Mpu Kuturan Penggagas Desa Pekraman
- By Ketut Sugiartha
- 14 Maret 2024
Mpu Kuturan adalah seorang rohaniwan Jawa yang datang ke Bali pada masa pemerintahan pasangan raja Mahendradatta-Udayana. Jasa beliau pada Bali tidak akan mungkin dilupakan. Beliaulah konseptor desa adat atau desa pekraman yang menjadi benteng adat dan budaya Bali sampai saat ini.
Bagaimana beliau menemukan gagasan yang merupakan solusi dari pertikaian banyak sekte di Bali pada masa itu akan dipaparkan berikut ini dengan merujuk buku Kanduk Supatra berjudul Babad Usana Bali Pulina.
Mpu Kuturan mempunyai istri yang menekuni ilmu Tantrayana aliran kiri. Dari perkawinan mereka lahir seorang putri bernama Diah Ratna Manggali. Setelah bercerai, ibu yang melahirkan Diah Ratna Manggali kemudian dikenal dengan nama Walu Nateng Dirah atau Rondo Nateng Dirah.
Saat mempraktikkan ilmunya, Rondo Nateng Dirah bisa berubah wujud menjadi sosok yang sangat seram dan menakutkan disebut Calon Arang. Di Bali sosok itu disebut rangda. Kata rangda berasal dari rondo yang dalam bahasa Jawa berarti janda.
Selain sebagai rohaniwan, Mpu Kuturan juga memiliki keahlian di bidang agama dan adat. Karena keahlian beliau itulah maka Udayana dan Mahendradatta mengundang beliau ke Bali guna menata kehidupan masyarakat Bali Aga yang sedang dilanda pertikaian antarsekte.
Mpu Kuturan pun memutuskan meninggalkan Jawa dan menetap di Bali. Selain untuk memenuhi undangan Udayana dan Mahendradatta, juga karena ketidakakuran beliau dengan istrinya yang menekuni ilmu magis.
Setelah tiba di Bali, Mpu Kuturan diangkat menjadi pejabat di Kerajaan Bali. Karena keahlian beliau diperlukan oleh Kerajaan maka beliau dipercaya untuk memegang jabatan senopati kerajaan dengan gelar Senopati Kuturan. Selain sebagai Pandita Siwa-Budha, beliau juga ditunjuk sebagai Ketua Majelis Tertinggi Pemerintahan bernama Pakiran-kiran I Jro Makabehan yang bertugas memberi nasihat dan pertimbangan kepada Raja serta melakukan pembinaan di segala bidang untuk menciptakan keamanan dan ketertiban masyarakat.
Sesuai dengan jabatannya, Mpu Kuturan lalu menjalankan tugas menata kehidupan beragama masyarakat Bali Aga. Atas persetujuan Raja Udayana dan permaisurinya, Mahendradatta, Mpu Kuturan mencari akar permasalahan yang melanda Kerajaaan.
Berbagai informasi penting pun diperoleh terkait dengan masalah perbedaan keyakinan di masyarakat Bali Aga. Atas restu Udayana dan Mahendradatta, Mpu Kuturan kemudian mengadakan pesamuan agung yang disebut samuan tiga atau pertemuan segitiga. Pertemuan agung itu diseleggarakan di sebuah tempat yang bernama Bataanyar, yang sekarang disebut Gianyar. Beberapa sumber menyatakan, saat itu ada 1370 perwakilan desa yang mengikuti pesamuan agung tersebut.
Yang diundang dan hadir dalam pertemuan itu adalah tokoh dari masing-masing sistem kepercayaan yang dibedakan menjadi 3 kelompok. Itulah mengapa pertemuan besar itu disebut samuan tiga atau pertemuan segitiga. Di tempat pertemuan itu berlangsung sekarang berdiri sebuah pura bernama Pura Samuan Tiga berlokasi di Desa Bedulu, Gianyar.
Adapun 3 kelompok sistem kepercayaan tersebut adalah:
1. Mpu Kuturan, di samping selaku Ketua Majelis Pakira-kiraan I Jro Makabehan, juga sebagai wakil penganut aliran Budha.
2. Tokoh-tokoh atau pimpinan orang-orang Bali Aga dari masing-masing sekte yang tediri dari beberapa sampradaya yang dijadikan satu kelompok. Jumlah mereka inilah yang paling banyak.
3. Tokoh-tokoh atau pimpinan agama Siwa yang datang dari Jawa.
Pertemuan itu dipimpin oleh Mpu Kuturan yang menjabat sebagai Ketua Majelis Tinggi Pemerintahan. Semua peserta pertemuan diberikan kebebasan menyampaikan pendapat sesuai dengan konsep masing-masing sekte atau aliran kepercayaan yang diwakili. Semua pendapat dan pandangan ditampung oleh Mpu Kuturan. Sebaliknya Mpu Kuturan juga menyampaikan pendapat dan pandangannya, bahwa perlu diadakan perubahan-perubahan serta mengatur tatanan kehidupan masyarakat dengan peraturan berdasarkan situasi-kondisi serta aspirasi masyarakat.
Dalam pertemuan segitiga itu akhirnya diputuskan secara aklamasi, menyetujui gagasan yang disampaikan Mpu Kuturan yang meliputi 5 butir kesepakatan, yaitu:
1. Ketiga aliran agama yaitu Budha Mahayana, Siwa, dan Bali Aga dengan semua sektenya sepakat untuk meleburkan diri ke dalam satu paham yang dinamakan Tri Murti atau Tri Sakti atau Tri Tunggal.
2. Kesepakatan untuk mendirikan bangunan suci bernama Pura Kahyangan Tiga di setiap desa adat, yakni: Pura Desa, Pura Puseh dan Pura Dalem sebagai tempat memuja dan memuliakan Ida Sang Hyang Widhi Wasa dengan segala manifestasi-Nya. Di samping itu disepakati pula untuk mendirikan bangunan suci atau pura yang disungsung oleh krama subak.
3. Pada setiap pekarangan rumah disepakati untuk mendirikan bangunan suci rong tiga atau rong telu yang dinamai Kemulan Rong Telu sebagai tempat memuliakan dan memuja roh suci para leluhur dan Sang Hyang Widhi Wasa dalam manifestasinya sebagai Tri Murti.
4. Semua tanah pekarangan dan tanah yang terletak di sekitar desa adat dan Pura Kahyangan Tiga adalah milik Desa Pekraman atau menjadi milik Pura Kahyangan Tiga. Tanah tersebut tidak boleh diperjual-belikan.
5. Disepakati bahwa nama agama yang dianut oleh penduduk Bali Aga dinamakan agama Siwa-Budha.
Demikianlah hasil keputusan pertemuan segitiga atau samuan tiga itu. Keputusan itu menjadi warisan yang tidak ternilai harganya bagi masyarakat Bali dalam mengatur tata tertib, tata kehidupan masyarakat dan agama sebagai dasar keyakinan.
Sejak saat itu kehidupan masyarakat Bali Aga jadi lebih tertib, aman, rukun dan damai. Mereka saling menghormati satu sama lain sesuai dengan semboyan “Bhinneka Tunggal Ika Tan Hana Dharma Mangrwa.” Lima butir kesepakatan yang disetujui secara aklamasi dalam pertemuan segitiga itu menunjukkan betapa besar peran dan jasa Mpu Kuturan dalam menata sistem keagamaan masyarakat Bali.
Adapun tempat pertemuan agung tersebut sekarang bernama Desa Bedulu, Gianyar, dengan keberadaan pura yang disebut Pura Samuan Tiga atau Pura Samuan Telu.
Komentar