Gadis Manis Bermata Bening

  • By IBW Widiasa Keniten
  • 20 Oktober 2022
Kolase internet

Gadis manis manis bermata bening itu selalu saja bergelayut di hatiku. Entah apa yang menyebabkannya? Apa karena matanya atau karena kulitnya yang hitam manis? Aku sendiri tidak tahu, tapi sorot matanya itu merontokkan sendi-sendi hatiku. Ia sepertinya membius  setiap gerak hatiku. Ia setia dengan sungai yang ada di dekat rumahnya. Sungai itu bercabang dua. Ia suka duduk-duduk sambil menatap pusaran air yang mengerucut di dalamnya. Tekadang ia tersenyum sendiri melihat gerak air di sungai itu.

​Sungai itu tak pernah surut walau musim kemarau menghampiri. Di hulunya ada dua sumber mata air yang besar. Sumber kehidupan patut disyukuri bagi semesta. Tak ada air tak ada kesejukan dalam hidup. Air kehidupan memberikan kenyamanan bagi penghuni bumi. Bukit yang berada di hulunya masih bagus kulihat. Beberapa pohon tua berdiri mempersembahkan daunnya demi kelancaran oksigen. Napas kehidupan yang harus diisi sebelum mengakhiri sebuah perjalanan panjang di bumi.

​Kulihat ia membasuh mukanya dengan pusaran air itu. Wajahnya bersinar saat mata ini bersemuka. Ia tersenyum ramah padaku. Aku tak berani menyapanya. Tapi, aku yakin hatinya bisa membaca kehadiranku di tepi sungai itu. “Kenapa di sini?” tanyaku. Kuberanikan bertanya yang mungkin tak perlu baginya. Ia mengulum senyumnya. Matanya yang bening itu menusuk relung hatiku. Mata bening itu sepertimenghentikan denyut jantungku.

​“Memangnya ada yang salah?” jawabnya singkat. Aku menjadi salah tingkah karena jawabannya itu tak kuharapkan. Ia tak mau menjelaskan kenapa ia suka sekali menatap dan berlama-lama di sungai itu. Aku tak mau bertanya lagi. Cuma kuperhatikan setiap gerak yang dilakukannya. Ia ambil canang sekar yang selalu dibawanya setiap ke sungai itu. Ia haturkan dengan hati penuh senyum. Batu yang berada di hulu sungai setia menerima canang sekar gadis itu. Harum wangi dupa meliuk-liukkan pori-pori jiwaku. Aku terbawa oleh harumnya dupa dan desauan air sungai. 

​“Rawatlah sungai ini. Jangan dikotori. Biarkan batu-batu itu berwarna hitam. Jangan dicat. Warna alaminya akan hilang jika dicat. Cat itu buatan manusia. Alam sudah memberikan warna pada batu. Coba kau lihat di sana. Batu-batu itu sudah dicat dengan beragam warna bukannya menambah keindahan justru membuatnya menjadi kurang indah. Alam sudah menyiapkan warna untuk ciptaannya. Jangan samakan keinginan dengan warna alam.” 

​Aku menjadi malu karena aku salah satu yang ikut rombongan mengecat batu-batu itu. Aku ikut-ikutan saja, katanya agar batu-batu menjadi lebih cantik. Tapi nyatanya gadis manis itu tak bisa menerima keinginanku. Malu aku dengan sikapku. Pantes saja ia tak mau banyak bicara padaku. Ah, sebuah langkah mengotori sungai sudah kulakukan.

​Matanya yang bening itu menatap tarian dupa yang terus menjauh dan mengilang. Keharuman yang dipersembahkan menyatu dengan keharuman semesta. Gadis itu mempertemukan dua keharuman. “Itulah hidup. Setelahterlihat geraknya lalu menghilang diserap oleh energi semesta. Kita tak bisa menolak penyatuan itu. Nanti pun kita akan seperti asap itu. Menyatu bersama semesta. Cuma apa kita akan menyatu dengan keharuman atau tidak?” Ia tersenyum dengan kata-katanya. “Sudahlah, kau saja di sini. Aku mau pulang.”  Gadis itu cepat-cepat pulang. Aku tak berani mengikutinya.

“Terima kasih,” jawabku singkat. Aku terpukau dengan sungai itu. Bening airnya seperti bening mata gadis itu. Aku bertanya-tanya, “Apa ada penyatuan bening matanya dengan beningnya air di sungai ini?” Aku duduk ingin memastikan bahwa kebeningan itu ada. Kuambil air dengan kedua tangan ini. Di telapak tanganku kulihat air itu berubah warna. Ia menjadi hitam pekat. Aku terheran-heran. “Kenapa seperti ini?”  Beberapa kali kuulangi. Setiap kuulangi, selalu warnanya hitam pekat. 

“Kenapa kau masih di sini?” tiba-tiba kudengar suaranya.

“Memangnya salah, aku ada di sini?”

Ia tersenyum. “Coba lihat mentari sudah berada di ubun-ubun. Ini tengah hari namanya. Tak baik berada di tempat seperti ini. Nanti, kau akan dimakan Dewa kala.” Ia menakut-nakutiku. 

“Terus kenapa kau juga ke sini. Berarti kita akan menjadi santapan Dewa kala juga?”

“Pintar,” jawabnya. Ia kembali mempersembahkan canang sekar di batu hitam di hulu sungai itu. Ia nyalakan dupa dengan keharuman yang berbeda. Kembali keharuman kuhirup di tepian sungai itu. Ia tak mau menoleh saat menghaturkan canang sekar. Hatinya menyatu pada energi semesta. Ia cakupkan kedua tangannya. Entah apa yang ada di hatinya, aku tak tahu. Yang pasti, ia kulihat mengambil air di pusaran itu dengan kedua tangannya. Kulihat sangat bening. Ia rahupkan di wajahnya. Matanya semakin bening. Aku coba mengikutinya siapa tahu ada perubahan. Kuambil air di pusaran sungai. Tak ada perubahan sama seperti tadi. Hitam pekat bahkan semakin pekat saja.

“Apa yang kau lakukan?”

“Seperti yang kau lakukan.”

“Hahahaha. Kau punya hati kawan. Jangan suka mengikuti yang kau sendiri tak mengerti. Kasihan sisa hidupmu menjadi pengekor saja. Ikuti yang tumbuh di nuranimu. Kau punya ruh. Ruh itulah diikuti bukan ruh orang lain. Orang lain punya jalannya masing-masing. Jika kau tak bisa dengan diri sendiri, tak akan pernah bahagia bersama orang lain. Kau mengenali diri saja tak bisa, apalagi mengenali orang lain. Sudah-sudah, aku mau pulang.”  Gadisbermata bening itu menghilang. Aku mematung mendengar kata-katanya. 

Aku tak mau meninggalkan sungai itu. Aku terus pelototi pusarannya yang kurasakan menyentuh dasar bumi. Waktu terus berjalan hingga senja hari. Gadis manis berkulit hitam dengan mata beningnya itu kembali datang. “Berarti dalam sehari ia bisa tiga kali ke sungai ini?” tanyaku dalam hati. Itu artinya, ia mengenal benar setiap liukkan pusaran air. Itu artinya, ia tinggal di dekat sungai ini.”

“Belum pulang juga?”

“Belum. Terus kenapa kau kembali datang?”

“Memangnya salah, aku datang lagi.” Jawaban yang sama dengan sebelumnya. “Ini tempat tinggalku kawan. Ini baru tiga kali, terkadang bisa lebih. Setiap ada kerinduan pada kebeningan aku datang ke sini.”

“Berarti, dalam sehari saja ia sudah tiga kali membeningkan hatinya dalam setahun ada berapa kali? Ah, ini bukan gadis biasa,” kataku dalam hati. “Jangan-jangan ia pemilik sungai ini?”

“Kebeningan itu perlu dicari kawan. Tak cukup dengan kata-kata, tapi hatimu belum bening. Kepura-puraan tak ada gunanya. Kamuflase yang bergelayut di hatimu itu akan terus mengental. Ia akan menjadi kerak di jiwamu. Jika sudah menua keraknya, kau akan semakin terikat dengan kerak itu dan kau akan merasa nyamaan dengan kerak itu. Lupalah kau pada dirimu sendiri.” Mataku beradu pada mata beningnya. Sorot mata itu terus mengelayut sampai hari ini.

Ia ke hulu sungai mempersembahkan keharuman. Kulihat tubuhnya semakin mengecil dan terus mengecil dan menghilang dalam pusaran air.

 

 


TAGS :

IBW Widiasa Keniten

Ida Bagus Wayan Widiasa Keniten lahir di Giriya Gelumpang, Karangasem. 20 Januari 1967. Lulus Cum Laude di Prodi Linguistik, S-2 Unud 2012. Tulisan-tulisannya tersebar di berbagai media massa berupa esai, karya sastra maupun kajian bahasa dan sastra baik dalam bahasa Indonesia maupun bahasa Bali. Cerpen-cerpennya pernah memenangkan lomba tingkat Nasional maupun provinsi.

Komentar