Jejak-jejak Tercecer Inspiratif
- By Ida Bagus Anom Ranuara
- 08 Januari 2025
Dalam buku kecil ini yang saya beri judul: “Jejakjejak Tercecer Inspiratif” memuat 18 buah kisah-kisah pendek dari rencana 50 buah cerita pengalaman masa lalu, baik saya lihat, saya dengar maupun yang saya alami sendiri. Seluruh pengalaman tersebut adalah yang terjadi selama rentang waktu tidak kurang dari 75 tahun, terhitung sejak saya berusia 5 tahun sampai saya menginjak usia 80 tahun plus sekarang ini. Maka, jika tidak ada aral melintang, keseluruhan pengalaman pendek tersebut (50 buah) akan saya publikasikan menjadi dua atau tiga jilid atau tiga seri. Titik tolak usia 5 tahun yang saya pergunakan sebagai awal penceritaan, karena hampir sebagian dari memori yang saya alami saat diusia itu, ternyata masih saya ingat dan terbayang jelas sampai sekarang. Jika diibaratkan sebuah film yang diproduksi 75 tahun yang lalu, kemudian di “review” sekarang, ternyata gambarnya masih baik-baik saja nyaris tanpa gerimis. Seperti itulah halnya memori yang masuk ke otak saya 75 tahun yang lampau itu masih melekat.
Mungkin, seperti itulah pada umumnya kerja otak anak-anak diusia itu, mulai tumbuh, berkembang dan kuat menyimpan memori. Konon, menurut penelitian para pakar pendidikan, bahwa jika pada usia seperti itu mereka mendapatkan atensi serius dari para orang tua mereka dengan memberikannya asupan makanan bergizi dan sempurna, maka diyakini anak-anak tersebut akan tumbuh menjadi manusia-manusia jenius dan cemerlang. Lantas, bagaimana dengan keadaan saya yang hidup dalam keluarga miskin ? Pada masa kanakkanak sekitar tahun 1950-an, saya sudah berstatus anak yatim (ayah saya meninggal tahun 1948). Praktis kami empat bersaudara kandung dipelihara ibu, yang notabene tidak punya pekerjaan tetap, tanpa warisan material seperti: sawah, ladang serta barang berharga lainnya. Ditambah pula keadaan dengan keadaan negara yang baru saja merdeka, harus menghadapi tahun-tahun sulit, terutama dalam hal kondisi perekonomian yang sangat buruk. Walaupun demikian, artinya walau jalan kehidupan yang harus kami jalani sangat gelap, terjal bahkan menakutkan, kami empat bersaudara secara intuitif merasakan bahwa ibu kami sangat tabah dan sangat menyayangi kami.
Bagi kami, curahan kasih sayang ibu melebihi segalanya, tanpa tuntutan adanya makanan bergizi sebagaimana dianjurkan oleh para pakar pendidikan. Lagipula, mana ada masyarakat kebanyakan tempo dulu yang paham akan arti makanan bergizi ? Seperti apa macamnya, apa manfaatnya, dan yang terutama dimana mendapatkannya ? Disitulah permasalahannya. Dalam kondisi seperti itu; dalam kondisi tidak ada asupan makanan bergizi, mustahillah kualitas otak saya bisa bertumbuh dan berkembang, apalagi genius. Tanpa rasa malu saya permaklumkan, bahwa sampai sekarang pun kualitas otak saya selalu berada pada level menengah ke bawah. Tapi sudahlah. Cerita mengenai masa-masa sulit dan suram itu tidak bijak saya perpanjang dalam prolog ini, apalagi dirisaukan dan disedih-sedihkan. Jujur saya katakan, bahwa kebanyakan pengalaman pahit itu justru saya respon dengan santai dan perasaan riang tanpa beban. Bahkan sekarang, pengalaman pahit manis itu saya jadikan guru. Seorang spiritual Buddhis asal Thailand yang sangat tersohor bernama Ajahn Chah, dalam salah satu bukunya: “Ini Pun Pasti Berlalu”, mengatakan bahwa kejadian, peristiwa, baik suka maupun duka, pujian atau hinaan, bahkan semua kehidupan ini pun pasti berlalu. Oleh karena itu, semua itu tidak perlu terlalu dipikir-pikirkan, apalagi disedih-sedihkan. Sikapilah dengan happy-happy saja. Walaupun filosofi kehidupan yang diajarkan oleh biksu Ajahn Chah itu baru beberapa tahun lalu saya baca, namun sejatinya filsafat hidup beliau itu tanpa saya sadari sudah saya praktekkan sejak saya berusia 9 tahunan. Misalnya, di usia itu, hampir setiap minggu saya dan teman-teman sebaya “makuli” (bekerja) mengangkut, tepatnya memikul sampai habis satu truk kayu bakar dari pinggir jalan raya menuju rumah pemiliknya (Men Suplig) yang sehari-harinya berprofesi sebagai dagang “saang” (kayu bakar) di pasar Satria Denpasar. Pekerjaan pikul-memikul saang itu selalu kami lakoni dengan perasaan senang, penuh gelak-tawa diselingi dengan bernyanyi-nyanyi. Lebih-lebih saat ketika pekerjaan sudah selesai. Upah pun menanti. Kepayahan yang kami derita selama hampir dua jam perlahan sirna, melihat beberapa uang logam, segera akan masuk kantong.
Perlu saya informasikan bahwa alat pembayaran pada jaman itu berupa uang logam, antara lain: uang kepeng terbuat dari perunggu. Peser, sen, benggol berwarna merah terbuat dari tembaga. Kelip warna putih terbuat dari nikel. Ketip, talen, suku, rupiah, ringgit terbuat dari perak warna putih abu. Mata uang logam yang terakhir ini jarang saya miliki. Kebanyakan dimiliki oleh orang-orang dewasa, atau oleh orang-orang kaya. Saya dan teman-teman sebaya, hanya memiliki uang kepeng atau pun peser. Maksimal ada sebenggol di kantong. Karena, sebesar itulah jerih payah anakanak dihargakan. Namun saya syukuri. Seperti itulah pekerjaan dan penghasilan saya sepanjang waktu, seterusnya dan seterusnya… kerja berat ringan silih berganti, suka duka datang dan pergi. Namun semuanya itu sedapat mungkin saya jalani sehappy-happynya, sebagaimana ajaran falsafah hidup biksu Ajahn Chah. Terima kasih guru. Selanjutnya anda akan saya ajak menguak misteri angka 50. Sebagaimana saya isyaratkan di depan, bahwa buku kecil dengan judul: “Jejak-jejak Tercecer Inspiratif” ini kemungkinan akan terbit dalam dua atau tiga seri dan keseluruhannya akan memuat 50 buah kisah-kisah pendek pengalaman masa lalu.
Mengapa hanya 50 buah, bukannya 60 buah, 70 buah atau 100 buah. Mengumpulkan pengalamanpengalaman masa lalu, melebihi jumlah 50, tentu saja memungkinkan, mengingat rentang waktu pengalaman masa lalu saya itu relatif panjang, tidak kurang dari 75 tahun. Namun, ide saya untuk menentukan jumlah atau angka 50 itu adalah sebagai “kado” HUT (Hari Ulang Tahun) Sanggar Teater Mini yang ke-50, yang akan jatuh nanti 18 Juni 2028. Masih jauh memang. Empat tahun lagi, terhitung sejak rampungnya buku perdana ini yang membuat 18 buah cerita. Menanti waktu selama 4 tahun, merupakan waktu relatif, apakah masih jauh atau dekat, lama atau singkat. Karena sang waktu itu bersifat relatif dan subyektif, maka bagi saya, lebih baik menyiapkan buku kenang-kenangan ini lebih dini daripada terlambat. Sejujurnya saya sampaikan bahwa di balik “proyek” pengerjaan buku ini tersembunyi perasaan cemas, bimbang dan ragu yang menyebabkan saya dan mungkin juga segenap anggota sanggar bertanyatanya. Dari beberapa pertanyaan yang tersembunyi tersebut, ada dua pertanyaan penting yang bernada cemas dan pesimistis. Pertama, apakah pada tahun 2028 itu Sanggar Teater Mini masih eksis, masih ada, masih berkibar?
Kedua, apakah pada tahun 2028 itu, Tuhan yang Mahakuasa berkenan membiarkan saya tetap bernafas dan sehat, sehingga saya mampu merampungkan buku ini dan selanjutnya masih bisa menghasilkan karyakarya sastra drama serta pementasan-pementasan berkualitas, kreatif dan inovatif?
Apabila kita menyadari berlakunya hukum karma, hukum alam, hukum aksioma dan mempercayai filsafat hidup biksu Ajahn Chah… maka semua yang ada, termasuk kita pasti berlalu, pasti tiada, tertelan Sang Kala atau sang waktu. Dalam keadaan tidak berdaya seperti ini, hanya doa yang tulus kita panjatkan kepada Nya, semoga kita tidak “cepat” berlalu. Astungkara. Semoga terjadilah seperti yang kita harapkan.
Berikutnya, hal yang tidak kalah pentingnya yang ingin saya sampaikan pada kesempatan ini adalah mengenai pengertian “Inspiratif” sebagaimana yang saya maksudkan dalam judul: “Jejak-Jejak Tercecer Inspiratif”. Bahwa Jejak-jejak (pengalaman); Tercecer (yang dialami pada masa silam yang belum terungkap) ternyata menjadi pemantik, pendorong, penyemangat serta mengilhami saya untuk kemudian terjun ke dunia seni, khususnya seni sastra dan seni teater. Satu dua dapat saya contohnya; cerita 1 dan 2 dalam buku ini yang masing-masing berjudul: “Saputangan” dan “Dagang Rambut”, sejatinya merupakan pengalaman pribadi saya pada tahun 1952-an.
Kedua judul di atas, sebelumnya (1976) sudah pernah saya tulis, namun dengan judul yang berbeda yakni: “Menyongsong Hari Esok” dan “Uang Tamasya”. Dengan demikian, cerita 1 dan 2 dalam buku ini merupakan penyempurnaan dari cerita yang saya tulis tahun 1976, dan kedua cerita inilah merupakan karya sastra prosa (cernak) perdana saya. Perlu pula saya catat di sini, bahwa kemudian karya saya ini saya serahkan kepada almarhum Drs. Made Sukada. Beliau adalah salah seorang dosen Bahasa dan Sastra Indonesia Faksas. Unud. Denpasar pada tahun 1980-an. Dua bulan kemudian, kedua buah karya sastra saya itu digabung bersama beberapa naskah cernak dari beberapa pengarang muda lainnya ke dalam sebuah buku mungil dengan judul: “Menuju Dunia Damai” di “publish” oleh Lembaga Kesenian Bali (Lesiba) Denpasar asuhan bapak Made Sukada sendiri. Inilah awal saya menjadi bangga dan “PD” untuk terjun menggeluti sastra.
Kesimpulannya, khususnya bagi saya, pengalaman masa lalu, sangat menginspirasi. Oleh karena itu, saya selalu berusaha menyimpan dan mengingat masa lalu, jangan sampai dia “gone with the wind” berlalu terbawa hembusan angin. Dengan mengingat pengalaman pahit, penuh dosa dan noda, akan membuat saya tidak mengulanginya lagi di masa depan. Sebaliknya, masa lalu yang positif, akan membuat masa depan saya semakin baik. Seperti inilah kata-kata mutiara yang pernah saya dengar, selanjutnya saya pedomani.
Nah, jika sekarang anda memiliki buku ini, yang mungkin secara kebetulan sebagai hadiah dari salah satu sahabat misalnya, sedangkan anda sendiri tergolong orang yang tidak suka atau tidak punya waktu untuk membaca, maka saya ingin memberikan anda sebuah “tip” sederhana, ringan dan mudah.
Bacalah buku ini setiap hari, cukup 1 judul saja. Waktu yang dibutuhkan antara 5 sampai 10 menit, dan waktu yang relatif singkat ini, bahkan sama sekali tidak terasa, ketika dilaksanakan berbarengan dengan waktu minum kopi atau teh di pagi hari atau sore hari. Apabila secara konsekuen dan konsisten anda mematuhi tip saya ini, maka dalam waktu 18 hari, buku kecil ini sudah ludes terbaca, tanpa anda merasa membuang-buang waktu. Gampang kan ?
Setelah sekian hari waktu anda terlewatkan, maka tahap berikutnya, cobalah mengingat-ingat dan merenung-renungi apa yang telah anda baca. Siapa tahu dalam perenungan itu anda berhasil menemukan satu dua butir mutiara di dalam gundukan ribuan kata dan kalimat dari belasan cerita dalam buku ini, yang mungkin dapat anda jadikan suluh di dalam menerangi jalan kehidupan. Andaikata anda tidak menemukan apa-apa, janganlah kecewa. Anggap saja diri anda telah ikut melestarikan “budaya baca”, sebuah tradisi luhur yang kian lama kian kurang diminati, terutama oleh anak-anak dan remaja. Bahkan, tanpa disadari anda telah ikut melestarikan “aksara, bahasa dan sastra” latin yang telah ada ribuan tahun silam sebagai warisan budaya dunia.
Akhirnya lagi-lagi ingin saya katakan, jangan sekali-kali melupakan sejarah (budaya) masa lalu. Sebagaimana kata bung Karno: “Jangan sekali-kali melupakan sejarah”.
Komentar