Sajak-sajak Covid-19 I Wayan Kerti

  • By I Wayan Kerti
  • 25 November 2020
Radar Bali

Ketika Dia Bicara pada Kita


Dia sedang bicara pada kita
tentang kesombongan dan nafsu angkara
tanpa-Nya, kita hanyalah
setumpuk daging yang bernafas

hampa …

dan akhirnya, kita dipaksa terjaga
buka mata, buka telinga
memaknai kebesaran-Nya
pada setiap helaan nafas
jika Dia berkehendak …
logika dan kejumawaan teknologi
tak mampu jua menandingi

hidup tak lagi sejalan dengan teori
teknologi dan akal budi

mari peti mati jadikan suluh diri!

 

Karpet Merah Tuan CORONA


Karpet merah yang kau bentangkan, Tuan
dari Arkik ke Laut Tengah
dari Atlantik sampai Ural
menebar bau amis
hingga menutup rapat wajah-wajah mereka

Karpet merah yang kau bentangkan, Tuan
dari Arkik ke Laut Tengah
dari Atlantik sampai Ural
membawa bayang-bayang malaikat
hingga menutup rapat rumah-rumah mereka

derai canda dan tawa
dari sudut-sudut kota hingga pelosok desa
sirna ditelan aroma tanpa rupa

nyanyi pilu menjadi orkestra
yang menyenandungkan kidung nestapa
meluruh wajah tanpa dosa
kehilangan rona
Sekolahku Berubah Warna

Sekolahku berubah warna
menjadi abu-abu
saat guru tak cukup ilmu
mengurai sistem pembelajaran baru
dalam bayang-bayang semu

Dimanakah mutu itu?
Jangan kau tanya itu
semua memang semu

Pintu hanya membisu
menanti tangan-tangan mungil itu
membuka dengan canda-tawa

 

Menata Diri


bumi sedang menata diri
ombak menikmati sepi
pepohonan melepas polusi
burung justru riang bernyanyi
mencoba tuk mengeja tanda
alam menata diri tuk bahagia

berdiam diri
bukan berarti mati
diam adalah nyawa
rumah adalah istana
tuk melukis kisah tentang langit biru

ketika mentari membersit kembali
kita coba menata diri
bersatu tuk bangkit melawan pandemi

dan kita pasti kan kembali
menatap senyum mentari

 

Maret yang Menjelaga


Aku mulai kehilangan rasa
Pada Maret yang menjelaga

Terik cahaya mentari
Riuh jalan raya
Dan dering bel sekolah
Tak lagi berasa dan mengglitik di telinga

Duniaku, rumah tak berpintu
Senyap menyusupi jendela
Lentera menjadi saksi bisu
Pandemi yang menerali diri

Sekolahku hening bergeming
Ilalang tumbuh liar di sudut-sudut kelas
Membagi cerita tanpa dosa
Meja-kursi berdebu tak tersapu
menjelaga menusuk rupa

 

Tanpa Tanda Kasat Mata


bersama hembusan angin
Kau datang menghanyutkan raga
dalam alun laut tak bernada
siksa neraka

tak kasat mata,
tak ada tanda
membayangi raga
mengubah wajah semesta
menyepi di keresahan jiwa

bersama doa sunyiku
kembalilah bertahta di jagatmu
hilangkan bayang-bayang ajalmu

bersama api cintaNya
basuhlah luka jiwaku
hapuskan noktah kebencianmu

aku ingin kembali
melihat sanak famili
tersenyum di jendela hati

 

Covid-19


Covid-19 adalah badai
bencana yang terurai
Ia tak mengintai, tidak jua menilai
sang menara gading atau si jelata yang papa

hadir tak bersuara
tanpa tanda, tanpa aba-aba
entah seperti apa kau berupa
menyerang imun jiwa
mengakar ke dalam sukma

seperti pohon purba
dedaunnya luruh meratap di setiap negeri
rerantingnya patah merintih nyeri
lalu tumbang menutupi bumi

Covid-19 adalah badai
yang maha ngeri
bayang-bayang maut yang menari-nari
kepada mentari kuberserah diri
tuk melepas bayang-banyang kelam
hingga bulan tersenyum pelan
mengintip kembang yang mulai mekar di taman

dan daun-daun yang luruh
tumbuh kembali pada kehendak Sang Pemilik Waktu

 

Bali yang Kembali


Pandemi melanda negeri
mengubah wajah Bali
kembali ke jati diri

Nusa Dua yang pesolek
sunyi tak berpenghuni
hanya wajah-wajah muram yang tergurat
merenung pada Yang Agung

Pantai kuta yang selalu dirindu mengintip binar mentari
lusuh tanpa pesona
dan aroma vodka, wiski bersimbah di bibir-bibir pantai
Desing musik di kafe-kefe, di diskotik-diskotik
tergadaikan pada alunan ombak dan nyanyian anak-anak pantai
yang riang mendapatkan ruang

Ombak Sanurku yang mendayu
Mengalunkan nada-nada sendu sang pemuja tamu
tenggelam dalam kesedihan dan kesunyian

Hiruk-pikuk kota dan jalan raya
mulai sepi ke asal mula
Kaum urban mulai berdendang
“aku kembali pulang, bersawah ladang”

Baliku telah kembali ke jati diri

 

Baliku Tenggelam?


Surga itu begitu memesona
memancar ke manca negara
hiruk-pikuk sang pengelana
mendamaikan jiwa, memanjakan raga
di pulau surga

Sang pramuwisata begitu memuja
lakon sang pengelana
demi gemerincing dolar di pelupuk mata
harta adalah tahta yang dipuja-puja
hingga lupa akan jati diri

Sang kuasa juga terlena
terninabobokan harta dunia
dari gemerlap pariwisata
lupa jua akan jati diri

kini, ketika pandemi
mengabut negeri
semua pada gulana
tak terbiasa akan asal mula
jati diri dan tradisi

semua lenggang, luruh berguguran
menanti yang tak pasti
kapan kan kembali?

 

Titip Rindu Buat Anak-anakku


Anak-anakku, lama nian kita tak bertemu
Ruang-ruang kelasmu berdebu
Mungkinkah berhantu
Ketika tak pernah dibuka, apalagi disapa?

Mereka membisu menjadi saksi pilu
Kisah pandemi tuan CORONA
yang menguncimu, menguncinya
di balik pintu

Anak-anakku, lama nian tak kudengar canda-tawamu
Telingaku rindu di antara tegur sapamu
yang kadang sumbang, kadang merdu
di beranda-beranda kelas kita
di halaman kelas kita yang berbunga-bunga

Anak-anakku, lama benar tak kulihat corat-coretmu
Berkisah tentang pikir, rasa dan karsa
pada lembaran kertas atau bilah papan
yang menggantung lapang di dinding sekolah kita

Anak-anakku, aku rindu akan wajah-wajah polosmu
merajut kisah dan harapan di bilik-bilik kelas pengharapan

 

Menanti Januari


Ketika bulan beringsut, musim kan berganti
dedaunan yang luruh mulai tumbuh
ranting yang patah mulai merekah
tunas-tunas muda mulai merenda asa
    
Pada Januari kuberharap
kan mulai babak baru
membuka pintu dan jendela kelas
menyapu debu malaikat maut
dari batin kita yang tersekat

Setelah sepuluh purnama merana
kerinduanku padamu menanti Januari
tuk bertatap dan bercakap
lalu berdendang beradu pandang

Kita tak boleh menyerah
kita tak boleh kalah
kita mesti melangkah pasti
menanti di bulan Januari


TAGS :

I Wayan Kerti

I Wayan Kerti, guru Bahasa Indonesia di SMP Negeri 1 Abang mengekspersikan kondisi pandemi Covid-19 dalam bait rasa dan kata yang dirangkai menjadi baris-baris puisi-puisi masa pandemi.

Komentar