Gelombang Cinta

PKYI

Deretan bunga gelombang cinta tertata rapi di depan beranda rumah Pramono. Daun-daunnya bergoyang lemah gemulai tertiup angin sore. Hijau daunnya menyejukkan mata yang memandang. Lebih-lebih di mata Pramono.  Bunga-bunga itu terasa istimewa baginya karena  menyimpan berjuta kenangan bersama Sukma. Bunga itu sengaja dikirim Sukma kepada Pramono untuk mengabadikan kenangan indah dalam hidup semasa remaja bersama Pramono. Setiap pagi bunga itu disiram dan dirawat Pramono. Dia tidak rela ada ulat, lalat, atau debu yang melekat di daun-daun itu. Bunga itu terlihat subur, memesona, daun indahnya semakin menggelorakan cinta Pramono dan Sukma.

***

Suatu sore ketika Pramono pulang kerja, dia menemukan bunga-bunga gelombang cintanya bergelimpangan di pelataran rumah. Daun indahnya tercabik-cabik tak berbentuk, batangnya lepas dari pot bunga. Darah Pramono mendidih hingga ubun-ubun. Wajahnya memerah dengan mata yang memelotot. Ia lantas masuk ke rumah dengan amarah membara.

”Siapa yang menghancurkan bunga-bunga di depan itu?” tanya Pramono dengan suara menggelegar kepada istrinya, Tatik.

Tatik yang sedang menggendong si kecil tergeragap. Dia kaget mendengar pertanyaan suaminya. Seingatnya bunga-bunga yang berjajar rapi di depan beranda tidak ada yang rusak.

”Jawab!” bentak Pramono.

Tatik semakin bingung melihat suaminya datang dari kerja dalam kondisi seperti itu. Dia marah-marah dan memaksa dirinya menjawab pertanyaan yang ia sendiri tidak tahu jawabannya.

”Tenang, Mas! Ada apa ini?” ucap Tatik tergopoh menenangkan suaminya.

”Jangan berlagak tolol! Lihat bunga-bunga di depan itu! Hancur semua,” bentak Pramono lantang sambil menunjuk ke arah bunga-bunga gelombang cinta yang berantakan tersebut.

Tatik berlari-lari kecil bagai orang bersai. Dia tergopoh-gopoh ke depan rumah. Tatik hampir tidak percaya pada kondisi bunga yang dilihatnya. Dia menjumpai bunga gelombang cinta itu berserakan. Daun-daunnya hancur bagai dicakar kuku-kuku harimau.

”Kenapa bunga-bunga ini? Siapa yang berbuat seperti ini?” kata Tatik keheranan.

Si kecil yang berada di gendongannya diturunkan di lantai. Dia mengambili pot bunga gelombang cinta yang bergelimpangan di pelataran rumah. Bunga-bunga itu dirapikan lalu dikembalikan pada tempatnya semula meskipun dalam keadaan yang tidak utuh seperti sedia kala.

Pramono berdiri dengan congkak. Dia berkacak pinggang di belakang istrinya. Sebatang rokok diisap dalam-dalam. Asap yang memenuhi ruang mulutnya dihembuskan dengan pelan-pelan. Asap yang sangat mengganggu pernapasan ini menerpa wajah istri dan anaknya yang berada di dekatnya. Wanita ini terbatuk-batuk karena asap tersebut.

”Kenapa batuk-batuk? Kena asap rokok saja sudah seperti orang yang akan mati. Ini belum seberapa. Ini baru asap rokok. Lain kali kau akan kusemprot dengan asap beracun. Lalu kau akan lenyap dari dunia ini. Cepat rapikan bunga ini seperti semula!” perintah Pramono dengan kasar.

Tangan lembut Tatik mengangkati pot bunga. Dia sempat terhuyung karena pot bunga gelombang cinta yang diangkatnya itu berukuran besar. Pot-pot itu lalu ditata dengan rapi di depan teras rumahnya.

”Tatik, Tatik. Dasar wanita yang tak bisa menjadi ibu rumah tangga. Ngurus bunga saja tidak becus,” ejek Pramono sambil melempar puntung rokok ke depan istrinya.

”Kau akan ke mana, Mas?” tanya Tatik berusaha menahan langkah kaki Pramono.

”Tak perlu tahu,” jawabnya sengol.

”Mas, anak kita sakit. Perlu diperiksakan. Antarkan aku ke dokter Herman.

”Berangkatlah sendiri. Jangan manja!”

”Mas!” ucap Tatik kesal.

Tatik berdiri dengan kedua kakinya yang terpaku. Dia tidak bisa menahan kepergian Pramono. Kelopak mata Tatik berkaca-kaca menatap suaminya yang meninggalkan dirinya. Tak lama kemudian, tubuh Pramono lenyap dibawa motor yang belum lunas angsurannya.

 

”Biarkan dia pergi!” Tiba-tiba terdengar suara seorang laki-laki muncul dari balik keremangan senja kala.  Lelaki itu lantas menggandeng pundak Tatik masuk ke rumah.

”Sejak kapan kau di sini, Kak?”

”Sedari tadi aku bersembunyi di balik pagarmu. Aku sudah tahu semua kelakuan suamimu. Biarkan dia pergi. Jangan kaucegah! Bila perlu, biarkan dia pergi selamanya dan tidak usah kembali ke rumah ini!”

”Kamu ini ngomong apa, Kak?”

”Untuk apa suami macam gitu tetap dipertahankan. Biarlah dia mencari kesenangan sendiri di luar sana.”

”Maksud Kakak?”

”Biarlah dia bersenang-senang dengan kehidupannya yang gelap.”

”Gelap? Aku semakin tidak mengerti.”

”Mata hati suamimu itu sudah buta. Dia telah mengkhianati dirimu. Mengkhianati anakmu. Di belakang punggungmu dia masih menjalin hubungan dengan mantan kekasihnya.”

”Mas Pramono masih menjalin kasih dengan Sukma  maksudmu?”

”Benar. Benar sekali. Mereka masih menjalin hubungan dengan Sukma. Saya sering memergoki Pramono dan Sukma berduaan di alun-alun kota.”

Air mata Tatik tak terbendung lagi. Dia menangis lantaran Pramono, lelaki yang dianggap setia, telah berkhianat. Dia telah berselingkuh dengan Sukma.

Bunga-bunga yang kau anggap sebagai penghias rumahmu itu adalah perantara cinta mereka. Saya tak mampu menahan amarah. Oleh karena itu, saya memorakporandakan bunga-bunga itu.”

”Jadi, yang merusak bunga gelombang cinta itu Kakak?”

”Benar sekali. Sayalah pelakunya. Saya ingin kekuatan cinta di balik bunga itu lenyap agar hubungan mereka putus. Tapi, usahaku gagal. Rupanya kekuatan cinta mereka itu semakin kuat ketika ada pihak lain yang berusaha merusak hubungan mereka.”

”Lantas apa yang bisa kita lakukan?”

”Sabar dulu. Jangan pikirkan soal itu dulu. Ayo, kita ke dokter untuk memeriksakan anakmu!”

Si kecil yang suhu badannya semakin panas ini lantas digendong oleh Tatik. Dia dibonceng Antok menggunakan sepeda motornya. Rasa khawatir Tatik pada si kecil semakin menjadi lantaran sepanjang perjalanan anak semata wayangnya ini merintih. Lima belas menit setelah mereka dalam perjalanan, mereka akhirnya sampai di rumah dokter langganannya.

”Ini obatnya. Sesampai di rumah langsung diminumkan. Tolong apabila di sekitar rumah ibu ada bunga yang ditanam dalam pot, pindahkan sementara waktu karena bisa jadi bunga-bunga itu sebagai sarang nyamuk,” pesan dokter sambil menyerahkan obat kepada Tatik.

Tatik mengangguk pelan. Dia berat sekali menyanggupi saran dokter. Tatik takut pada Pramono. Dia tak bisa membayangkan bagaimana reaksi Pramono kalau bunga-bunga itu iapindah ke tempat lain.

”Ayo, Tatik!” Antok menepuk pundak Tatik dengan maksud mengajaknya segera naik ke motor agar cepat sampai ke rumah.

Setiba mereka di rumah, Tatik langsung duduk. Ia memangku dan merayu si kecil agar mau minum obat yang diberikan oleh dokter. Tatik meminumkan obat pada anaknya meskipun dengan setengah memaksa.

Tatik menunduk lesu. Dia sangat terbebani dengan anjuran dokter untuk memindah tanaman bunga yang dianggap sebagai sarang nyamuk penyebab demam berdarah.

”Apa yang kaupikirkan?” tanya Antok yang tiba-tiba duduk di sampingnya.

”Dokter menganjurkan agar bunga-bunga di depan itu dipindah. Kata dokter bunga-bunga tersebut tempat berkembang biak nyamuk penyebab demam berdarah. Tapi, aku takut Mas Pram,” kata Tatik dengan nada yang tertahan di tenggorokan.

”Kebetulan. Ini kesempatan yang baik untuk melenyapkan bunga-bunga itu. Kamu tidak usah takut. Saya yang akan bertanggung jawab. Biar saya yang akan menghadapi suamimu nanti.”

Tatik bingung. Dia bagai makan buah simalakama. Jika bunga itu dibiarkan, anaknya sangat terancam demam berdarah. Namun, jika bunga tersebut dilenyapkan, dia sendiri yang akan terancam oleh suaminya.

Wanita yang sedang kebingungan ini bangkit dari duduknya. Ia ingin meminta pertimbangan dari kakaknya. Baru saja ia akan menyampaikan maksud kepada Antok, ternyata bunga gelombang cinta yang berada di depan teras rumahnya telah lenyap. Bunga-bunga dalam pot itu telah dihancurkan oleh Antok lalu ditumpuk disudut pekarangan rumahnya.

Tatik mematung sambil melihat ke arah kakaknya yang membabi buta melenyapkan bunga gelombang cinta. Dia tertegun tak mampu berucap meskipun hanya dengan sepatah kata. Sorot matanya hampa. Pikirannya kalut. Bayangan wajah Pramono yang garang datang di kelopak matanya. Lelaki yang kini paling ditakuti itu marah dengan rona muka merah padam. Matanya melotot ke arahnya laksana harimau yang akan menerkam mangsanya.

”Tatik, kenapa kau memantung di situ? Lekas ke sini membantuku menumpuk serpihan pot bunga ini.”

Lamunan Tatik buyar seketika saat mendengar seruan kakaknya. Dia lantas bergegas menuju sudut pekarangan rumahnya. Tangan lembut Tatik mengangkati potongan-potonganbatang dan daun bunga gelombang cinta. Kedua tangannya gemetar. Sedetik kemudian kedua tangan itu tak bisa digerakkan. Semacam ada rantai yang membelenggu kedua tangannya. Keringat dingin Tatik berleleran di kening. Kepalanya terasa berat. Matanya berkunang-kunang. Semakin lama penglihatan Tatik semakin kabur. Akhirnya, Tatik duduk perlahan sambil memegangi kepalanya.

”Tatik, kenapa Kau?” Antok terkejut melihat Tatik. Dia lantas merangkul tubuh Tatik yang hampir ambruk lalu memapahnya masuk ke rumah.

Antok merebahkan tubuh Tatik yang lunglai di samping anaknya yang tertidur pulas. Dia mengambil segelas air lalu meminumkannya kepada Tatik.

”Mas Pram! Mas Pramono,” racau Tatik.

“Tidak perlu kau risaukan dia lagi. Biarkan dia bersenang-senang dengan Sukma di sana. Pikirkan dirimu dan masa depan anakmu.”

Setelah meneguk segelas air, kesadaran Tatik berangsur-angsur pulih. Dia berusaha bangkit dari pembaringan lalu duduk sambil merapikan rambutnya yang sedikit acak-acakan.

”Kakak Antok, apakah Mas Pramono sudah datang?” tanya Tatik dengan suara lirih.

”Belum,” jawab Antok singkat karena kesal dengan adiknya yang selalu memikirkan Antok.

”Gelombang cinta itu sudah lenyap Kak. Dia pasti akan kembali ke rumah ini,” kata Tatik memberi tahu kakaknya.

”Kau tetap mengharapkan dia? Percuma Tik! Dia itu lelaki yang tidak perlu diberi hati lagi.”

”Benar, Kak. Kekuatan cinta yang menyatukan Mas Pram dengan Sukma telah sirna. Aku merasakan saat mengangkat potongan-potongan bunga di pekarangan tadi. Aku ...,” bicara Tatik berhenti.

”Kau kenapa?”

”Aku seperti mendengar suara Mas Pram minta tolong dari luar.”

Ah, itu hanya perasaanmu saja!”

”Benar, Kak. Aku mendengarnya.” Tatik berdiri lalu berjalan sempoyongan menuju ke depan rumah.

”Tatik, hati-hati!” kata Antok sambil mengikuti adiknya menuju depan rumah.

”Mas Pram!” teriak Tatik setelah melihat tubuh suaminya terkulai di depan pintu.

Antok langsung melesat ke arah Tatik. Dia mendapatkan adiknya merangkul tubuh lelaki itu.  Tatik dengan dibantu Antok segera mengangkat tubuh kerempeng Pramono. Tubuh itu dibawa masuk kamar lalu dibaringkan di ranjang.

Tatik mengambil minyak kayu putih yang berada di samping anaknya. Minyak tersebut dioles-oleskan di bawah hidung Pramono. Perlahan-lahan jemari Pramono bergerak-gerak. Kelopak matanya perlahan terbuka. Mata Pramono melihat sekeliling dengan berkaca-kaca. Dia melihat wajah Tatik dan kakak iparnya yang berada di atasnya dengan samar. Setelah penglihatannya pulih dan bisa melihat wajah Tatik dan kakaknya secara jelas, Pramono langsung merangkul keduanya. Dia menangis dan meminta maaf atas kelakuannya selama ini. Pramono mengucapkan terima kasih kepada mereka karena telah membebaskannya dari belenggu cinta yang menjeratnya.

”Untunglah kalian telah menghancurkan bunga-bunga itu,” kata Pramono pelan.

”Jadi, bunga itu? ” tanya Antok.

”Iya, Kak Antok. Bunga itu berkuatan cinta. Kekuatan itu akan sirna apabila bunga tersebut dilenyapkan,” tutur Pramono.

Gelombang cinta yang menyatukan Pramono dengan mantan kekasihnya benar-benar sirna seiring lenyapnya bunga itu dari kehidupan mereka. Pramono kini telah menjadi Pramono yang sebenarnya. Dia telah terbebas dari cengkraman cinta terlarangnya dengan Sukma. Setelah benar-benar sadar, Pramono menanyakan anaknya. Tatik menjawab dengan isyarat bahwa anaknya tidur pulas di sampingnya. Pramono pun memeluk dan menciumi pipi si kecil. Hati Pramono menjadi teduh setelah melihat wajah polos anak itu. (*)

Lamongan, Agustus 2019


TAGS :

Ahmad Zaini

Penulis ini lahir di Lamongan, 7 Mei 1976. Beberapa karya sastranya termuat di beberapa media cetak dan online. Penerima penghargaan dari gubernur Jawa Timur sebagai pemenang GTK Creatif Camp (GCC) Jawa Timur 2021. Buku kumpulan cerpen terbarunya berjudul Lorong Kenangan. Saat ini tinggal di Wanar, Pucuk,  Lamongan, Jawa Timur.

Komentar