Asbak

AG Pramono

SEBUT saja namanya Kin. Tetapi orang-orang tidak tahu nama lengkapnya. Warga yang berada di lingkungan sekitar rumahnya, tidak pernah bertanya siapa nama lengkap lelaki berpenampilan apa adanya itu. Kin itu apakah Dikin, Sadikin, Rajikin, Tukin, Alimukin, Sakin, Durkin atau Mungkin. Ah...., jadi bingung. Tapi yang jelas, orang-orang menyebutnya Kin atau Pak Kin.

Lelaki berkisar usia empat puluhan itu, kebiasaannya mencari tumbuh-tumbuhan yang dianggap tidak bermanfaat oleh kebanyakan orang. Tapi baginya, setiap tanaman, sekalipun liar memiliki manfaat, terutama untuk kesehatan. Dia bukan tabib, tapi hanya suka meneliti tentang tumbuh-tumbuhan. Mungkin baginya setiap tumbuh-tumbuhan memiliki khasiat untuk dijadikan semacam obat atau makanan serta minuman sehat bagi manusia. Padahal Pak Kin, bukanlah jebolan sarjana kedokteran, biologi, kimia atau sebangsa ilmu tentang obat-obatan. Dia sama sekali tak pernah duduk di bangku kuliah jurusan obat-obatan. Tapi baginya, sejak kecil dia amat dekat dengan tumbuh-tumbuhan yang mempunyai manfaat bagi manusia. Bahkan, sepertinya dia bisa mengerti dengan bahasa tumbuh-tumbuhan. Kebiasaannya mencari serta meneliti berbagai macam tumbuh-tumbuhan menjadi pandangan tak lazim bagi lingkungan tempat tinggalnya. Ya, begitulah Pak Kin, terbilang unik dan selalu jadi buah bibir atas ide-idenya meracik ramuan hasil penelitiannya.

Selain mencintai dunia tumbuh-tumbuhan, ternyata lelaki berambut inggal sepundak itu juga menekuni dunia perkayuan. Meskipun bukan bos kayu, tapi tampaknya dia lebih akrab dengan segala jenis kayu. Ketekunannya mengolah kayu tidak main-main. Setiap hari, kayu-kayu yang dinilai tak bermanfaat menjadi sesuatu yang bermanfaat. Ya, lelaki peracik ramuan itu sudah berhasil memproduksi seratus lebih model asbak berbahan kayu. Meski ratusan produksi asbak unik dia ciptakan belum pernah lelaki itu menjual hasil karyanya. Aneh, lalu dibawa dan dikemanakan hasil karyanya?

Orang-orang yang bertempat tinggal satu kampung dengannya, selalu bertanya tentang kehidupan lelaki pencipta asbak unik itu. Memang rada misterius dan sedikit janggal. Tapi, mereka selalu mengatakan kalau lelaki berambut sepundak adalah orang baik dan tidak pernah menyakiti tetangga maupun masyarakat sekampung. Bahkan dengan Pak RT saja, dia selalu bersikap ramah dan mau mengikuti aturan di kampungnya.

Suatu ketika, lelaki yang biasa disapa Pak Kin itu terlihat sibuk dengan membawa tas kresek yang penuh berisi asbak. Dia datang ke setiap rumah tetangganya dengan membagikan asbak kayu hasil olahannya. Tidak hanya tetangga dekatnya, tetapi juga tetangga yang jauh pun, kebagian asbak unik itu. Ya, asbak unik, akhirnya melengkapi setiap meja tamu di setiap rumah. Bagi perokok sangat bermanfaat karena fungsinya memang sebagai asbak. Tetapi bagi orang bukan perokok, cukup menjadi hiasan di ruang tamu. Cuma anehnya, Pak Kin tak mau dibayar. Bahkan dia malah mengembalikan setiap orang yang membayar hasil karyanya. Aneh, meski didesak, dia tetap tak mau. Kebiasaannya memberi asbak kepada orang lain, menjadi cerita banyak orang. Bahkan tersiar kabar kemana-mana.

Pintu rumah Pak Kin diketuk orang berseragam. Petugas itu mengucapkan salam dan kembali mengetuk pintu. Tak berapa lama, pintu dibuka. Pak Kin tampaknya baru bangun tidur. Dia kaget, melihat beberapa orang berseragam dan di antaranya adalah pak Lurah serta pak RT. Mereka dipersilakan masuk. Percakapan mereka agak kaku karena sangat formal. Pak Kin merasa gerah karena tak terbiasa suasana yang formal. Dia terbiasa ngobrol dengan cara rakyat jelata, ada tawa dan canda. Namun di ruang tamu yang tak terlalu luas itu, jadi tambah sumpek. Intinya, bapak-bapak berpakaian seragam itu ingin mengajak Pak Kin untuk memamerkan hasil kerajinan asbak yang tergolong unik. Ajakan itu langsung ditolaknya. Pak Kin bersikukuh tak berkenan ikut pameran kerajinan yang bakal diselenggarakan oleh pemerintah kabupaten.

“Saya tak suka pamer karena berkarya dan mencipta rasa seni itu tidak perlu dipamer-pamerkan lalu laku dijual dan bernilai bisnis,” ujar Pak Kin tegas.

“Maksud kami, ingin mengajak karya kerajinan asbak bapak untuk diikutkan dalam pameran yang kami selenggarakan bulan depan. Tujuan pameran kerajinan ini, khusus bagi perajin usaha kecil seperti bapak,” bujuk salah satu dari bapak yang berpakaian seragam itu.

“Saya bukan pengusaha. Saya hanya mencipta ide saja dan bapak-bapak boleh tanya kepada Pak RT, apakah saya pernah menjual hasil cipta karya saya. Ini soal ikhlas berkarya sehingga menciptakan model asbak seperti ini, tidak perlu ada bandrol untuk nentukan harga sebuah karya,” ujarnya sambil menunjukan sederet asbak unik yang dipajang.

Pak Kin tetap menolak dan ajakan untuk memamerkan hasil seni kerajinan, dianggapnya membuang-buang anggaran daerah. Segala bujuk rayu dari petugas berseragam itu tidak berhasil mengubah hati Pak Kin agar ikut menjadi peserta pameran yang bakal dibuka Bapak Gubernur.

Sikap tegas tetap menolak itu akhirnya sampai juga di telinga Bapak Bupati. Di rumah jabatan, Bapak Bupati duduk termenung sambil merokok dan sesekali membuang abu rokoknya pada sebuah asbak kayu buatan Pak Kin. Sementara di rumah sederhana, Pak Kin duduk tanpa ditemani rokok dan segelas kopi.


TAGS :

AG Pramono

AG Pramono lahir di Negara, Bali, 23 Maret 1973. Mengawali keterlibatan teater dan seni sastra sejak tahun 1990. Pernah mendirikan Sanggar Susur Jembrana tahun 1991. Sejak tahun 1993 aktif di Bali Eksperimental Teater serta tahun 1998 ikut dalam Komunitas Kertas Budaya. Kini bekerja sebagai jurnalis di salah satu koran lokal di Bali. Tinggal di Loloan Timur, Jembrana.

Komentar