BEGITULAH DALANG BERCERITA

  • By DG Kumarsana
  • 14 Oktober 2020
Pexels.com

            Hari ini Arjuna sibuk sebagai juru foto acara pernikahan teman karibnya, Arimbi. Temannya ini baru menemukan jodoh setelah selama bertahun-tahun sibuk dalam kehidupannya belajar dan belajar. Sekolah terus sekolah. Kuliah sampai tua. Kalau bisa semua gelar ingin dia raih. Karena nanti ketika mati, dia ingin di akherat kedudukannya jauh lebih tinggi dibandingkan di dunia nan fana ini. Itu yang ada dalam pikirannya sekaligus juga menjadi falsafah hidupnya.

            “Ah, kalau mati, ya mati, Nggak ada urusan lagi mau bawa harta atau hutang. Mau berhitung kontribusi pengabdianmu pada atasan ataupun pengkhianatan dengan cara korupsi di institusi. Apalagi berat-berat bawa titel alias gelar, ndak ada artinya semua itu. Bah. Ada-ada aja kamu!” Arjuna nguliahin temannya yang menurut dirinya itu terlampau bego cara berpikirnya. Tapi kalau menurut Arimbi justru Arjunalah yang bego. Entah mana yang benar. Karena kalau menurut pemikiran Arjuna, mengikuti pelatihan keterampilan itulah yang paling penting. Ini juga karena lulus dari sekolah kejuruan (sekarang SMK), Arjuna benar-benar berhasil memanfaatkan ilmunya. Jadi semua jenis ketrampilan dia ikuti, di manapun tempatnya selalu dia buru. Terakhir dia sempat nyangkut di Hiroshima, tak beberapa lama nyangkut di Shanghai. Tahu-tahu entah bagaimana ceritanya malah sempat terlihat di Sekarbela. Dan terakhir malah terdampar di Sekotong ramai-ramai dengan warga yang lain ikut masuk terowongan memburu emas.

            Gerak-gerik Arjuna memang sering mengejutkan kalau menurut pandangan Arimbi, tapi kalau menurut Arjuna, Arimbi itulah yang aneh. Karena apa yang dia lakukan adalah sesuatu yang selalu berkonotasi pada hal-hal finansial.

            Kini Arimbi telah menemukan jodohnya yang tepat. Semoga berbahagia, demikian teman-teman memberi ucapan selamat. Jodohnya yang tepat memang di sini. Itu karena Arjuna yang menjodoh-jodohkan temannya. Sementara Arjuna sendiri malah tidak memikirkan dirinya, kapan dia akan menemukan pasangan hidupnya. Karena saat ini dia lagi sibuk memburu harta karun. Bukit-bukit yang ada di wilayah Sekotong dia lubangi semua bersama teman-temannya. Tidak peduli larangan Pemerintah. Tidak peduli bukit-bukit itu menangis. Tidak peduli senjata menghadang, tidak peduli  suara letusan pistol yang digenggam aparat. Lebih tidak peduli lagi dengan yang namanya kematian. Ajalnya tergantung pada sebongkah emas ini. Kalau ada petugas yang menghalangi, ya suap saja. Apalagi rata-rata hampir semua aparat sekarang ini mudah disuap, begitu kata-katanya membakar semangat teman-teman seperjuangan dalam hal memburu harta berupa emas.

            “Terus, kalau kita tertimpa batu-batu di terowongan itu gimana? Banyak yang mati tertimpa batu di sana?” temannya ragu-ragu ketika akan mempersiapkan keberangkatan.

            “Ah, kalau kau memikirkan kematian saja dalam hidup, kapan kita bekerja?” Arjuna memanas-manasi dengan semangat perjuangan empat-lima. Arjuna memang jagonya provokator dalam hal ini. Lihai bersilat lidah. Kemampuannya bersilat lidah tidak kalah dan hampir sebanding dengan kelihaian lidah Sekuni. Yang membedakan hanya nasib saja. Sekuni hidup mewah dengan akal muslihatnya. Pintar mencari muka dan menarik perhatian bosnya. Pintar menganalisa kesalahan-kesalahan teman-temannya sehingga dengan taktik jitunya Sekuni mampu  membuat Arjuna mengembara di hutan selama bertahun-tahun.

            “Trus kalau dihadang petugas gimana?” temannya yang lain bertanya.

            “Ah…!!! Gampang itu!” Arjuna bersuara kalem. Seolah menggampangkan semua peristiwa dalam hidupnya. Itulah Arjuna.

            “Gampang gimana?”

            “Negosiasi!”

            “Maksudmu?”

            “Suap saja! Mudah kan? Hehehe, kok yang gitu kamu pikirkan susah-susah?”

            “Lha kalau nggak mempan disuap?”

            “Waduh, kau ini goblok sekali sih?” Arjuna ngedumel sambil menggaplok kepala temannya. Yang digaplok kian melongo aja. “ Pakailah sedikit otakmu. Ya lihat air mukanya, lihat gelagatnya. Pakai ilmu gelagat untuk membaca airmuka petugas-lah. Kalau gelagatnya aneh itu tanda-tanda mudah disuap. Petugas juga kan punya anak dan istri yang harus diberi uang tambahan. Kalau namanya masih hidup semua butuh duit. Segalanya mudah dengan duit. Sogoklah dia. Suap dia! Gampang itu!”

            “Oooo”

            “Bila perlu ajak mereka sama-sama memburu emas,” Arjuna kian berapi-api berkata. Karena dia tahu juga beberapa di antara petugas aparat itu terlihat sibuk dalam kegiatan ini dengan caranya yang berbeda. Yahhh, namanya kebutuhan hidup. Gaji pas-pasan ya harus sedikit nekat untuk mencari tambahan. Gaji berkecukupan terkadang masih saja ada yang kurang, namanya juga manusia.

            “Trus?” kawan-kawannya yang lain kian semangat atau sudah mulai tersulut semangatnya. Arjuna senyum-senyum memainkan mata.

            “Hmm, begini ya aku jelaskan pada kalian. Namanya manusia ya kita-kita ini semua, petugas, pejabat, kalau memiliki kegiatan yang aneh-aneh gelagat pun biasanya aneh dalam melaksanakan kewajiban. Petugas punya anak dan istri yang mesti mereka hidupi. Pejabat-pejabat ya namanya petantang-petenteng, banyak maunya belum lagi yang punya istri muda, punya selir, ya pintar-pintarlah menganalisa situasi. Iya nggak? Kalau lubang hidung manusia masih nengarah ke bawah itu artinya masih ada maunya”

            “Maksudnya?”

            “Ya ngerti sendirilah hehe.” Arjuna ngikik melihat teman-temannya yang semua bengong dan akhirnya mereka serempak berteriak : Ayoooooo berangkaaaaaaaaaaaaat!

            Nah, gitu dong!

            Arjuna dan kawan-kawan berangkat. Ada satu harapan di hati mereka semua. Membayangkan bongkahan emas yang akan dibawa pulang, membawakan istri emas membawakan anak-anak emas. Arjuna pun berpikir demikian, mumpung belum kawin ya emas-emas yang dia peroleh nanti akan dia persembahkan kepada karib satu-satunya yakni Arimbi. Dia membayangkan akan mengalungkan emas pada leher, lengan dan jari-jari Arimbi. Semua emas tulen, emas murni. Anting-anting emas semua. Bila perlu semua giginya pun dia sarankan mengganti dengan emas. Hahaha orang-orang akan memandang hormat dengan apa yang dikenakan itu. Kualitas hidup akan lebih meningkat. Otomatis lebih berwibawa dan excellent dalam pergaulan.

            Di bukit emas itu terlihat orang-orang bak semut yang merayap. Dilihat sepintas seperti sebatang pohon yang dikelilingi bebatuan, namun manakala secara teliti memandang tak ubahnya batu-batu yang bergerak. Arjuna dan teman-teman menyerupai batu-batu di antara mereka semua yang berusaha menyulut nasib yang bisa menjadi ajaib karena kekayaan alam. Arjuna mengeluarkan aji-ajiannya. Tidak mau bekerja manual seperti mereka semua. Itu cara lama. Ortodok!

            Bak menghadapi para gandharwa di hutan Dwaitawana, seperti itulah Arjuna mengeluarkan senjata-senjata berupa Sthunakarna, Indrajala, Saura, Saumya yang berupa jaring-jaring dan menjaring bongkahan-demi bongkahan emas ataupun sesuatu yang menyerupai emas hampir terjaring semuanya. Pekerjaan yang diperkirakan memakan waktu berhari-hari hingga berminggu-minggu yang bahkan para pemburu emas itu membawa segala perlengkapan dengan tenda-tenda, bagi Arjuna hanya cukup dilakukan beberapa menit saja. Hebat! Dan hoplaaaaaa…!!! Bongkahan demi bongkahan, sekarung demi sekarung, tak terasa berkarung-karung dinaikan ke atas truk yang telah disiapkan kawan-kawannya. Kenapa? Karena Arjuna itu dalam kehebatannya termasuk dalam golongan tedaking mara tapa.

            Benar juga ucapan Arjuna. Entah dia sengaja mengucapkan itu atau ngawur, yang jelas ketika truk meliwati tikungan beberapa petugas menghadang di hadapi Arjuna dengan demikian ringannya. Cukup dengan salam tempel beberapa lembar lima puluh ribuan segalanya jadi beres.

            Pak polisi celingak-celinguk. Melirik kiri-kanan melihat sekeliling areal, lalu memasukkan tangan ke saku celana sebelah kiri. Polisi yang lapar.

            “Hehehe, benar apa kataku?” Arjuna terbahak-bahak mengomentari kebodohan pertugas-petugas keamanan itu. Siapa sih yang tak butuh duit? Teman-temannya semua pada terbahak-bahak mengakui kejempolan taktik Arjuna. Rombongan ini berjumlah 5 orang bersama Arjuna jadi enam orang. Pada penjagaan berikutnya, kembali seperti semula Arjuna menjalankan taktiknya itu. Mungkin sudah lima penjagaan yang sudah dilewati. Entah berapa kali sudah menyuap aparat. Ketika memasuki area jalur kuning, merupakan kawasan yang paling sulit, di depan sudah berderet beberapa aparat. Tampangnya seram. Tubuhnya kekar semua. Arjuna memperlambat laju truknya sambil tangannya merogoh-rogoh kantong jeansnya yang sudah kumal. Waduh! Arjuna mengerutkan kening. Uang satu-satunya hanya tinggal empat lembar lima puluh ribuan, sementara secara sepintas Arjuna melihat ada sekitar 6 orang menghadang. Arjuna tarik napas pelan-pelan sambil sebelah tangan mengelus-elus dagu.

            “Ada apa?” rekannya bertanya, seperti mengerti airmuka Arjuna.

            “Sepertinya mulai ada kesulitan. Harus pakai taktik yang lain,” Arjuna bersuara pelan. Teman-temannya diam dan menunggu komando. Mereka sudah terlanjur menganggap Arjuna adalah bosnya. Mereka pasti tahu segala keputusan yang diambil Arjuna tidak pernah meleset. Dan langkah yang diambil kali ini adalah : Kabur….!!!!

            Spontan Arjuna injak pedal kuat-kuat sampai bannya berderit. Teman-temannya kaget dan berpegangan kuat-kuat. Beberapa petugas yang mengira truk itu akan berhenti tak kalah kagetnya, langsung berhamburan ke kendaraan masing-masing. Terjadi aksi kejar-kejaran yang cukup seru. Kembali Arjuna menunjukkan kehebatannya di jalan ala cowboy Texas. Mungkin juga film Franco Naro banyak memengaruhi tindakannya. Atau juga pengaruh dari filem-filem acton Rambo. Ini merupakan pekerjaan ringan baginya. Bahkan sesekali Arjuna over acting hingga membuat laju truk yang dalam kecepatan tinggi sempat loncat-loncat. Ah, kacang, katanya dalam hati sambil ngikik. Lha, kalau berhadapan dengan musuh di bawah hujan panah saja biasa dia hadapi, apalagi hanya menghadapi segelintir petugas yang tidak sebanding dengan kesaktian yang dia punya. Memang sesekali Arjuna perlu merasa sombong. Dan kehebatannya itu terlampau berlebihan dia tunjukkan. Sebuah kesombongan seekor tupai yang mendadak menemui sial ketika pada tikungan yang keberikutnya dia terlalu menganggap sepele. Hanya sebuah bongkahan batu kecil menyebabkan tergelincir lalu gedebuk..gedebuk bleeeeeerrrrr! Arjuna dan kawan-kawan masuk jurang. Truk terbalik. Arjuna mendadak merasakan dunia gulita. Tidak mampu melihat apa-apa lagi. Tidak ingat apa-apa.

            Ketika sadar Arjuna mendapatkan dirinya sudah berada di sebuah kamar serba putih. Yang dia lihat pertama kali adalah wajah Arimbi seperti bongkahan emas murni. Emas murni yang dia bawa dalam truknya yang entah di mana nasib-nasib harta itu sekarang. Lalu perlahan pula bongkahan emas itu berubah menjadi wajah Arimbi yang jelita. Terlihat wajah sedih di mata temannya itu. Sempat dia dengar suara Arimbi sayup-sayup dalam sebuah doa kematian : Innallilahi waina ilahi rojiun. Astaga, aku belum mati. Aku belum mati. Nyawaku masih bercokol di badan, demikian dengan ketakpercayaan yang optimal Arjuna kerjap-kerjapkan mata, meraba-raba tubuhnya sendiri, mencubit lengannya.

            “Heiiiii, heiiiii, aku belum mati!!!! Aku masih hidup! Heiiii Arimbi aku belum jiun,” Arjuna berjingkrak-jingkrak bergerak berusaha meraih tangan Arimbi dan mencubit keras-keras dan…wuoooooow! Arjuna meringis kesakitan. Tubuhnya belum bisa digerakkan sama sekali. Kakinya tidak mampu digerakkan sama sekali, serasa lumpuh tak bertenaga. Patahkah aku? Arjuna meringis, kesaktiannya hilang entah ke mana. Rasa sakit yang seharusnya menunjukkan kelemahan-kelemahan tubuhnya atas ketidak sempurnaan sebagai manusia biasa, mulai dia rasakan. Apakah kesaktiannya tidak berfungsi sama sekali ketika tadi ia dan teman temannya menghadapi peristiwa naas itu? Arjuna tercenung. Padahal dalam sejarah yang dilakoni dia belum mempersiapkan bharatayuda, belum menggembleng Abimanyu putranya. Belum koordinasi dengan ponakannya sebagai tameng dalam menghadapi senjata konta milik adipati Karna. Karena selongsongnya dia tahu masih bercokol di tubuh Gatotkaca. Arjuna benar-benar merasa menyesal. Belum memasuki kancah kuru malah sekarang berurusan dengan hukum, dalam tubuh terlentang kesakitan. Benar-benar edan!

            “Nasib selalu genit menggoda. Kasihan sekali!” hanya itu kata-kata yang dia dengar dari mulut Arimbi.

            Mau bicara apa lagi?

            Memang demikian warna-warni kehidupan. Itulah Arjuna ketika harus memburu harta karun di negeri sendiri. Arjuna yang merasa tergerus hidup di kekinian. Terbawa arus modernisasi. Iya, benar! Kalau hanya bertapa saja siapa yang akan memberi uang.

            Pengalaman unik berikutnya yang dialami Arjuna semakin membangkitkan gairah. Beberapa partai politik mengusungnya sebagai calon presiden. Negeri ini butuh seorang pemimpin yang layak di hati rakyat. Bukan pemimpin yang lahir dari promosi iklan murahan di televisi. Bahkan sebagian besar rakyat sudah menyatukan hati menjatuhkan pilihan untuk Sang Arjuna. Hanya sekarang tinggal Arjuna menyikapi mampu atau tidak membangun negeri ini di tengah-tengah kerancuan akan rasa adil dan merata serta melanjutkan titah para pendiri negeri yang pernah berjuang habis-habisan untuk kemerdekaan. Rakyat tak henti-henti berharap untuk perubahan ke arah yang lebih baik. Demikian sabda Hyang Naradha yang menyempatkan diri turun ke wilayah negeri Nusantara yang kaya raya ini.

            “Ya, nanti kita mulai dari sila ke-5 sembari menyempurnakan pelaksanaan tahap demi tahap hingga Pancasila itu bukan hanya dengungan saja,” Ujar Arjuna berapi-api di atas mimbar. Ribuan bahkan jutaan pendukungnya bersorak-sorak sembari menyanyikan lagu Indonesia Raya diakhiri gempita suara Garuda Pancasila…….

            Hanya sayangnya Arjuna tidak hafal lagu Indonesia Raya dan lagu Garuda Pancasila.

            BEGITULAH DALANG MENGAKHIRI CERITANYA.

 

 


TAGS :

DG Kumarsana

DG Kumarsana, lahir di Denpasar, menulis puisi cerita pendek, novel, prosa dan feature. Tulisannya dimuat di Bali Post, Nusa Tenggara, Karya Bakti, Lombok Post, Suara NTB, Koran Kampung, Sumut Pos, Banjarmasin Post, Radar Surabaya, Tribun Bali, majalah Ceria Remaja, majalah Gema Karya, majalah Ekspresi, buletin Jejak, buletin Kapas, majalah Canang Sari dan  majalah Satua.

Buku-bukunya yang telah terbit: Komedi Birokrat (Pustaka Ekspresi, 2010), Kabinet Ngejengit (Pustaka Ekspresi, 2012), Senggeger (Pustaka Ekspresi, 2010) Mata Dadu (Pustaka Ekspresi, 2014), Penari Ular (Pustaka Ekspresi, 2019), Nyoman dan Sengeger (Halaman Indonesia,2020).

Komentar