Mentari Belum Tenggelam

  • By IBW Widiasa Keniten
  • 16 Februari 2021
Pexels.com

Remaja itu menatap mata hatinya. Ada suara lirih terdengar. “Ibu kenapa harus membagi cinta? Tidak cukupkah cinta ibu pada ayah saja? Kenapa mesti membaginya lagi, sedangkan aku rindu cinta darimu?” Gadis manis itu menanyakan kehidupannya sendiri. Ia tapaki kehidupan bersama adiknya. Ayahnya telah lama pergi menghadap Sang Pemilik Ruh. Tapi ibunya tak kuasa mengendalikan libidonya. Meninggalkannya mencari kenikmatan semunya.

            Ia jalani hidup dengan beragam liku-likunya. Ia pandang matahari setiap senja. “Oh mentari belum tenggelam. Harapanku masih ada. Tak ada yang tak bisa diraih di semesta ini. Aku harus bangkit. Aku harus tunjukkan pada semesta bahwa hidup mesti diisi denga semangat bukan dengan keputusasaan.

            Pagi-pagi, gadis remaja itu sudah bangun. Ia bantu pamannya yang sebagai penjual daging ayam di pasar. Ia merasa bersyukur pamannya masih bisa menghidupinya. Ia tahu hidup pamannya juga susah, lebih-lebih pamannya juga punya anak yang hampir seusia dengannya. Ia tetap bertekad hidup tidak perlu ditangisi. Hidup mesti lebih baik dari hari ini. Hari ini bukan kemarin dan esok adalah harapan. Ia tak ingat lagi pada ibunya yang tega meninggalkannya saat ia membutuhkan kasih sayang. Hanya doa yang terucap dari bibirnya. “Ayah, jika ada waktu, doakan juga anakmu biar bisa mengisi hidup. Aku ingin mewujudkan cita-cita ayah menjadi pekerja yang ulet dan berpegang teguh pada kejujuran.”

            Sebelum meninggal ayahnya sempat menanyakan ,”Setelah besar mau jadi apa, Nak?”

            “Mau kerja di hotel. Tantri mau ke luar negeri. Mau kerja di eropa.”

            “Wah mantap. Tapi, harus lancar bahasa Inggris. Harus terampil. Di luar negeri harus bisa mandiri. Berarti Tantri akan meninggalkan ayah nanti.”

            “Tidak Ayah. Khan bisa pulang sewaktu-waktu.”

            “Benar juga. Tapi ingat tak boleh lupa dengan kawitan. Leluhur itu akan mengikuti kita. Buatlah kawitanmu berbahagia dengan tetap bersemangat untuk belajar.”

            “Tentu ayah.”

            Kematian memang penuh misteri dan itu pasti. Tidak bisa direncanakan dan tidak bisa ditentukan. Hanya orang-orang berhati suci yang bisa menentukan kematiannya. Ayahnya meninggal karena gagal ginjal. Hampir tak ada yang tersisa dalam hidupnya. Ibunya tampaknya masih memuja tubuhnya. Ia tinggalkan kedua anaknya yang masih mengharapkan cinta dari seorang ibu. Hidup tanpa kasih sayang kedua orang tua. Hidup dengan belas kasihan paman. Inilah yang dilakoni Tantri sepanjang hari.

            “Besok, bawakan langganan paman ayam yang sudah dibersihkan. Usahakan agak pagi, katanya untuk persembahan.”

            “Baik Paman.” Tak ada kata menyerah bagi seorang Tantri. Ia tetap terseyum karena ia yakin mentari belum tenggelam hari itu.

            Ia lakoni kehidupan bersama pamannya. Dari sekolah dasar sampai sekarang ke jenjang menengah. Semangat belajarnya ia bangkitkan terus. Jika merasa kurang waktu belajar, di sela-sela kesibukan gurunya ia mintai bantuan untuk membimbingnya. Ia ingin mewujudkan cita-citanya dan harapan ayahnya.

            “Tantri gimana  sudah sempat praktik bahasa Inggris?”

            “Terima kasih Bu. Semoga lebih baik dari sebelumnya.”

Wali kelasnya perhatian padanya. Anak-anak didiknya hampir semua dikenalnya. Termasuk anak-anak yang broken home. Ia tahu beragam penyebab brokem home. Rata-rata karena tidak merasa bahagia dengan pasangannya. Padahal, yang dikejar juga semu. “Ah manusia memang tak pernah puas. Apa dikira membagi cinta itu akan bahagia? Jangan-jangan suamiku juga begitu.” Guru itu menjadi ngeri juga. “Ah tak mungkin. Kukenal sedari awal.” Guru itu menghibur diirinya.

            “Bu guru nanti setelah tamat, saya mau kerja dan sorenya mau kuliah lagi di perhotelan. Saya mau keluar negeri.”

            “Mantap. Tapi jangan lupa dengan Bali.”

            Gadis manis itu kaget.”Bu guru, kok sama seperti pesan ayahku dulu.”

            “Kenapa?”

            “Kalau keluar negeri ingat dengan kawitan. Memangnya saya ini ada tanda-tanda lupa dengan kawitan?”

            Guru itu tersenyum.”Bukan itu maksudnya, Nak. Bangau terbang tinggi, ia ingat juga pada lumpur. Artinya, setelah berhasil di negeri orang ingatlah selalu pada leluhurmu. Karena kawitanmu itulah yang menyebabkanmu ada di dunia ini. Wujud syukur kita pada leluhur dengan selalu menjaga harapan-harapan mulia dari leluhur. Syukurlah kalau sampai bisa mewujudkannya.”

            “Terima kasih Bu Guru. Saya permisi dulu. Ini ada pesan dari paman disuruh mengantarkan ayam ke tetangga.”

            Keceriaan tetap terpancar di wajah gadis itu. Satupun tak pernah terucap kata mengeluh apalagi menyalahkan kehidupan. Ia langkahkan kakinya menuju masa depannya. Ia hitung detik-detik kehidupan. Ia jalani kehidupan dengan cinta. Ia syukuri masih bisa menikmati hidup hari ini.

            Ujian ia lewati dengan manis. Ia menjadi tamatan terbaik. Hotel tempatnya praktik beberapa bulan lalu, telah menjemputnya untuk bekerja di sana. Wajahnya penuh ceria. “Ayah. Ini langkah awal untuk mewujudkan harapan ayah. Aku, Tantri tak mau menyerah lagi ayah. Ayah tak usah bersedih lagi. Adikku akan menjadi lebih baik dari Tantri. Jika nanti Tantri bisa ke luar negeri, akan Tantri bawakan oleh-oleh dari Paris. Bukankah ayah ingin oleh-oleh dari sana?” Gadis manis itu menanyai dirinya sendiri.

            Ia tinggalkan halaman sekolah. “Terima kasih Bapak, Ibu Guru sudah menjadikan Tantri seperti sekarang ini.

            “Mari naik ke mobil, Nak. Sudah ditunggu dari tadi.”

Ia terkejut saat melihat ibunya ada di dalam mobil.


TAGS :

IBW Widiasa Keniten

Ida Bagus Wayan Widiasa Keniten lahir di Giriya Gelumpang, Karangasem. 20 Januari 1967. Lulus Cum Laude di Prodi Linguistik, S-2 Unud 2012. Tulisan-tulisannya tersebar di berbagai media massa berupa esai, karya sastra maupun kajian bahasa dan sastra baik dalam bahasa Indonesia maupun bahasa Bali. Cerpen-cerpennya pernah memenangkan lomba tingkat Nasional maupun provinsi.

Komentar