VIRUS

Lensa News

 Lelaki itu masih saja bengong. Raut wajahnya terlihat masam. Betapa tidak, peliharaan kesayangannya tiba-tiba saja ditemukan tak bernyawa. Ya, empat ekor ayam jagonya tiba-tiba saja sudah mati di dalam kurungannya. Padahal, baru beberapa jam sebelumnya semua pada bugar dan dikasikan pakan jagung butiran pilihan. Semuanya pada menyantap makanan yang disuguhkan dan tidak lupa berkukuruyuk. Ayam jago memang seperti itu prilakunya. Kukuruyuknya menjadi salah satu pemuas tuannya.

”De...De..., kenapa ayam-ayamku tiba-tiba mati?”

”Mana tiang tahu Beli. Beli kan tahu, tiang sibuk bersih-bersih di Pura dari tadi,” jawab istrinya dari pelataran Pura.

Lelaki itu terus saja menggerutu, marah-marah, dan menyumpah serapah. Sungguh ia tidak terima jika ayam kesayangannya mati secara mendadak. Belum lagi ia sedang lelah fisik dan pikiran seusai menjalankan upacara Piodalan di Pura. Seisi rumah pun dibuat kaget akan misteri yang terjadi. Ia mencoba menerka-nerka siapa kira-kira yang telah berbuat jahat pada ayam-ayamnya.

“Mungkin dia! Mungkin dia pelakunya! Dia telah meracuni ayam-ayamku,” gumam lelaki itu. Entah siapa dia yang dimaksudkan oleh lelaki itu, hanya ia yang tahu. Pastinya ia curiga sama seseorang yang dianggap musuhnya yang telah meracun ayam aduannya. Maklum saja, ayam-ayam peliharaannya ayam jago terpilih yang sudah dipelihara bertahun-tahun. Beberapa ekor di antaranya sudah menang di arena sabung ayam. Pastinya pula telah berjasa memberi gemrincing rupiah pada lelaki itu.

”Leak...! Leak...! Kalau berani, ayo ke sini! Bunuhlah aku. Jangan ayam-ayamku kau jadikan tumbal!”

Lelaki itu berteriak-teriak seperti orang gila. Orang-orang kampung yang mendengar teriakan itu pun menjadi kaget dan mencoba melihat dari dekat kejadian misterius tersebut. Mereka pada berdatangan menanyakan duduk perkaranya. Istri dan keluarganya jadi malu akan kelakuannya.

”Ada apa Pak, teriak-teriak?” salah seorang warga nyeletuk bertanya.

”Kamu...! Kamu lihat sendiri itu ayam-ayam jagoku pada bergelimpangan? Eh...aneh! Masih saja pura-pura tidak tahu!” jawab laki-laki itu dengan ketus dan sorot mata tajam. Warga yang bertanya pun lantas diam. Warga yang lain ada yang berbisik-bisik, lalu memilih diam. Maklum lelaki itu terkenal bebotoh yang tempramental.

Tiba-tiba saja, muncul seorang lelaki bertelanjang dada dengan tergesa-gesa. Lelaki itu bernama Pan Leong. Lelaki paruh baya yang juga sama-sama bebotoh kelas kampung. Melihat kedatangan Pan Leong ke pekarangan rumahnya, lelaki itu pun kian kalap.

”Ngapain kamu berani menginjakkan kaki ke pekarangan rumahku? Ngapain, ah?” tanya lelaki itu dengan dengan nada tinggi, sambil menunjuk-nunjuk ke arah Pan Leong dengan telunjuk kirinya. Mukanya sinis. Pan Leong yang mendapat perlakuan seperti itu tidak tinggal diam. Percekcokan pun tidak dapat dihindari.

”Aku datang ke sini karena mendengar tantanganmu. Paham!” jawab Pan Leong.

”Siapa yang menantangmu?” sergah lalaki itu.

”Tadi teriakan undanganmu mengumpat-umpat itu bukankah salah satunya menantangku?” jawab Pan Leong dengan nada tinggi sambil berkacak pinggang.

”Jadi kau merasa diundang ya? Ah... ini rupanya pembunuh ayam-ayamku. Uh...tidak sulit rupanya melacak pelakunya,” balas lelaki itu dengan wajah sinis.

”Apa kau bilang? Jangan main tuduh sembarangan kau! Aku bisa saja laporkan kau dengan pasal pencemaran nama baik,” ujar Pan Leong geram.

Tiba-tiba saja lelaki itu memegang leher Pan Leong. Pan Leong tidak berdiam diri. Ia membalas perlakuan lelaki itu. Warga yang melihat kejadian itu secepat kilat melerai. Beruntung perkelahian tidak sampai berlanjut. Suasana jadi hening. Warga lalu memilih diam dan membubarkan diri.

Namun, lelaki itu tidak lantas diam. Ia masih saja ngoceh tidak karuan. Memandangi ayam-ayamnya yang sudah kaku tak bernapas.

”Pasti dia! Sudah pasti dia pelakunya. Aku ingat ayamku yang papak selem sudah dua kali mengalahkan ayamnya si Leong bangsat itu!” umpatnya.

Mendengar suaminya masih saja terus mengumpat, istrinya pun memberanikan diri memberi saran, ”Sudahlah Beli. Hentikan berpraduga. Belum tentu ayam-ayam Beli mati karena diracun orang. Mungkin memang sakit.”

”Kamu prempuan sok tahu. Mana ada ayam sakit, lalu tiba-tiba mati. Kamu lupa ya, tadi pagi aku memberinya makan. Dan, semua sehat-sehat saja. Makan dan berkukuruyuk seperti biasa,” jawab lelaki itu.

Istrinya lalu memilih bungkam. Dia menyibukkan diri di dapur mengoreng daging-daging ayam lungsuran persembahan odalan di pura kemarin.

Bangkai ayam-ayam itu tidak lantas dikubur. Lelaki itu memilih untuk menjadikannya bayang-bayang. Dikulitinya bangkai ayam-ayam itu, dibiarkan bagian kaki dan kepalanya. Diformalin, lalu dipajang di tembok rumahnya. ”Biarlah selamanya aku abadikan di sini. Aku akan selalu ingat jasa-jasamu,” desah lelaki itu.

”De, tolong kau rebus daging-daging ini. Rebus yang lama pada suhu 100 derajad!” perintah lelaki itu pada istrinya.

”Ya, Beli.” Prempuan itu pun menuruti perintah suaminya. Tergopoh-gopoh dia mengambil daging-daging bangkai ayam itu, lalu merebusnya beberapa jam dengan panci besar. ”Ayamnya sudah matang, Beli,” ucapnya pada sang suami dengan sabar.

Lelaki itu mengambil daging yang telah direbus itu, lalu memanggangnya. ”Semoga racunnya hilang,” gumamnya dalam hati. Ia lalu memerintahkan istrinya membuat bumbu, sambil sibuk memegang gawai. Rupanya ia sibuk menghubungi teman-temannya.

”Hallo...halooo...ayo ngibur sini. Ada daging ayam kampung.”

”Ok. Sebentar aku ke sana. Ini kebetulan ada teman-teman, sekalian aku ajak ke sana ya?” suara seorang lelaki terdengar di seberang gawai.

”Ok. Ditunggu!” jawab lelaki itu.

Acara perjamuan minum tuak pun berlangsung seru di teras rumahnya. Udara gerah di siang bolong, menambah panasnya suasana petuakan. Enam orang lelaki peminum tuak terlihat gerah tanpa baju. Wajah-wajah mereka memerah. Suara obrolannya pun terdengar keras tidak karuan. Entah apa topik diskusinya, seru-seru saja.

Sampai pada akhirnya lelaki itu tiba-tiba berucap, ”De... sebenarnya, daging ayam ini adalah ayam jagoku yang tadi mati mendadak. Tetapi, sudah dimasak dengan matang. Istriku merebusnya, lalu aku panggang kembali,” tiba-tiba suasana pejamuan hening sejenak.

”Ayo nikmati! Santai sajalah. Penting kita happy,” timpal seseorang di antara peminum itu.

”Ya...! Aku sepakat, penting kita happy. Jika harus mati gara-gara bangkai ayam ini, ya kita mati bersama,” seloroh yang lain sambil memegang paha ayam panggang dan menggigitnya pelan-pelan. ”Keras!” gumamnya.

”Maklumlah ayam kurungan ini sudah kupelihara puluhan tahun. Mungkin usiamu malah lebih muda,” celoteh lelaki itu menimpali.

”Kenapa ya musuhku itu tega meracun ayamku?” tiba-tiba lelaki itu bertanya entah kepada siapa di perjamuan itu.

”Ah, rasanya tidak mungkin. Tidak masuk akal ada orang yang sengaja datang untuk meracun ayam-ayammu,” jawab seseorang.

”Terus, kenapa bisa mati dadakan? Padahal tadi pagi masih sehat semua pas aku kasi makan,” bantah lelaki itu dengan nada heran.

”Coba kamu ingat-ingat makanan apa yang pernah kamu berikan ke ayammu itu,” seru Made Dodot yang ikut minum tuak.

Lelaki itu lalu berpikir. Mengingat-ingat makanan apa gerangan yang pernah diberikan pada ayamnya. Ia nampak serius berpikir, tapi mungkin daya ingatnya sudah mulai kendor karena pengaruh minuman tradisional itu. Mendengar saran Made Dodot itu, istrinya juga ikut nimbrung mikir.

“Tiang ingat, Beli Made. Kemarin pas membersihkan daging ayam broiler untuk sesaji, usus-usus ayam broiler itu diberikan ke ayam jagonya sama suamiku,” ujar prempuan itu.

”Tidak masuk akal itu penyebabnya!” sanggah sang suami sengit.

Made Dodot lalu mencoba berteori, ”Kamu tahu tidak jika ayam-ayam broiler itu sudah divaksin. Vaksin yang disuntikkan ke ayam-ayam broiler itu sesungguhnya bibit penyakit yang dilemahkan. Sama dengan vaksin yang disuntikkan pada anak-anak kita. Nah, sementara ayam-ayam kita dibiarkan alami tanpa vaksin. Jadi, tubuh ayam kampung kita tidak kebal terhadap penyakit itu. Itu mungkin bisa menyebabkan kematian pada ayam-ayammu.”

Lelaki itu lalu terdiam. Ia sepertinya mempertimbangkan argumen temannya. Pikirannya seolah mulai terbuka. Ia seakan mendapat jawaban atas kematian ayam jagonya.

”Beli sudah dengar berita...?” belum selesai pertanyaan itu keluar dari seseorang, lelaki itu sudah menjawabnya dengan nada heran, ”Berita apa?

”Berita ayam-ayam kampung yang mati secara dadakan. Bencana ini sudah mewabah di beberapa desa. Terus bergerak dari arah barat. Mungkin juga ayam Beli mengalami kasus yang sama,” papar seseorang yang ikutan nimbrung minum tuak.

”Kira-kira apa penyebabnya ya?” tanya lelaki itu dengan suara yang mulai melunak, bahkan boleh dikatakan seperti nada berbisik.

”Kabarnya sih sejenis virus penyebabnya. Tanda-tandanya mirip dengan kematian ayam Beli,” imbuh yang lain.

”Ooo ...,” itu suara terakhir yang terdengar dari mulut lelaki itu. Ia terkapar di teras rumahnya bersimbah muntahan. Mulutnya mengerang, komat-kamit tidak karuan.


TAGS :

I Wayan Kerti

I Wayan Kerti, guru Bahasa Indonesia di SMP Negeri 1 Abang mengekspersikan kondisi pandemi Covid-19 dalam bait rasa dan kata yang dirangkai menjadi baris-baris puisi-puisi masa pandemi.

Komentar