Ke Rumah Cinta

  • By IBW Widiasa Keniten
  • 31 Mei 2020
Ilustrasi: Pixabay

    Korona berbisik halus, “Sebaiknya kau kembali ke rumah cintamu. Lihatlah keluargamu! Sinar cintanya semakin redup. Tiap malam mulutmu berbau alkohol. Kebahagiaan yang kau janjikan hanya pemanis belaka. Bukankah begitu?”
    “Apa maksudmu, Korona? Bukankah selama ini aku perhatian sama keluargaku?”
    Ia tertawa terbahak-bahak. “Itu hanya perasaanmu saja. Kau telah mengkhianati hati nuranimu. Kau hanya mementingkan dirimu saja. Kau laki-laki pengecut. Hahahahaha!”
    “Kurang ajar kau Korona. Beraninya kau berkata seperti itu. Akan bumi-hanguskan dirimu.”
    “Kau tak akan mampu. Jangan-jangan kau akan menjadi pecundang bagiku. Matamu tak ada apa-apanya bagiku. Jangankan melihatku. Melihat keluargamu saja kau tak pernah. Dasar laki-laki tak tahu malu.” Korona menertawakanku.
    Jujur kuakui, kepedulianku selama ini pada keluargaku hanya sebuah kamuflase saja. Aku terikat pada botol-botol. Setiap tegukan kurasakan menyegarkan. Setiap tegukan memberiku ketenangan. Minum-minum sampai lupa diri. Kalau tak dibangunkan, tak akan tahu diri. Muntah karena kebanyakan minum bukan sesuatu yang baru bagiku. Aku pernah digotong beramai-ramai. Mereka bawa aku ke rumah. Istriku tak peduli. Ia biarkan sampai siuman.
    Pagi ini kunikmati. Mabukku tak terasa lagi. Kulirik anak-anakku yang memainkan gawainya sambil teriak-teriak kegirangan. Aku merasakan kebahagiaan dalam hidup mereka. Tapi, aku yakin anak-anakku tak bahagia. Mereka teramat jarang kuajak menikmati alam di luar sana.  
    “Ini kopinya.” Istriku menyuguhi secangkir kopi. Aku memang suka kopi yang dicampur dengan jahe. Ada kehangatan sedikit mengalir dalam kerongkonganku. Aku hirup panas kopi sambil melihat istriku yang sibuk sedari baru bangun.
    “Lagi sebentar mau ke mana?”
    “Tidak ke mana-mana?”
    “Kok tumben? Biasanya jam segini sudah di tempat sana. Bukankah kau sudah ditunggu di sana?”
    Aku menjadi malu. Sekilas aku menangkap kemarahan dalam kata-katanya. “Katanya tidak boleh berkerumun.”
    “Oooooooooooo itu sebabnya. Artinya, karena koronalah kau tinggal di rumah. Kalau nanti sudah normal kembali. Kau pun akan pergi lagi.”
    Aku tidak berani menjawab. Karena aku tak tahu apa akan kembali seperti kebiasaanku dulu atau tidak. Aku tak yakin akan isi hatiku.
    “Nanti setelah kau sakit atau mungkin, maaf, kau dikafani barulah kau akan ke rumah. Bukankah begitu? Dan kau mengharap kutangisi? Jangan berharap seperti itu. Jika kau dicekik sama si korona, aku tak akan menangisimu. Untuk apa menangisi yang tak perlu ditangisi? Kau suami, ternyata bukan belahan hidupku. Seribu janji itu ke mana sekarang? Aku tak menagih janji. Hanya ingin tahu masih ingat tidak dengan janjimu dulu. Aku yakin tak ingat. Istrimu hanya sebagai tempat menyalurkan hasratmu saja. Setelah itu, kau pergi entah ke mana. Sesuka hatimu dan semau hatimu. Kau tak pernah peduli dengan anak-anakmu. Kau tak pernah peduli dengan istrimu. Apakah ia bahagia? Apakah ia gembira atau mungkin merasakan kehambaran dalam rumah tangga. Agar kau tahu saja, aku kuat bertahan seperti ini karena sayang sama anak-anak. Aku sudah tak tahan bersamamu. Kalau tidak karena anak-anak,  sudah kugugat cerai. Kau tahu itu?”
    Aku tersentak. Betapa besar beban istriku. Betapa berdosanya aku selama ini. Aku merasa sudah memenuhi segala kebutuhan hidupnya ternyata tidak ada apa-apanya. Saat-saat seperti ini, aku berterima kasih pada korona. Ia mengingatkanku pada makna sebuah keluarga. Aku malu sebagai kepala keluarga  yang amat jarang bersemuka dengan keluarga.
    “Lihatlah di luar sana. Sudah berapa yang mati karena korona. Aku menjadi was-was jangan-jangan korona sudah menyelinap di pojok-pojok kehidupanmu. Kalau kau ingin hidup dan sayang keluarga pakai dulu masker itu. Sudah ibu belikan.” Aku semakin menjadi tidak enak hati. Perhatian istriku seperti ini.
    “Baiklah! Terima kasih.” Aku menjadikan masker sebagai temanku dalam keseharianku. Masker membungkam setiap kata yang terkadang meluncur tanpa kendali. Aku diajar agar menyaring setiap kata yang kuucapkan. Aku menjadi pendiam. Tak berani berkata-kata lagi. Mulutku kukunci biar tak ada sepatah kata pun meluncur. Keluargaku menjadi sepi.
    “Masker itu bukan mengunci kata-katamu. Seharusnya sekarang kau bercengkerama dengan anak-anakmu. Ibu yakin dalam hati mereka ada kemarahan karena ulahmu sebagai kepala keluarga yang tidak bertanggung jawab. Pernah kau menanyakan kesulitan mereka? Penah kau menanyakan masa depan mereka? Pernah kau tanyakan siapa teman dekatnya? Jangankan menanyakan hal-hal seperti itu. Kau hanya menikmati kesenanganmu saja.”
    Aku mencoba menyapa anak-anakku. Aku mencoba menanyakan hal-hal kecil. Tampaknya mereka tak terlalu bersemangat untuk menjawabnya. Mereka justru semakin menikmati gawainya bahkan saat kuajak bicara pun tangan mereka masih memencet fitur-fitur di dalam gawainya.
    “Sudahlah Ayah. Tak usah bercerita lagi. Mengganggu kesukaanku saja. Ke sana saja! Tumben Ayah ada di rumah. Apa Ayah takut mati karena korona?”
    Aku terkejut. Anakku mengusirku dan berkata seperti tanpa beban dan tanpa bersalah. “Benar karena korona ayah di rumah.”
   “Kalau gitu, kos saja di sana Yah. Toh di sana jalur hijau. Tak ada korona di sana. Justru karena Ayah di rumah, aku menjadi takut. Jangan-jangan       Ayah membawa virus.”
    “Ayah sudah tes beberapa kali katanya negatif.”
    “Itu hanya yang tampak saja. Tapi dalam hati Ayah sudah direngut oleh korona. Napas Ayah sudah disumbat sama korona. Hati ayah sudah mati bersama keluarga. Jika tidak mati, kenapa sukanya di luar saja. Jangan salahkan anakmu ini berkata seperti ini. Ini karena ulah Ayah yang tak peduli dengan ibu, kakak, adik. Termasuk tak peduli dengan rumah ayah sendiri. Kemarin ibu sampai basah kuyup memperbaiki genting rumah karena bocor. Sedangkan Ayah, bersuka cita di tempat yang memberikan kenikmatan semu itu. Sudah sana, aku tak mau sama Ayah.”
    Hatiku perih. Terasa teriris sembilu. Mataku berkaca-kaca. “Maafkan ayah. Ayah yang salah.” Aku berusaha membujuk anak-anakku agar mau berbagi rasa. Tapi, sampai sekian hari, aku tak bisa mengubah keluargaku. Ia sudah mati. Mulutku semakin menebal karena masker. Aku tak lagi memasang satu masker. Tapi berlapis-lapis masker. Tak ada kata yang bisa menyambungkan lagi. Tak ada kata maaf bagiku. Aku bangkit. Kurapikan beberapa baju. Kumasukkan ke dalam tas. Surat nikah kubawa, sebagai bukti bahwa aku pernah memiliki keluarga. Mataku berkaca-kaca. Ini adalah hari terakhir di rumah ini. Ini adalah langkah terakhir di rumah ini. Kubuka pintu rumah. “Selamat tinggal keluargaku.”
    Saat kubuka pintu pekarangan rumah, tiba-tiba, istri dan anak-anakku memelukku dari belakang.

 


TAGS :

IBW Widiasa Keniten

Ida Bagus Wayan Widiasa Keniten lahir di Giriya Gelumpang, Karangasem. 20 Januari 1967. Lulus Cum Laude di Prodi Linguistik, S-2 Unud 2012. Tulisan-tulisannya tersebar di berbagai media massa berupa esai, karya sastra maupun kajian bahasa dan sastra baik dalam bahasa Indonesia maupun bahasa Bali. Cerpen-cerpennya pernah memenangkan lomba tingkat Nasional maupun provinsi.

Komentar