak ada sama sekali, tetapi hanya ada sedikit, bisa dihitung dengan jari tangan. Dari karya yang ada itu, semuanya bisa dikatakan kurang dikenal pembaca, karena tidak mudah diperoleh.

Sejauh yang bisa dicatat, ada empat karya yang sastra berlatar dan bertema utama tentang Gunung Agung meletus. Pertama, “Geguritan Gunung Agung Meletus” karya Made Jelantik dari Sibetan, Karangasem, 10 km dari Gunung Agung. Geguritan berbahasa Bali ini terdiri atas 116 bait, ditulis tahun 1964, jarak yang sangat dekat dengan terjadinya erupsi. Naskah geguritan ini merupakan koleksi sastrawan terkemuka Dewa Gede Catra, dimuat di majalah Buratwangi tahun 2004.

Kedua, novel Selubung Barong dalam Lahar (1979) karya I Gusti Ngurah Pindha. Karya ini tidak banyak dikenal, baru ditemukan 2023, dan dicetak kembali tahun ini juga.

Ketiga, novel berbahasa Inggris The Night of Purnama (1983) karya Anna Mathews, diterbitkan oleh Oxford University Press, tebal 219 halaman.  Keempat, novel Di Bawah Letusan Gunung Agung (2015) karya Djelantik Santha, penulis asal Karangasem. Ditulis dalam bahasa Indonesia, ovel yang diterbitkan Balai Bahasa Bali ini mengisahkan bencana dan ritual Eka Dasa Rudra yang dikemas dalam kisah cinta.

Penemuan sampai cetak ulang novel ini berawal dari suatu hari di bulan Mei 2023. Seorang kawan, I Dewa Gede Windhu Sancaya, dosen Sastra Bali Fakultas Ilmu Budaya Unud mendapatkan novel Ngurah Pindha ini di sebuah toko buku sederhana di Denpasar. Dia membeli dua buku dan meneruskan sebuah ini kepada Agung Budhiantika Pindha (Gung Pindha), putra I Gusti Ngurah Pindha yang tinggal di Gold Coast, Australia.

Gung Pindha mengatakan tidak tahu ayahnya pernah menulis novel ini. Dari “penemuan” Pak Windhu inilah, Gung Pindha berinisiatif menerbitkan buku ini untuk diteruskan pertama-tama kepada keluarga, dan juga kepada peminat sastra atau pembaca lain yang berminat.

Selain itu, penerbitan ulang ini buku ini bisa bermakna sebagai lanjutan dari usaha untuk membuat karya-karya penting I Gusti Ngurah Pindha, yang berlatar belakang militer dan birokrat sebagai pejabat Wakil Gubernur Bali (lihat profil di belakang), bisa diakses dan dinikmati pembaca. Sebelumnya, sudah diterbitkan buku karya beliau yang berjudul Perang Bali: Sebuah Kisah Nyata (2013), yang awalnya dimuat bersambung di koran Suara Indonesia (kemudian bernama Bali Post) tahun 1960-an.

Saya sempat memeriksa beberapa arsip koran Suluh Marhaen atau Suara Indonesia dari tahun 1964 hingga 1979 secara acak, namun tidak menemukan novel Selubung Barong dalam Lahar ini pernah dimuat. Riset lebih cermat mungkin perlu dilakukan sehingga lebih terkuak riwayat naskah novel ini.

Saya berterima kasih kepada sahabat Gung Pindha yang memberikan kepercayaan untuk mengawal proses cetak ulang novel ini. Sebagai editor, saya berusaha untuk merapikan ejaan, tata tulis, dan hal teknis lainnya. Jika masih ada yang kurang tepat, ampunilah! Saya berterima kasih kepada I Gusti Bagus Arya Yudiastina yang memindai novel agar tidak mengetik ulang dan mengerjakan tata letak buku dengan cermat dan indah. Juga apresiasi saya sampaikan kepada sahabat pelukis hebat Made Kaek yang mengizinkan kami menggunakan karya dahsyatnya sebagai sampul novel edisi baru ini.


TAGS :

I Nyoman Darma Putra

I Nyoman Darma Putra merupakan guru besar dan pengajar sastra, budaya, dan pariwisata di Universitas Udayana, Bali. Sebelum bekerja di bidang akademik, Prof. Darma Putra bekerja sebagai jurnalis serta peneliti di berbagai institusi, seperti di KITLV Leiden (2010), The Cross-Cultural Centre Ascona, Swiss (2012), dan University of Melbourne, Australia (2015).

Komentar