Pelecehan Seksual hingga Kekerasan Pada Anak di Novel Kulit Kera Piduka
- By Ni Komang Sabina Sanji Putri
- 31 Desember 2022
PADA novel Kulit Kera Piduka, Putu Juli Sastrawan mengangkat beragam persoalan. Ada masalah pariwisata, pelecahan seksual, hingga kekerasan pada anak. Pembutan isi dari cerita ini tidak sembarangan. Penulis dibantu temannya sempat membaca naskah yang dibuat oleh orang-orang Bali terdahulu yaitu Kama Tattwa. Kama dalam ajaran Agama Hindu membahas seks atau berhubungan dengan keinginan, cinta, kasih sayang, kesenangan, air mani, dan Dewa Cinta. Kama Tattwa merupakan ajaran yang menguraikan tentang etika dan pengendalian libido dengan kemasan berbentuk karya sastra. Karya sastra yang memberikan pengajaran seks yang bisa membentuk watak manusia. Teks ini berisi ajaran seks ini nantinya membentuk watak seseorang.
Cerita yang menjadikan Piduka sebagai tokoh utama memiliki istri bernama Piranti. Pasangan ini melahirkan seorang putri bernama Kenanga. Piduka terlalu terobsesi akan keberhasilannya membuat ramuan dari asahan kulit kera. Obat kelamin laki-laki dengan bahan-bahannya. Setelah rampung akan digunakan pada Kenanga kemudian pada rencana selanjutnya mampu membuat Kenanga lebih laris dalam job menari jogednya, itu rencana Piduka.
Selain tentang ramuan pada novel tersebut diceritakan pula Kenanga yang tidak ingin menari joged karena merasa tarian itu tarian porno. Masyarakat sekitar sering berkomentar negatif tentang tarian joged ini. Kenanga lebih memilih pergi ke kota, bekerja di bidang pariwisata. Kenanga yang mendapatkan tindakan kekerasan dari orang tuannya sempat ingin melakukan bunuh diri. Bukan hanya Kenanga, Parwa juga sempat mendapatkan kekerasan yang dilakukan oleh Piduka yang notabene bukan anak kandung dari Piduka dan Piranti. Melainkan anak dari hubungan gelap antara Piranti dan Arsa. Arsa adalah cinta sejati dari Piranti.
Kepuh, makelar joged, seorang tokoh laki-laki yang menyukai laki-laki. Tokoh yang juga melakukan pelecehan kepada anak laki-laki yaitu Parwa. Tindakannya ini dilakukan karena adanya rasa dendam kepada pasangannya yang terdahulu, juga seorang laki-laki. Sering disebut dengan gay. Rasa cinta dipadukan dengan dendam yang membuat Kepuh menjadi gelap mata. Memang ya manusia bisa berubah kapan saja. Piduka ayah Kenanga sendiri pun sempat ingin melakukan pelecehan kepada anaknya. Pikirannya yang sudah tertutup oleh nafsu membuatnya buta.
Piduka dan Piranti yang sedang kesulitan ekonomi dipertemukan dengan Kepuh. Makelar joged yang ‘baik hati’, memberikan pekerjaan, memberikan mainan, uang, yang membuat pasangan ini memiliki kepercayaan tinggi pada Kepuh. Kita bisa melihat banyaknya persoalan yang terdapat pada novel Kulit Kera Piduka ini. Sesuai teori mimesis pada karya sastra Indonesia, hal ini bisa dikatakan merupakan bentuk tiruan kehidupan manusia. Semua hal yang diangkat bermula dari permasalahan yang terjadi di masyarakat. Mulai dari pelecehan seksual, permasalahan pariwisata bahkan kekerasan terhadap anak.
Mengapa kasus pelecehan seksual meningkat belakangan ini? Mengapa orang tua tega melakukan kekerasan kepada anaknya sendiri? Apakah di Bali hanya pariwisata yang bisa berkembang? Bali terasa mati saat masyarakat Bali terkena dampak dari Covid-19. Sebagian orang protes karena pemerintah menerapkan pembatasan keluar rumah, banyak yang bekerja dari rumah (work from home).
Masyarakat desa yang beranggapan hidup di kota lebih banyak menghasilkan pundi rupiah. Memilih merantau meninggalkan kehidupan desa dan berangkat ke kota. Pelecehan seksual yang belakangan ini makin meningkat, banyak berita yang semakin intens menyiarkan adanya pelecehan. Mirisnya bukan orang lain melainkan orang terdekat. Dan korbannya masih anak-anak.
Di Indonesia sendiri memiliki Hak Asasi Manusia, bebas berpendapat, yang juga berlaku untuk anak. Anak berhak menyampaikan apa keinginannya dan orang tua tidak bisa semata-mata membantah dan menganggap bahwa orang tua selalu benar. Perlu diingat bahwa pendidikan itu penting. Tidak hanya guru tetapi orang tua juga memiliki peran penting untuk memberikan pendidikan kepada anak. Memberikan pengajaran kepada anak, mana yang boleh mana yang tidak. Tidak hanya pelajaran matematika, bahasa atau yang lainnya saja.
Tujuan penulis pasti baik. Membuat karya semenarik ini. Dengan banyaknya persoalan yang diangkat kita bisa bercermin dengan kehidupan yang kita hadapi. Ambil baiknya, tinggalkan buruknya. Dari cerita tersebut kita bisa belajar banyak hal. Bisa menjadikan cerita tersebut cerminan dan mengambil sisi positif untuk hidup kita yang lebih baik.
Di luar dari cerita itu, kita bisa meniru sang penulis, yang tidak melupakan orang tua terdahulu. Orang tua yang sudah merasakan garam lebih dulu. Tidak ada salahnya kita belajar dari peninggalan mereka. Rajin mencari tahu, ingin tahu banyak hal. Membaca, mendengar, dan menulis saya rasa mampu membuat kita makin luas. Luas akan pengetahuan.
Dengan rangkaian cerita yang dibuat oleh penulis, penulis masih menyantumkan kata-kata yang tidak diketahui banyak orang. Kata yang masih bersifat kedaerahan. Seperti langse, penguruk. Kata-kata ini berasal dari Bali. Jika memang penulis ingin menyantumkan bahasa daerah, sebaiknya menyantumkan pula arti dari kata tersebut. Sayang sekali jika buku sebagus ini tidak bisa dipahami dengan baik karena ada beberapa kata yang tidak bisa diketahui artinya oleh orang di luar daerah. Dengan buku ini nantinya bisa mengangkat nama daerah baik dari nama penulis, kebudayaan, pelajaran maupun pesan yang disampaikan penulis.
Seperti yang tersirat dalam buku ini, kita sebagai manusia tidak bisa mendapatkan semua yang kita inginkan. Kita adalah manusia yang telah mendapatkan jatah hidupnya masing-masing. Baik itu senang, sedih, hancur semua dibagi dengan porsinya masing-masing. Keserakahan hanya membantu kita menuju kehancuran.
Selain hidup, permasalahan juga adalah terminal. Permaslahan akan datang lalu pergi, aka nada yang mengantarkannya kepadamu dan dibawa pergi, oleh siapa? Siapa lagi kalau bukan dirimu sendiri.
Komentar