MEMBACA PERUBAHAN

  • By I Nyoman Wirata
  • 05 November 2021
Foto: Tut Sugi

Pendahuluan

Gerakan literasi menumbuhkan kemampuan membaca perubahan. Tantangan berinovasi dan eksplorasi memproduksi tema dan  makna estetik dalam penciptaan karya sastra dimulai dari sikap keritis. Pembaca yang cerdas menuntut penulis kreatif. Hubungan pembaca dan penulis menimbulkan ketegangan dan kegelisahan kreatif.

Realitas sosial adalah ladang luas menjadi permenungan menjadi tema karya sastra.  Gerakan inovatif dan eksploratif menuntut suatu tindakan yang intens memahami khasanah yang ada, budayanya, perubahan sosial, untuk  dianggakat menjadi sebuah tema. Harus ada kemampuan membaca dan menafsir ulang guna melahirkan tema yang variartif. Tapi ada yang bertanya:” Apakah sebuah puisi hanya berhenti pada tema estetika minus pencerahan? Wahai penyair ”Kunanti jawabanmu”, meminjam judul lagu lama di tahun 60-an.

Tema karya sastra modern Bali sangat variatif. Sekilas pra80-an sikap nasionalis masih terasa menjadi beberapa tema puisi. Selain tema politik. Tidak ada dominasi tema seperti perkembangan sesudah 80-an dengan semangat kembali ke akar kultur. Khasanah sastra dan kehidupan Bali menjadi perhatian dalam menampilkan tema puisi. Keadaan itu karena adanya dorongan semangat   untuk membaca dan menafsir ulang berupa tertulis maupun yang hidup sebagai sebuah nilai budaya.

Tumbuhnya tema yang variatif dalam puisi modern Bali karena beberapa hal.

          Teks tak lagi  berada di ruang dengan pintu tertutup

          Akses untuk menemukan teks makin terbuka. Dibaca langsung. Teks pernah berada hanya dalam wilayah komunitas tertentu. Seperti berada di ruang dengan pintu tertutup. Ini melahirkan agen-agen penyalur makna dari sebuah  teks termasuk pada kitab suci. Seorang dalang menafsir Ramayana dan masyarakat penonton  menerima hasil penafsirannya. Pragina atau seniman panggung sebagai penafsir menghasilkan hal serupa. Ada makna tunggal dari hasil penafsiran itu. Kemungkinan lain sisi penting dari teks mudah luput. Makna “gelap” kadang  berlum terjamah. Demikian pula kitab suci, sejarah atau babad mengalami hal serupa. Mengapa terjadi konflik, adalah karena adanya penafsiran tunggal. Teks tidak mudah didapat untuk dibaca langsung. Hanya terbatas pada lingkungan komunitas, tidak menyebar ke masyarakat dan ketakmampuan dan ketakutan menafsir ulang.

          Ketika orang mengatakan karya sastra bertolak dari realitas ke imajinasi maka jelas kehidupan sosial budaya menjadi menarik di situ dijadikan titik tolak. Realitas sosial tak berhenti pada perjumpaan melahirkan tema juga gaya ucap. Contoh karya puisi magis terpengaruh oleh mantra adalah sisi lain di luar tema hasil pemahaman terhadap nilai budaya. Inilah sumber tema dari karya sastra modern Bali. Sekalipun tak sesemarak dalam bentuk prosa, khususnya cerpen.

          Membaca perubahan

          Perubahan dari masyarakat agraris ke industri, banyak yang diungkap dalam tema puisi. Paling banyak dalam bentuk cerpen.

Industri pariwisata berhadapan dengan adat dan budaya. Kasus pesisir yang dikuasai investor menjadi karya bertema kritik sosial. Di luar masalah  tadi tradisi beragama, kasta, gaya hidup, hubungan antar personal, bahasa, arsitektur dan lain-lain menjelaskan betapa kaya, rumit dan unik kehidupan sosial budaya Bali. Dan ini memerlukan kemampuan membaca perubahan.

          Sebuah otoritas

          Kesadaran memiliki sebuah otoritas telah memperkaya tema karya sastra modern Bali. Dalam membaca perubahan misalnya. Banyak sekali tema muncul mengikuti perkembangan. Termasuk konflik. Jika tanpa kesadaran memiliki sebuah otoritas akan tetap menjadi sebuah tontonan. Bisa jadi mudah muncul karya “ Moi Bali”(meminjam istilah “Moi Indie” dalam perkembangan seni lukis Indonesia). Artinya hanya menyasar eksotiknya Bali.

Banyak yang dianggap sensitif, seperti kasta yang mudah menimbulkan konflik. Ada yang Isoterik dan dianggap tabu. Semuanya kemudian terbuka untuk dibaca dan ditafsir ulang memperkaya tema. Dengan demikian teks bergerak menjadi kontekstual.

          Kembali ke akar kultur

          Kesadaran melihat kembali nilai lokal, kultur setempat di tahun 80-an adalah PR (Pekerjaan Rumah) bagi penulis muda yang mengaggap Umbu Landu Paranggi (alm,06.04.2021) sebagai guru. Di rubrik sastra koran Bali Post selalu muncul tulisan kritis dengan tema kehidupan sosial budaya masyarakat setempat. Juga berupa puisi. Di samping itu puisi-puisi magis dan dengan konten Bali banyak tumbuh dari penyair muda saat itu. Kembali ke akar kultur penekanannya merevitalisasi termasuk “kitab suci”. Ini berjasa menumbuhkan tema yang variatif.

Umbu seperti menyadarkan bahwa tradisi adalah sumber pengetahuan dan inspirasi. Dia mengembangkan sebuah tradisi dialektika. Dalam istilah yang berbeda hal serupa sesungguhnya juga menjadi perbincangan di tingkat nasional. Misalnya dalam Forum 10 Penyair Indonesia dan Forum Penyair Muda Indonesia di tahun 80-an yang saya hadiri, muncul gagasan “Kembali Ke Timur”. Saat itu orang-orang bicara tentang Indonesia surplus penyair dengan selera berseloroh mengatakan seolah-olah penyair akan masuk sorga karena menulis puisi religius, agamis yang bertebaran di koran. Produktifitas mudah mengarah pada steriotips.

          Dalam buku puisi “Blengbong: Sajak-sajak Penyair Pos Budaya” (2021), ketika saya merespons ke bentuk sketsa, tema puisi sangat variatif. Beberapa buku puisi banyak tema bersumber dari sosial budaya Bali dengan presentasi yang utuh atau terselip sebagai  penajam.

          Dengan demikian dapat dikatakan, kegelisahan kreatif sejak semula telah dibangun dengan mencoba berpijak pada nilai akar kultur sebagai cara pengembangan kreativitas dan penemuan kutub-kutub baru melalui inovatif, eksploratif. Bahasanya Umbu, melihat ke diri. Dalam hal ini keunikan Bali patut ditoleh untuk menggali tema yang variartif, menuju karya yang tak sekedar estetik.

          Kesimpulan

          Tematik dalam karya sastra modern Bali: inovatif dan eksploratif  terbangun melalui:

          1)Gerakan literasi yang menumbuhkan pembaca yang kritis. Tidak menerima teks apa adanya tapi dibaca dan ditafsir ulang untuk memperoleh makna lebih luas. Ini sebuah tantangan melakukan inovasi dan eksplorasi melahirkan tema yang variatif.

2) Teks tak lagi berada di ruang dengan pintu tertutup karena makin banyak orang memiliki akses langsung membaca dan lebih banyak memproduksi makna sehingga melahirkan tema yang variatif.

3) Kemampuan membaca perubahan dalam masyarakat yang terus berubah. Ini memberi ruang melahirklan tema inovasi dan eksplorasi berkelanjutan.

4) Kesadaran memiliki sebuah otoritas guna meresepsi  sebuah teks baik yang tertulis maupun bentuk kehidupan melahirkan tema yang variatif.

5)Kembali ke akar kultur merupakan sebuah gerakan melihat kembali kekayaan budaya dalam membangun tema yang variatif melalui eksplorasi dan inovasi.

                                                    Denpasar,20 Oktober 2021.


TAGS :

I Nyoman Wirata

I Nyoman Wirata lahir di Denpasar, 19 Desember 1953. Puisi dan cerpennya tersebar di media massa lokal. Di tahun 80-an Umbu menulutkan kesadaran tentang kembali ke akar kultur.Berangkat dari kesadaran itu a meresepsi Tembang Basur  menjadi Kisah Cinta Sokasti di Hutan Basur berupa naskah buku dan mendapat penghargaan dalam lomba naskah buku antarguru tingkat nasional. Dengan judul sama, dalam bentuk puisi, masuk dalam buku 60 Puisi Terbaik Indonesia 2009. Novel Balian Bantiran Bedag Poleng sebagai novel terbaik se-Bali, juga terkait dengan Basur.

Komentar