Lima Puisi Herry Wijaya

  • By Herry Wijaya
  • 07 Maret 2021
Pexels.com

Rumahku


Rumahku kini tak berpintu dan berjendela
biarlah, dengan begitu aku bisa melihatmu kapan saja
dan mengundangmu bercengkerama tanpa waktu.
Juga tak ada lagi sudut maupun dinding
yang membatasku mengingatmu
bagi kau mengawas sesetiap.

Di halaman tak seberapa luas
telah kutanam hidup yang perlu
dan aku bersyukur karena engkau diam diam
menumbuhkannya dan memberi buah tepat musimnya
sekalipun aku tak pernah berdoa memintanya
untuk anak anak yang merindukan buah sulung pertama.

Dalam hening malam, bulanmu tersangkut  
di atas bubungan rumah, membaca pikiran tersimpan
dan dalam ketetapanmu menjadi puisi kehidupan
yang maknanya baru kumengerti kemudian hari
dan aku tidak pernah menyesalinya.

Aku tahu rumahku kelak menjadi tua
tiang tiang akan merapuh dan condong
ruang demi ruang tak akan kukenal lagi
dan akhirnya terhampar bersama debu
tempat di mana aku berasal.

Jika waktu berhenti dan rumah ini dibongkar
kiranya setiap ingatan atas rumah dengan
orang yang Kau beri untuk mencinta dan dicinta
tidak diambil dari padaku.

                                    Manado, Pebruari 2019

 

Rumah Kita


Dayu, tahukah kau?
sejak mulanya rumah kita telah bersebelahan
jika hujan berderau di pelataranmu
ia sampai juga di berandaku.
jika matahari timur menghangatkan kamarmu
senja hari ia bertandang di ruang tamuku
dan kita membagi ceritanya tanpa risih.

Malam hari ketika engkau menutup jendela
sekalipun tertawan lelah seharian
dan anak anak kita berselisih karena air
kau memberiku salam dalam tatapan
semoga kegembiraan dan berkah kehidupan
memenuhi hari hari kita.

Dayu, tahukah kau?
sejak mulanya rumah kita telah bersebelahan
antara rumah kita, ada pagar membatasinya
tetapi tidak dengan jiwa dan hati kita.
di depan ada jalan tiga depa
jalan kita bersama menyongsong kehidupan.
atap rumah kita, ada rumbia menutupinya
tetapi tidak dengan mata kita.
warna rumah kita  berbeda
seperti yang nyata dari pikiran-pikiran kita.
dan bergantian kita meronda tiap sudutnya
memastikan tiap mimpi menuju jalannya
kegembiraan yang tak dirampas.

Hari hari berlalu,  rumah kita makin tua
gurat gurat kayu memantulkan hikmatnya
cat buram menarasikan kisah manis getir
pintu dan jendela makin berderit sukar ditutup
dan guncangan anak tangganya meyakinkan
bahwa kita telah makin mengerti dan dewasa.

                                    Manado, Maret 2019

 

Sabana Sentani


Haruskah ragu pada tulus kemarau
jika pagi setia membagi embun
meniup matahari menuju langit
tanpa lupa menyapa malam lewat.

Hari hari pergi seperti daun gugur
tak diingat pun dicatat
layak bunga rumput di sabana
sehari tumbuh lantas meranum
sekejap retas dalam santap kuda liar.

di tengah bentang megah ilalang
betapa kecil tengadah ke biru langit
gugusan awan misteria di baliknya
meninjau jati diri – siapakah manusia?
 
Sementara lengan masih saja tergulung
terayun ingin menyeberang
berlayar ke laut hadirat tanpa arah
menyingkir ke barat dan timur
untuk kerumitan yang tak pernah habis

                               Manado, Juni  2019

 

“Deus de Amor”

Biarkan aku meminangmu
Karena dadaku adalah telaga
tempat berkeriapan anak anak kehidupan.
Tak perlu malu dengan gelap bayang dirimu
karena ia adalah buah kejujuran
dan aku tak perduli dengannya.

Mari, relakan kudekap
untuk kering kemarau di hatimu
agar basah nafasku meresap di tiap rongga
dan jiwaku menyatu dengan gundah bertahun
Karena aku laut tak pernah lelah
mencintai pantai sekalipun
pesan buihnya tak pernah dibaca.

Kutahu hari harimu berlalu
seperti tirai hitam tergulung
sungsang kusut tak berujung
dan hatiku terus saja galau
padahal nyata kau telah kubayar lunas.

Mari, datang dan mendekatlah
karena aku adalah dermaga
nahkoda untuk jiwamu
jalan pulangmu di keabadian.

                     Manado, 2019.

 

Tangga dari Langit

Tangga ini terjuntai dari langit,
jika engkau ingin melihat jalan pulangmu;
engkau harus menaikinya dengan ketulusan anak.
Tidak penting seberapa puitis kasar tajam
dan tandasnya kata-katamu,
sebab kata-kata kerap tidak menggambarkan hati;
kata-kata bersayap - sukar bagimu menggenggam dan mengendalikannya.
Hatimu melebihi kata-kata,
karenanya lebih baik engkau kehilangan kata
daripada kehilangan hati.

Tidak penting seberapa legam tanganmu,
karena legam tidak selalu hitam.
Lenganmu harus tangguh,
tapi kau tak berkuasa atas lenganmu
dan tanganmu tak dapat menolongmu.

Kepada siapa engkau percaya itu penting,
bahkan dalam keteguhan hatimu yang paling kuat
kadang hati dapat menipu.
jika terjadi, maka itu tak mengubah siapa yang kau percaya.
Tetaplah percaya sekalipun engkau berada dalam jurang keraguan;
pun ketika engkau mengetahui dirimu seperti uap di hadapanNya.

Namun ketika engkau mengetahui jati dirimu,
maka itu bukan karena kuatnya kata-katamu;
tangguhnya lenganmu; pun bukan karena kokohnya hatimu.
kata dan hatimu tak dapat mengendalikan atau menguasaiNya.
Tanganmu tak dapat menjangkauNya;
Kedalaman ketakjuban kasih karuniaNyalah yang memungkinkan.

                                                                      Manado, 2013


TAGS :

Herry Wijaya

Nama lengkap, Ida Bagus Herry Wijaya. Lahir di Bandung. Menulis puisi sejak di SMA. Berjenjang puisinya dimuat di Bali Post Minggu di era Umbu (80an), mulai dari Pawai, Kompetisi, dan Pos Budaya. Ikut serta dalam Antologi Puisi “Saron” (:2018); yang digagas Jatijagat Kampung Puisi Denpasar, Bali; Toya Bungkah Literaly Festival 2019; juga Antologi Puisi Dari Negeri Poci 9 “Pesisiran” (2019). Saat ini menetap di Manado.

Komentar