Motivator Senyap Umbu Landu Paranggi
- By Ketut Sugiartha
- 18 Desember 2019
Menyusul penerimaan penghargaan Anugerah Dharma Kusuma 2019 dari Pemprov Bali dan Penghargaan Pengabdian pada Dunia Sastra dari Badan Pegembangan Bahasa dan Perbukuan 2019, pada pertengahan Desember ini (16-12-2019) nama Umbu Landu Paranggi kembali berkibar. Kali ini ia menerima penghargaan dari Akademi Jakarta untuk pencapaian sepanjang hayat di bidang humaniora.
Menerima penghargaan tiga kali dalam setahun tentu bukan pencapaian biasa. Dan Umbu Landu Paranggi yang saya kenal memang bukan figur biasa. Tidak mudah untuk dapat bertemu denganya kalau ia tidak menghedaki. Saya suka menyebutnya sang motivator senyap. Mengapa? Dalam membimbing calon sastrawan ia tidak banyak bicara, lebih sering memberi isyarat sederhana untuk bertindak. Misalnya, sekitar awal tahun 80-an, ketika saya lama tidak mengirim tulisan ke Bali Post (waktu itu ia mengasuh ruang sastra di koran itu), ia hanya mengingatkan saya dengan kalimat pendek, “Jangan kelamaan tidur”. Di saat lain, ketika sedang menonton televisi di Kantor Bali Post Biro Amlapura, yang bersebelahan dengan tempat kos saya, tanpa basa-basi ia menyodori saya naskah cerpen yang berisi banyak goresan tangan khas miliknya. Semula saya tidak mengerti apa maksudnya, tetapi lama-lama baru saya ngeh kalau ia mau mengajari saya menyunting naskah alias belajar jadi editor.
Dalam membimbing, seingat saya, Umbu Landu Paranggi tak pernah menggurui atau mencekoki dengan pakem-pakem tertentu. Yang ia lakukan hanya menegur kalau ada yang dianggap kurang pas atau kurang berkenan di hati. Umbu Landu Paranggi memang pribadi yang unik, bisa tiba-tiba muncul dan sebaliknya menghilang begitu saja. Beberapa kali saya pernah bertemu secara kebetulan di warung cap cay di sebelah kantor Bank BPD Bali Cabang Amlapura, tetapi tak pernah ngobrol tentang kegiatan menulis. Bagaimana mau ngobrol kalau saya ini orangnya pendiam alias intorvert? Maka jadilah kami menyantap cap cay atau sayur hijau dalam senyap.
Kependiaman saya sungguh tidak menguntungkan. Saya jadi tidak tahu banyak tentang Umbu. Apalagi kemudian saya hijrah ke Ibu Kota untuk keperluan mencari nafkah dan belasan tahun tidak aktif menulis. Saya baru tahu kalau, seperti dilansir Kompas.id baru-baru ini, Umbu Landu Paranggi adalah penyair kelahiran Waingapu, Sumba Timur, Nusa Tenggara Timur. Bakat sastranya luar biasa, bahkan sejak di bangku SMP, puisi-pusinya sudah terbit di media-media nasional, seperti Mimbar Indonesia, Gema Genta, Gelanggang, Basis, Horson, Pusara, dan Kompas.
Begitu lulus SMP di Sumba Barat, Umbu Landu Paranggi melanjutkan sekolah ke SMA BOPKRI 1 Yogyakarta, lalu ke Jurusan Sosiatri, Fisipol Universitas Gajah Mada dan Fakultas Hukum Universitas Janabadra. Setelah lulus kuliah, ia kemudian bekerja sebagi redaktur mingguan Pelopor Yogya sekaligus aktif menggerakkan komunitas Persatuan Sastrawan Muda (Persada).
Kendati proses belajar yang saya lewati bersamanya berlangsung singkat saja, dan saya tidak berhasil menjadi seorang penyair, motivasi-motivasi senyap yang pernah saya terima darinya membuat saya tidak dapat mengingkari bahwa Umbu Landu Paranggi adalah salah satu guru saya yang paling penting dalam hal menulis. Hanya ucapan terima kasih yang bisa saya sampaikan, dan saya ucapkan selamat atas pencapaian-pencapaiannya, semoga Tuhan memberkatinya dengan kesehatan dan kebahagiaan. Sebagai penutup, berikut saya kutipkan salah satu karyanya yang fenomenal.
Melodia
cintalah yang membuat diri betah untuk sesekali bertahan
karena sajak pun sanggup merangkum duka gelisah kehidupan
baiknya mengenal suara sendiri dalam mengarungi suara-suara luar sana
sewaktu-waktu mesti berjaga dan pergi, membawa langkah ke mana saja
karena kesetiaanlah maka jinak mata dan hati pengembara
dalam kamar berkisah, taruhan jerih memberi arti kehadirannya
membukakan diri, bergumul dan merayu hari-hari tergesa berlalu
meniup seluruh usia, mengitari jarak dalam gempuran waktu
takkan jemu-jemu napas bergelut di sini, dengan sunyi dan rindu menyanyi
dalam kerja berlumur suka duka, hikmah pengertian melipur damai
begitu berarti kertas-kertas di bawah bantal, penanggalan penuh coretan
selalu sepenanggungan, mengadu padaku dalam deras bujukan
rasa-rasanya padalah dengan dunia sendiri manis, bahagia sederhana
di ruang kecil papa, tapi bergelora hidup kehidupan dan berjiwa
kadang seperti terpencil, tapi gairah bersahaja harapan impian
yang teguh mengolah nasib dengan urat biru di dahi dan kedua tangan
Sumber : Persada Studi Klub dan Sajak-sajak Presiden Malioboro dalam Suara Pancaran Sastra: Himpunan Esai dan Kritik, Korrie Layun Rampan, Yayasan Arus Jakarta, 1984 (halaman 73).
Komentar