Karya Sastra Ida Pedanda Ngurah Ditetapkan Sebagai Ingatan Kolektif Nasional
- By Ketut Sugiartha
- 21 September 2024
Ada yang berbeda dari acara Nyastra di Pura Pengastan Belayu pada hari Senin, 16 September 2024 yang baru lalu. Yang datang berpartisipasi tampak lebih banyak dari biasanya. Acara tidak saja diramaikan oleh para pedanda, para walaka, warga Geria Gede Belayu sebagai tuan rumah, tetapi juga dihadiri oleh perwakilan dari Puri Denpasar, Puri Pemecutan, sejumlah mahasiswa sastra Bali Universias Udayana bersama dosen mereka Putu Eka Guna Yasa. Pun dua tokoh panutan, yakni Profesor AA Bagus Wirawan dan Profesor Doktor Ida Bagus Putu Suamba.
Acara Nyastra kali ini diwarnai oleh ungkapan rasa syukur atas ditetapkannya karya sastra Ida Pedanda Ngurah berjudul Bhuwana Winasa sebagai Ingatan Kolektif Nasional oleh Perpustakaan Nasional.
Bhuwana Winasa yang kerap dijadikan sumber kajian sejarah adalah karya sastra Bali klasik yang sampai saat ini masih tersimpan di beberapa geria di Bali, dan bahkan di Perpustakaan Universitas Leiden, Belanda. Dalam sebuah telaahnya, IBG Agastia menyebutkan, Bhuawana Winasa adalah geguritan, sebuah karya sastra Bali yang terbangun oleh pupuh-pupuh. Karya ini juga sering disebut Kidung Bhuwana Winasa karena ditulis dengan bahasa Kawi-Bali.
Banyak yang menyatakan, Geguritan Bhuwana Winasa sebagai sumber penting historiografi dalam upaya menjelaskan tentang Perang Puputan Badung. Akan tetapi, sesungguhnya Ida Pedanda Ngurah mencatat dan mengungkapkan sesuatu yang lebih jauh dari itu. Lewat Bhuwana Winasa beliau menguraikan kehancuran Bali Selatan, menyangkut Badung, Tabanan, Gianyar, Klungkung, dan bahkan kemudian kehancuran Bali itu sendiri.
Bhuwana Winasa tidak hanya menyuratkan dengan detail kapan karya itu ditulis, tetapi juga mengungkap peristiwa-peristiwa sejarah penting yang terjadi. Kemampuan Ida Pedanda Ngurah menuliskan peristiwa sejarah itu sangat mumpuni, tersusun dalam pilihan kata yang mengagumkan dan dalam konteks ilmu astrologi Bali yang disebut wariga. Selain itu beliau juga melukiskan tanda-tanda alam sebagai tanda-tanda zaman, sebagaimana sering disuratkan dalam lontar-lontar wariga dan tenung.
Narasumber seperti Putu Eka Guna Yasa, Profesor Doktor Ida Bagus Putu Suamba, dan Profesor AA Bagus Wirawan, tidak saja sama-sama sepakat bahwa karya sastra Ida Pedanda Ngurah yang pada tahun ini juga meraih pengharagaan Sastra Saraswati Sewana dari Yayasan Puri Kauhan Ubud, memang layak ditetapkan sebagai Ingatan Kolektif Nasional. Bahkan, sudah ada gagasan pula untuk mengajukan karya sastra yang sama agar dapat ditetapkan sebagai Ingatan Kolektif Dunia.
IBG Agastya lebih jauh menguraikan bahwa Ida Pedanda Ngurah telah mewariskan kepada kita sebuah karya sastra berupa geguritan yang memuat nilai-nilai kemanusiaan, nilai-niai bahasa dan sastra yang begitu tinggi, di samping nilai-nilai filsafat, moral, dan etika, terlebih lagi fakta sejarahnya. Ida Pedanda Ngurah mengajak kita menjenguk ke dalam diri kita masing-masing dan mencari sumber-sumber kekuatan yang ada di dalam diri kita sendiri.
Siapakah sebenarnya Ida Pedanda Ngurah? Ida Bagus Dharma Palguna, seorang peneliti sastra Kawi, menyebut beliau sebagai Pengarang Besar Bali Abad ke-19. Salah satu karya beliau yang sangat terkenal adalah Geguritan Bhuwana Winasa yang artinya Nyanyian Jagat Hancur yang selesai ditulis pada tahun 1918.
Geguritan itu telah menarik perhatian banyak peneliti. L.C. Heyting, seorang pegawai Belanda yang bertugas di Singaraja, pada tahun 1919 datang ke Geria Gede Belayu dan minta Ida Pedanda Ngurah menuliskan kembali geguritan itu dalam aksara Bali dan Latin di atas kertas. Naskah itulah yang kemudian disimpan di perpustakaan Unversitas Leiden.
Sementara dalam sambutannya pada buku Profil Ringkas Penerima Sastra Saraswati Sewana Nugraha 2024 yang disusun Putu Eka Guna Yasa, Ketua Yayasan Puri Kauhan Ubud Dr. AA Gde Ngurah Ari Diwipayana menyatakan, Ida Pedanda Ngurah adalah salah seorang dari empat tokoh sezaman yang telah meletakkan pilar-pilar penyangga peradaban literasi Bali melalui yasa kerti di bidang sastra Bali dan Kawi.
Ida Pedanda Ngurah diperkirakan lahir pada tahun 1830 dan masih menulis karya sastra pada tahun 1919, pada usia yang sudah sepuh. Beliau merupakan bagawanta atau penasehat Puri Gede Belayu, Tabanan. Oleh sebab itulah posisi Geria Gede Belayu tepat berada di sebelah timur Puri Gede Belayu dan di sebelah utara jalan.
Mengapa Ida Pedanda Ngurah memiliki hubungan yang begitu erat dengan Ida Pedanda Made Sidemen, padahal selisih usia di antara mereka cukup jauh? Profesor Ida bagus Putu Suamba menegaskan, tidak ada hubungan pernabean di antara keduanya. Mereka menjalin hubungan yang demikian akrab, termasuk dengan I Gusti Ngurah Made Agung, semata-mata karena sama-sama berkecimpung di dunia sastra. Sastralah yang membuat Ida Pedanda Ngurah memperoleh kesempatan untuk menjadi sasksi dari peristiwa penting Perang Puputan Badung dari pemerajan Puri Denpasar.
Ida Pedanda Ngurah yang menggunakan nama pena Wipra Nguraha ini adalah seorang kawi wiku atau pujangga-pendeta. Sebagai seorang pujangga, beliau membenamkan diri secara penuh di dunia sastra dengan mutu manikam pemikiran yang tidak akan karam ditelan zaman.
Beliau dapat dipastikan menulis karya sastra Kakawin Gunung Kawi, Kakawin Gwara Gong, Kakawin Surantaka, Geguritan Bhuwana Winasa, dan Yadnyeng Ukir. Sementara karya-karya sastra lain yang diduga ditulis oleh beliau adalah Wratmareng UKir, Singgala, Rundah Pulina, Jayeng Ukir, dan Gunung Guwa. Karena kreativitas itulah Ida Pedanda Ngurah disebut pengarang besar Bali abad ke-19
Sebagai seorang pendeta, Ida Pedanda Ngurah berperan penting dalam menyelesaikan upacara agama dalam hubungannya dengan panca yadnya. Beliau adalah salah satu figur sentral yang memimpin ritual-ritual di sejumlah gunung di Bali, terutama yang berlokasi di Kawasan Kabupaten Tabanan.
Menurut karya sastra yang beliau tulis sendiri berjudul Kidung Yadnyeng Ukir, Ida Pedanda Ngurah menyelesaikan upacara Pura Pucak Padang Dawa, Pura Luhur Batukaru, dan Pura Ulun Danu Beratan. Sampai saat ini Geria Gde Belayu menyimpan lebih dari 260 lontar dan masih mengoleksi satu naskah puja yang istimewa berjudul Puja Nembah Ukir, mantra terkait dengan ritual penghormatan terhadap gunung.
Untuk menyelesaikan upacara di gunung-gunung, Ida Pedanda Ngurah dapat dipastikan menguasai pusparagam pengetahuan, mulai dari bebantenan, tata laksana upacara, dan puja mantra. Kepada beliaulah berbagai sarana persembahan disandarkan untuk dihaturkan kembali kepada penguasa jagat atau Hyang Jaganatha.
Saat ini, pihak Geria Gede Belayu yang telah mengoleksi karya-karya beliau dan karya-karya sastrawan Bali kuno lain yang jumlahnya mencapai ratusan judul lontar, berniat untuk membangun sebuah museum di atas lahan yang sudah disiapkan di sebelah Pura Pengastan Belayu. Ini masih sebatas gagasan, karena belum terbayang sumber dananya. Siapa tahu ada donatur yang terketuk hatinya untuk ikut melestarikan karya para leluhur.
Komentar