Siwaratri Perjalanan Mencari Tuhan

  • By IBW Widiasa Keniten
  • 10 Januari 2021
PHDI

             Siwaratri sebagai hari raya Hindu memuja Tuhan dalam manifestasinya sebagai Dewa Siwa. Siwaratri memberikan ruang pada umat Hindu lebih mendekatkan diri pada Dewa Siwa. Dewa Siwa adalah penyebab pertama dari alam semesta (Ṥrī Ṥwāmi Ṥiwananda, 2003). Siwaratri diperkuat lagi dengan adanya kisah Lubdaka (Nisada) dalam kekawin Siwaratri Kalpa. Kisah Lubdaka mencari Siwa selalu menarik untuk dikenang dan dihayati. Lubdaka seorang Nisada yang belum mendapatkan karunia Dewa Siwa terus berupaya mencari jalan pencerahan (jagra). Pencerahan ditemukan saat Panglong ping empat belas sasih Kapitu (sekitar Desember-Januari) yang pada tahun 2021 ini jatuh pada hari Selasa, 12 Januari 2021 (Anggara Pon, Klawu). Bulan Tilem (bulan gelap), puncak gelap alam semesta, justru Lubdaka mendapatkan pencerahan. Apakah ini yang sering diperbincangkan oleh tetua yang menggeluti dunia spiritual bahwa di dalam kegelapan jiwa hendaknya ada sinar penerang, cahaya kesadaran.. Siapa sinar itu? Tetua akan menjawab atma. Mengapa atma, karena atma sebagai percikan terkecil dari Paramatma.

            Perjalanan demi perjalanan yang dilakoni Lubdaka tentulah tidak sekali dua kali. Ia berlangsung selama hidupnya. Berlangsung selama prana ada dalam tubuh Lubdaka. Lubdaka yang tiada lain adalah kita yang sedang mencari hakikat sang sejati. Tidak cukup dijalani dengan satu atau dua langkah. Mpu Tanakung mengilhami perjalanan Lubdaka yang berburu sampai kepuncak gunung. Gunung sebagai simbol lingga. Lubdaka mempersembahkan daun bilwa sebanyak 108 buah pada lingga Dewa Siwa. Pencarian puncak gunung tidaklah mudah. Perlu pendakian, perlu keyakinan, perlu ketulusan untuk mendekatkan diri kepada Pemilik Ruh ini.

            Lubdaka tanpa henti mencari Itu (Tat), pengarang menggunakan kata kebiasaannya berburu ke puncak gunung dengan beragam tantangan yang harus dihadapi. Lubdaka tidak pernah menyerah. Keyakinan akan kebesaran Dewa Siwa. Dewa Siwa pun memberi karunia. Lubdaka bisa melepaskan keterikatan karma-karma yang melekat dalam dirinya setelah berhadapan dengan Sang Kala Mretiu (Dewa Kematian). Siwa memberikan tempat untuknya di Siwaloka.

Siwaratri Kalpa dan Arjuna Wiwaha

            Dua kisah pertemuan dengan Dewa Siwa bisa disimak dalam Siwaratri karya Mpu Tanakung yang menokohkan Nisada seorang jelata yang papa. Yang sama sekali tanpa ada pretensi apapun bisa bertemu dan mendapatkan anugerah Dewa Siwa. Ini sebuah kisah yang amat menarik karena siapa pun yang tulus ikhlas memuja Dewa Siwa akan diberikan anugerah. Kesucian pastilah sebagai landasan agar bisa bertemu Dewa Siwa. Tanpa itu mustahil. Kesucian hanya bisa didekati dengan kesucian. Panglong ping empat belas sasih Kapitu dipilih oleh Dewa Siwa menganugerahi pemuja-Nya.

            Jika Siwaratri menokohkan Lubdaka, pemuja papa. Arjuna Wiwaha karya Mpu Kanwa sebaliknya. Arjuna sebagai adik dari Dharmawangsa diberikan tugas mencari anugerah panah Pasupati Sastra, dengan Cadhusakti (kemahakuasaan Sanghyang Widhi Wasa). Jika dalam Arjuna Wiwaha ada tujuan tertentu agar bisa memenangkan perang (Bharata Yudha). Halikat perang dalam diri inilah yang ingin dimenangkan, makanya pengarang menggunakan dialog arjuna menuliskan bahwa, bahwa ia bertapa mengabdi pada Dharma (hana pinaka kakangkwa Sri Dharmawangsa karengo, Sira ta pinatapaken). Arjuna tokoh yang cerdas dengan latar belakang pendidikan yang mumpuni, berguru pada Bhaghawan Drona, sedangkan Lubdaka hanya berguru pada alam perburuan. Singa, beruang, gajah, lebatnya hutan, indahnya gunung itulah sebagai sarana belajarnya.

            Arjuna sebelum mendapatkan anugerah perlu berperang terlebih dulu dengan Dewa Siwa setelah diyakini bahwa yang dihadapi bukan pemburu biasa, Arjuna menjadi sadar. Sebuah kisah yang menghadirkan pemburu. Dewa Siwa sebagai pemburu dalam Arjuna Wiwaha. Sebaliknya dalam Siwaratri Kalpa Lubdaka sebagai pemburu. Jika dicermati, sebuah pencarian Siwa dengan berburu. Berburu kesadaran, berburu kebenaran akan hakiki Tuhan.

            Kedua kekawin ini memuliakan Dewa Siwa yang memberikan karunianya pada pemujanya yang sejati. Pemuja yang dengan kesadaran dan ketulusan akan diberikan pencerahan. Kesadaran akan Siwa setiap hari inilah yang perlu ditumbuhsuburkan selama ruh masih bersama di dalam tubuh.  


TAGS :

IBW Widiasa Keniten

Ida Bagus Wayan Widiasa Keniten lahir di Giriya Gelumpang, Karangasem. 20 Januari 1967. Lulus Cum Laude di Prodi Linguistik, S-2 Unud 2012. Tulisan-tulisannya tersebar di berbagai media massa berupa esai, karya sastra maupun kajian bahasa dan sastra baik dalam bahasa Indonesia maupun bahasa Bali. Cerpen-cerpennya pernah memenangkan lomba tingkat Nasional maupun provinsi.

Komentar