MENYEMAI CINTA, BERMAIN KATA

  • By I Wayan Esa Bhaskara
  • 25 Oktober 2020
Foto: Esa Bhaskara

Catatan atas Buku Menyemai Kata, Merayakan Makna - Komunitas Sastra Lentera

Judul               : Menyemai Kata, Merayakan Makna
Penulis            : Ida Bagus Pawanasuta, dkk.
Penerbit         : Pustaka Ekspresi
Tebal              : viii + 58 hlm
Cet.1                : Agustus 2020
ISBN                : 978-623-7606-36-9

 

Dalam puisi, peristiwa nyata bisa saja langsung dituliskan dalam puisi. Sebaliknya, puisi juga bisa berupa peristiwa baru yang diciptakan dari peristiwa yang telah dialami penyairnya. Membaca puisi yang ditulis oleh para pelajar SMA yang tergabung dalam Komunitas Lentera SMAN 2 Semarapura (SMADARA), Klungkung, sebelumnya pembaca harus paham dunia pelajar usia ini. Ini sebagai pintu masuk untuk memahami maksud puisi-puisi mereka.

Simak penggalan puisi berjudul Untukmu berikut // aku ingin engkau selalu hadir dan temani aku / meski aku tahu / aku tak mampu memilikimu / Puisi-puisi senada ini mendominasi kumpulan Menyemai Kata, Merayakan Makna. Atau puisi lainnya berjudul Whattsapp berikut / bertahanlah jika kamu betah / pergilah jika kamu lelah / Jika bertahan adalah sebuah kelelahan //

Dunia anak usia SMA, jika dilihat dari konteks puisi, tidak jauh-jauh dari cinta. Cinta, sebagaimana duka pasti selalu jadi ide yang diolah dalam puisi. Maka, tidak heran selain sukacita dalam karya-karya anak usia ini menyiratkan dukacita. Meminjam pendapat mantan presiden India yang juga ilmuan ruang angkasa, Dr. Avul Pakir Jainulabdeen Abdul Kalam, bahwa puisi berasal dari dua hal yaitu keluhuran sukacita dan kedalaman dukacita.

Kecenderungan puisi pada kumpulan ini hadir dari pengolahan ide klise (umum); 1. rindu (misal pada puisi Hujan di Bulan Januari, Puisi untuk Tuan, Teringat Lagi), 2. kecewa (Aku Bukan Milikmu, Kecewa, Berharap Kembali), dan 3. perasaan suka (Pengunjung, Cinta Bersemi di SMA, Siklus Cinta). Meskipun ada ide segar (baru) lain seperti 1. kegembiran (Selamat Tahun Baru), 2. alam/lingkungan (Dari Matahari untuk Bumi, Tiba Saatnya, Ibu Pertiwi, Istirahat), dan 3. benda-benda (Badik, Karambit). Kesegaran gagasan pada puisi semacam Badik dan Ibu Pertiwi menjadi tenggelam karena kumpulan ini didominasi oleh ide-ide klise (umum) tadi.

Kecenderungan lain berupa judul-judul lugas. Tentu tidak ada larangan menggunakan judul Hilang, Kecewa, Cinta, Sepi, Rindu, Senja, Hujan, Untukmu, Cerita Cintaku, Online. Celakanya judul lugas semacam ini menyempitkan makna puisi. Kehadiran judul demikian menyebabkan ketunggalan makna. Bandingkan misalnya dengan judul Narasi Hujan, Biarkan Rindu Panjang, Hatiku Es Batu.

Janganlah dulu pembaca mengharapkan kehadiran keluasan tema dan penciptaan cara pengungkapan baru, 'bahasa' yang baru, yang berbeda dari yang dipergunakan oleh para penyair terdahulu. Tema cinta pelajar SMA pun dapat diracik dengan rancak jika para penulis tidak terpaku pada puisi “aku dan dia” saja. Puisi yang ditulis untuk seseorang cenderung jadi “menyempit”, hanya akan bermakna bagi orang yang penulis tujukan dalam puisi. Cara lain, maksimalkanlah penggunaan bahasa figuratif. Penggunaan bahasa figuratif dapat memberikan makna seluas-luasnya bagi pembaca.

Puisi harus dibedakan dengan surat yang penulis tujukan kepada seseorang. Meskipun memang ada puisi yang ditujukan kepada seseorang, tetap bisa dinikmati oleh pembaca lain/orang lain (orang yang bukan tujuan puisi). Sejauh penulis mampu menggunakan ungkapan-ungkapan yang segar dan figuratif, berbagai keindahan yang timbul akibat penggunaan gaya bahasa tentu tetap bisa dinikmati.

Untuk menghindari puisi-puisi seperti ini, penulis harus mencoba menulis hal-hal yang bukan berasal dari persoalan sendiri. Atau, boleh juga penulis memposisikan persoalan ini sebagai persoalan orang lain, dan memandang, lalu menuliskannya sebagai orang luar (peristiwa). Dengan demikian, penulis akan mempunyai semacam jarak dengan persoalan yang dituliskan sehingga emosi bisa lebih terkontrol.

Evaluasi lain, terkait penyuntingan. Tampaknya ada bagian-bagian luput dari penyuntingan dan sangat disayangkan jejaknya bisa ditemui di kumpulan ini. Penyair Joko Pinurbo pernah mengatakan, bahwa dia selalu menyunting puisinya sebanyak sebelas (11) kali. Artinya, melalui proses penyuntingan puisi menjadi lebih maksimal dan minimal kesalahan, mulai dari kesalahan pengtikan hingga kesalahan logika.

Sebanyak 52 puisi terdapat pada kumpulan ini, kekuatannya pada larik-larik naratif-deskriptif dipadu dengan pernyataan-pernyataan singkat, meski kurang menggunakan bahasa figuratif membuat puisi ini agak terasa longgar dan prosais. Meski begitu, para penulis puisi punya kemampuan berbahasa yang cukup baik, sehingga puisi ini tetap enak dibaca.

Merujuk pada judul kumpulan ini, Menyemai Kata, Merayakan Makna bahwa semua puisi dalam buku ini barulah pada fase “menyemai”. Terlebih, sebagian penulis dalam kumpulan ini pertama kali menulis puisi sejak bergabung di Komunitas Satra Lentera, begitu tertulis dalam biodata penulis. Kata menyemai dalam KBBI edisi V dijelaskan sebagai menanam (menaburkan) benih (biji-bijian) di tempat yang tersedia untuk menghasilkan bibit tanaman yang akan ditanam lagi di tempat lain. Artinya, puisi-puisi pada kumpulan ini baru berupa benih yang perlu melewati beberapa fase dulu agar siap “dipanen”.

Proses menyemai ini akhirnya dijadikan sebuah perayaan dari peristiwa (penting) yang telah mereka lewati. Hal ini tentu berhubungan erat dengan anggapan bahwa sebuah puisi, sebuah karya seni harus memiliki amanat yang positif, harus memberikan manfaat langsung bagi pembaca. Tak kalah pentingnya, anak-anak dalam komunitas ini mendapatkan “makna” dari peristiwa yang telah mereka lalui.


TAGS :

I Wayan Esa Bhaskara

I Wayan Esa Bhaskara bergaul di Komunitas Mahima, Singaraja. Puisinya dimuat Bali Post, Tribun Bali, Denpost, Pos Bali, tatkala.co, Wartam, dan Jurnal Suara Saking Bali. Puisinya juga termuat dalam beberapa antolgi bersama, antara lain Saron (2018) dan Sang Guru (2019). Menanam Puisi di Emperan Matamu (2018) adalah buku puisi pertamanya.

Komentar