Perempuan itu Kupanggil Ibu

  • By IBW Widiasa Keniten
  • 22 Desember 2022
pixabay

“TAK ada yang lebih indah dari namamu, Ibu. Di setiap tarikan napas ini kusebut namamu. Berikanlah waktu padaku untuk memanggilmu, Ibu. Aku tak punya makna dalam hidup tanpa ada Ibu.” Laki-laki itu duduk di tepi laut kehidupan. Ia melayari dengan beragam biduk kehidupan. Terkadang biduk itu dihempaskan angin yang tak bersahabat,  entah ke mana arah akan ditujunya?

          Ia tak mengenali wajah ibu kandungnya. Orang-orang menyebutnya sebagai anak bebinjat, tapi ia tak marah, kenapa marah? Ia lahir bukan karena permintaannya. Ia ladir di bumi karena bara nafsu yang bergeluncak tak bisa dibendung. Telah lama ia menjalani kehidupan. Telah lama pula ingin melihat wajah ibunya. Ia yakin kelahirannya itu tak diharapkan, tapi nafsulah yang mengharapkan ia menjalani kehidupan.

          “Ke mana kau Ibu? Ibu tak usah malu. Aku tak akan menyalahkan ibu, biarkan aku yang menanggung derita ibu. Walau dihina, tapi tetap ibuku.” Orang-orang di dekatnya ada yang mengatakan bahwa ibunya hamil tanpa jelas siapa lakinya. Ia tinggalkan dirinya dan pergi entah ke mana? Hilang. Tanpa ada kabar beritanya. Orang-orang itu biasa memicingkan matanya saat membicarakan gadis yang menghilang tanpa kembali lagi. Tak ada yang mencarinya, juga orang tuanya karena telah mencoreng nama baik keluarga.

          “Putu, tak usah memikirkan ibumu lagi. Biarkan saja. Ibumu  tidak wajar disebut ibu.”

          “Apa Kek? Tak wajar disebut Ibu? Memangnya selama ini Putu lahir tidak dari rahim seorang Ibu?”

          Kakeknya terdiam. Ia menyadari betapa cinta cucunya kepada ibunya walau sampai detik ini tak pernah bertemu muka. Kegelisahan hati cucunya yang tak pernah merasakan cinta kasih dari seorang ibu. Ibu yang memberi ruh kehidupan pergi entah di mana sampai detik ini.

          “Biar orang lain mengatakan ibuku perempuan hina, tapi bagi Putu ia tetap perempuan suci yang mencintai Putu. Kakek jangan mengadili anak sendiri, tak bagus itu. Bila perlu Kakek, Putu adili. Kenapa kakek membiarkan ibu menghilang demi menjaga nama baik keluarga ini?”

          Kakeknya mendesah. “Hanya surat ini saja yang ibumu tinggalkan.”

          Diambilnya surat yang ditinggalkan oleh ibunya.

“Surat itu ditaruh di selimutmu saat kau masih merah. Silakan dibaca!”

 “Maafkan ibu, Anakku. Kau lahir dari rahim seorang ibu hina. Ibu menyadari ini aib besar bagi keluarga. Demi kebaikan, biarkan ibu pergi. Semoga kelak kau menjadi anak yang memuliakan hidup. Sekali lagi maafkan, ibumu.”

Air mata Putu tak terasa menetesi surat ibunya. Ia merasakan seperti ribuan mata menatap ke arah ibunya. Pilihan dilakukan demi nama baik keluarga. Sebagai anak laki-laki, ia cari data-data mengenai ibunya termasuk teman-teman dekatnya saat remaja dulu, satu per satu rumahnya didatangi. Tak ada jawaban pasti mengenai keberadaan ibunya. Hanya senyum sinis dan memandang hina dirinya. “Baiklah jika memang tak ada yang mau jujur dengan rahasia ini, biar waktu yang mencatatnya, bahwa di bumi ini pernah lahir anak tanpa orang tua yang jelas.”

          Kelelahan jiwanya merambatinya. Hatinya perih. Tak ada yang memberi sebuah kata pasti mengenai ibunya. Malam itu, ia menuju sema. Ia sengaja menidurkan tubuhnya di atas pemuun. Malam semakin larut, udara dingin menusuk kulitnya. Sepi. Ia pasrahkan hidupnya.

          “Ibu,”  begitu kata yang keluar dari bibirnya saat kantuknya memberat. Ia lihat seorang perempuan cantik berbaju putih mendekatinya.

          “Putu, Anakku.” Perempuan itu mengelus-elus rambutnya. Ada kedamaian mengalir saat dielus-elus rambutnya. Ada getaran kasih seorang ibu ia rasakan saat itu. 

          “Dulu, ibu belum sempat mendongengi Putu. Sekarang, dengarkan dongeng ibu. Putu sudah pernah mendengarnya?”

          “Dongeng apa, Bu?”

          “Si Durma.”

          “Kalau tidak salah, ibu Durma bernama Ken Sulasih. Ia seorang bidadari yang selendangnya dicuri oleh Rajapala. Terpaksa menikah dengan Rajapala. Ken Sulasih seorang bidadari kahyangan  yang menikah dengan manusia bumi.”

          “Benar, Anakku. Ia sedari kecil sudah ditinggal oleh ibunya. Ia hidup bersama Rajapala.”

          “Tapi, Bu. Si Durma lahir dari seorang ibu dan ayah yang jelas, sedangkan aku  siapa ibu dan ayahku? Tidak jelas.”

          “Kalau tak jelas kenapa kau memanggilku Ibu?”

          “Berarti ini, ibuku?”

          Perempuan itu tersenyum. Tangannya terus mengelus kening Putu. “Marilah, Nak, kita lihat di sana. Putu belum sempat ibu ajak jalan-jalan dulu, sekarang waktunya.” Laki-laki itu mengikuti kata-kata perempuan yang berbaju putih. “Lihatlah di sana Putu. Itu kobaran api yang meledak-ledak.”

          “Api apa itu?”

          “Api kemarahan. Ia susah untuk dikendalikan. Ia bisa membakar kesadaran jiwa. Jika jiwa kita rapuh, akan dengan mudah dibakarnya. Saat terbakar, kobarannya sulit dibendung. Api itu bisa padam jika kesadaran itu tumbuh.”

          “Kenapa ibu menunjukkan api kemarahan?”

          Perempuan yang dipanggil ibu itu tersenyum. “Putu lagi terbakar kemarahan sama ayahmu. Benar kan?”

          “Benar Bu. Ayahlah yang menyebabkan ibu dikatakan bebinjat. Jika ayah bertanggung jawab, kata itu tak akan pernah ada.”

          “Sudahlah! Jangan terlalu memendam kemarahan pada ayahmu. Ia sedang menikmati karmanya.

          Laki-laki itu mendengar namanya dipanggil-panggil. “Putu! Putu! Putuuuuuu kemari! Kemari, Nak! Pegang tanganku! Lepaskan ayahmu dari belitan karma ini! Ini ayahmu dibakar dengan nafsu-nafsu dulu. ”

          “Ayah?” tanyanya dalam hati. “Selama hidupku baru sekarang yang berani mengaku sebagai ayahku.”

          “Ini ayahmu, Putu. Mendekatlah!”

          Ia datangi suara itu. Ia pegang tangannya. “Itu di sana ada ibu.” Saat akan menoleh ke arah ibunya, matanya terjaga.

         

Catatan:

Bebinjat : anak yang lahir dari seorang ibu yang tidak jelas suaminya

Pemuun: gundukan tempat pembakaran mayat

Sema: kuburan


TAGS :

IBW Widiasa Keniten

Ida Bagus Wayan Widiasa Keniten lahir di Giriya Gelumpang, Karangasem. 20 Januari 1967. Lulus Cum Laude di Prodi Linguistik, S-2 Unud 2012. Tulisan-tulisannya tersebar di berbagai media massa berupa esai, karya sastra maupun kajian bahasa dan sastra baik dalam bahasa Indonesia maupun bahasa Bali. Cerpen-cerpennya pernah memenangkan lomba tingkat Nasional maupun provinsi.

Komentar