Topeng

  • By IBW Widiasa Keniten
  • 27 Januari 2020
PKYI

Tetanggaku menggerutu,”Kenapa aku melihat topeng-topeng berkeliaran. Kulihat terkadang berwajah manis, terkadang melotot, terkadang ngoceh seperti orang kesurupan. Pantas harga topeng laris manis?” Sebelumnya,  ia hanya melihat beberapa topeng. Kalau sekarang, hampir tidak ada hari tanpa topeng.

“Manusia bertopeng semakin bertopeng. Wajah aslinya tersembunyi dalam beragam wujud topeng.” Made Lurus mendesah. Ia tidak bisa menerima kenyataan. Kemangkelan mengalir di dalam saluran tubuhnya. Ia terus saja memarahi keadaan.

            “Masak setiap hari ada saja yang mengusik ketenanganku,” bisiknya. “Tidak ada yang memberi jalan terang pada hidupku.”

“Tak usah dipedulikan. Setiap manusia memiliki perannya masing-masing. Jangan mengukur orang lain berdasarkan ukuran diri kita. Tak akan bisa ditemukan kesamaan. Semua ada tempatnya. Termasuk kita juga bertopeng. Made juga bertopeng. Tiang  apalagi. Tiang  paling sering mematut wajahku dengan topeng-topeng. Makanya seperti ini, di mana saja bisa berubah.”

“Tapi, kau bisa tahan melihat topeng-topeng itu?” tanyanya.

“Harus dibiasakan. Jika tidak, Made akan stres. Syukur tidak sampai stroke. Kalau stroke, siapa yang akan mengobati. Apalagi istri Made masih cantik. Kasihan istrimu sendirian mengisi hidupnya. Yaaah, biasakan saja menerima hidup.”

Made Lurus berupaya menerima kenyataan. Akan tetapi, setiap kali dicobanya tidak bisa. Ia menjadi pusing dengan berseliwernya topeng-topeng itu. “Masak topeng raksasa tiba-tiba berubah menjadi topeng raja dan topeng dalem yang polos, berwibawa seperti topeng Arsa Wijaya.”

Istrinya meminta bantuanku agar menasihati suaminya. “Tolong bantu suami tiang. Tiang tak memiliki kekuatan untuk mengalihkan pikirannya. Suami tiang sebelumnya tidak seperti ini. Entah kenapa semenjak beberapa hari ini hatinya selalu gundah melihat topeng-topeng.”

Sebagai teman, aku berbalik melihat kenyataan. Sengaja aku membeli beragam topeng. Kudatangi pasar Seni. Kucari beragam ukuran topeng mulai dari ukuran kecil, sedang sampai jumbo. Yang tak ketinggalan aku juga membeli topeng monyet. Sampai di rumah, tak kuperlihatkan kepada istriku. Kusembunyikan. Jika ia tahu, bukannya mendukung bisa-bisa perang topeng terjadi. Kutaruh di gudang yang jarang ditengok oleh istriku.

Kudatangi rumahnya. Istrinya suka cita. Teman yang baik bisa merasakan saat temannya sedih ataupun saat sakit. Tidak hanya berteman saat sehat atau saat berada di atas kursi kekuasaan saja.

“Silakan ke sana! Beli Made ada di dalam. Ia tak mau keluar rumah karena tak kuat hatinya melihat topeng. “Lebih baik menyepi daripada melihat topeng-topeng yang seperti kampanye saja ramainya.” Istrinya mengantarkanku ke kamarnya.

“Silakan bercerita dulu. Tiang buatkan kopi. Kalau boleh tahu, kopi pahit atau kopi susu?”

“Beli lebih suka kopi pahit. Katanya kopi pahit bisa dinikmati rasa kopinya dan baik untuk kesehatan.”

“Ah, yang benar?”

“Itu kata iklan tanpa dibayar,” istrinya tersenyum.

Kami terlarut dalam beragam percakapan. Aku memang tidak memperlihatkan topeng yang kubeli di pasar Seni.  Kutanyakan gimana pekerjaannya di kantornya. Kutanyakan gimana sikap teman-temannya. Dengan mudahnya ia menjawab, bahwa tak ada masalah dengan pekerjaannya dan juga teman-temannya. “Semua baik-baik,” balasnya.

“Kalau gitu, kenapa kau takut sama topeng?”

“Entahlah! ”

“Artinya, Made takut dengan yang tidak perlu ditakuti?”

“Benar!”

“Waduh. Ini parah. Untuk apa takut dengan yang belum pasti? Tak usah ditakuti yang belum pasti. Jalani saja.”

“Tiang sudah berusaha. Tetapi, tidak bisa.”

“Gimana kalau kita juga memakai topeng? Kita buat sanggar topeng. Siapa tahu ada yang mengupah menjadi topeng yang bagus.”

“Nah, ini ide yang bagus.”

Ternyata Made Lurus tertarik untuk menari topeng. Di balik ketakutannya ternyata ada keberanian untuk menari topeng. Kusodorkan topeng yang kubawa.”

“Ia kaget bukan main. Ternyata kau sudah mempersiapkan sedari tadi. Pantas pembicaraanmu tepat sasaran. Orang cerdas memang seperti dirimu.”

Kami memakai topeng baru. Made Lurus memakai topeng putih, sedangkan aku memakai topeng hitam. Kami menari dengan mulut melantunkan beberapa tembang. Istrinya senang bukan kepalang. Ia bawakan kopi pahit setelah melihat kami menyatu dalam topeng.

“Terima kasih Beli. Sudah mampu menjadikan sesuatu yang berat menjadi ringan.”

“Maksudnya?”

“Suami tiang bisa menikmati tipeng-topeng yang Beli bawa. Ia cocok sekali bertopeng putih dan Beli cocok bertopeng hitam.”

“Ini perlu kekompakan. Sebuah tim kalau tidak kompak bisa dipecah. Sama dengan pejabat-pejabat kalau tidak kompak bisa berkelahi tak jelas.”

 “Silakan lanjutkan menari topengnya.”

“Yaaa, setelah kopi pahit ini habis akan menari lagi.”

 Aku menyeruput kopi pahitnya.  Ada kesegaran mengalir dalam tubuhku hingga tegukan terakhir. Kami menari lagi. Sekarang bertukar topeng, aku bertopeng putih, Made Lurus topeng hitam. Begitulah kerja kami saban hari. Kami sepakat bertukar-tukar topeng hingga topeng-topeng yang kubeli habis kupakai. Kami berjanji menari bersama saat ulang tahun kota kami.

Ulang tahun kota datang, ada surat permintaan agar kami menarikan topeng. Tanpa basa-basi lagi, kami setuju. Persiapan melebihi standar.

Kami pentas. Kami menarikan beragam wajah topeng sampai topeng monyet. Semenjak itu panggilan menari terus berdatangan. Kami dikatakan seorang pragina topeng yang mumpuni.

“Tumben ada penari topeng yang luar bisa,” katanya. Taksu topeng masuk dalam tubuhku. Beli Lurus bisa menikmati topengnya. Jiwanya tak lagi sibuk karena topeng-topeng yang berkeliaran tanpa judul. Istrinya berterima kasih padaku sambil mengembangkan bibirnya dengan senyum manisnya. “Ah, kau cantik sekali?” bisikku dalam hati. Ternyata di lapis hatiku ada topeng baru lagi.


TAGS :

IBW Widiasa Keniten

Ida Bagus Wayan Widiasa Keniten lahir di Giriya Gelumpang, Karangasem. 20 Januari 1967. Lulus Cum Laude di Prodi Linguistik, S-2 Unud 2012. Tulisan-tulisannya tersebar di berbagai media massa berupa esai, karya sastra maupun kajian bahasa dan sastra baik dalam bahasa Indonesia maupun bahasa Bali. Cerpen-cerpennya pernah memenangkan lomba tingkat Nasional maupun provinsi.

Komentar