Anggota Dewan dan Temannya

  • By Agus Buchori
  • 20 Januari 2020
Foto: Tut Sugi

      Pagi ini Darman dikejutkan banyaknya tikus-tikus yang berkeliaran di ruang kerjanya. Ruang arsip tempatnya bekerja itu jadi pengap dan agak pesing dibuatnya. Kotak-kotak tempat menyimpan arsip statis itu ada yang bolong-bolong digerogoti tikus-tikus itu. Sementara itu, di meja kerjanya masih berserakan arsip-arsip yang mesti ia catat dan kelompokkan sesuai dengan masalahnya.

      Rutinitas di tempat seperti ini tentu cenderung dihindari oleh mereka-mereka yang tak suka pada kesepian. Tempat kerja yang sepi dan hanya berteman catatan-catatan lama yang tak bersih dan cenderung dekil. Darman menekuni pekerjaannya itu hampir lima belas tahun lalu, sejak ia dipindahkan ke bagian arsip.

    Ditugaskankan sebagai penanggung jawab ruang arsip di kantornya, bagi Darman adalah berkah tersendiri. Ia jadi semakin tahu banyak hal tentang informasi dari dokumen-dokumen yang ia terima dari dinas lain di daerahnya. Dengan bekerja di kearsipan ia makin memahami seluk beluk kegiatan administrasi pemerintahan dan juga kasus-kasus yang kadang ia temukan saat mengolah berkas-berkas pemeriksaan sebuah kasus tertentu.

     “Dar, apa nggak jenuh kerja di kearsipan?” pagi itu ia dikejutkan sebuah suara yang tiba-tiba terdengar ketika ia sedang asyik mengolah arsip kacau yang sedang dipilahnya. Rupanya itu adalah suara Johan, teman sekos waktu kuliah  dahulu di Yogyakarta.

     “Eh, kok kamu, ada apa kok sampai ke sini?” jawabnya penuh rasa penasaran ketika teman lamanya tiba-tiba nongol di depan ruang kerjanya.

     Johan masih tersenyum di depan pintu ruangnya. Pakaiannya necis rapi dan sangat parlente. Darman masih belum yakin dengan apa yang dilihatnya. Ia hanya tertegun tak percaya. 

     “Aku ada kunjungan studi banding ke sini. Jadi aku sempatkan mampir ke dinas arsip. Kamu kan sering ngaku kerja di Dinas Kearsipan sebagai pengelola arsip statis,” Johan menjelaskan alasan kedatangannya kepada Darman.

     Darman, dengan masih terkaget-kaget balik bertanya,”Lho, kok ada studi banding segala, memangnya kamu kerja di mana?”

     “Aku kini jadi anggota DPRD di daerahku, Dar. Alhamdulillah aku bisa mendapat kepercayaan warga di daerahku untuk maju sebagai anggota dewan lewat Partai Integritas Bangsa.” terang Johan sambil menjabat tangan Darman.

     Dua teman itu saling berangkulan. Keduanya melangkah keluar menuju ruang tamu kantor yang kebetulan letaknya tak jauh dari ruang arsip tempat Darman bekerja. 

     “Setelah kuliah, aku banyak berkecimpung di partai politik, Dar. Dimulai dari menjadi simpatisan hingga pengurus ranting terkecil. Pengalaman kita berorganisasi saat kuliah dulu betul-betul sangat membantu perjalanan karirku,”

     “Oh, aku ya tetap seperti dulu, senang sekali mengumpulkan kliping koran bekas hingga akhirnya terdampar di pekerjaan ini; sebagai pengelola arsip.”

     “Kuakui kerajinanmu dalam hal itu. Memang sulit untuk mengubah kesukaan orang. Ngomong-ngomong sudah berapa tahun kerja di kearsipan?”

     “Hampir lima belas tahun. Ya… sebagai pegawai negeri, aku pun tetap seperti saat kuliah dahulu sering kesulitan keuangan. Tapi disyukui saja, yang penting sehat wal afiat terus, heheheheh.”

      “Apa kamu ya tetap jujur dan hidup lurus seperti dulu. Saat teman kita bikin acara seminar dahulu, kamu selalu menolak hasil keuntungan yang kita dapatkan?”

      “Hidup itu tak perlu terlalu bernafsu, kita cukupkan dengan apa yang ada, pasti tercukupi,”

     “Hahahaha, kamu ini, Dar, masih lugu seperti yang dulu. Sekali-sekali hidup itu dianggap seperti perjalanan lah, harus ada belokan-belokannya biar asyik,”

     Tak lama obrolan itu berlangsung, Johan mengajak Darman ke luar menuju mobilnya. Johan membukakan pintu Toyota Alphard keluaran terbaru yang ia bawa. Plat nomornya tidak merah tapi hitam, menandakan mobil itu adalah mobil pribadi, bukan mobil dinas.

     “Mobil ini kuperoleh dengan uang penghasilanku selam setahun menjadi anggota dewan, Dar. Gajiku sebagai anggota dewan memang tak seberapa, tapi kamu tahulah sendiri,” Johan menjelaskan perihal asal usul mobil yang ia kendarai itu kepada mantan teman sekosnya itu. Darman mendengarkan sambil tersenyum kecil.

     Johan melanjutkan ceritanya, “Kamu tahu, Dar, ternyata menjadi anggota dewan itu bisa membuat kita banyak relasi. Terutama pengusaha-pengusaha kaya yang punya usaha di daerahku. Mereka acapkali datang ke rumah atau kalau pas libur sering mengajak aku ngopi ke restoran-restoran mahal.”

     “Terus, apa dengan ngopi-ngopi dan sering ketemu kamu lantas dapat mobil mewah ini, begitu?” Darman dengan lugunya menginterupsi cerita Johan.

     Di sebuah kafe di pinggiran kota, mobil itu berhenti. Kedua pria itu masing-masing turun dan menuju ke sudut ruangan yang mejanya kebetulan kosong. Seorang pramusaji mendatangi untuk menawarkan menu yang ada. Keduanya melanjutkan obrolannya.

     “Aku bersyukur bisa bekerja di tempat yang aku sukai dan juga di bidang yang aku sukai yaitu dokumentasi,” Darman membuka obrolan kembali. “Kerja di bidang yang kita sukai adalah anugerah tiada tara meski kita tak dapat materi,” lanjutnya.

     “Hidup itu butuh uang, kita tak bisa memungkirinya dan aku telah menemukan duniaku, dunia yang akan mendekatkan aku pada uang.”

      “Uang bukan segalanya, Jo.”

     “Kamu ini, Dar, masih saja seperti dulu, sudah ayo kita makan dulu,” Johan menghentikan obrolannya saat pramusaji datang mengantarkan pesanan mereka.

     “Ya, lakukanlah semua yang kau suka, tapi ingatlah hidup ini harus hati-hati jangan terlalu tergoda materi,” Darman menggumam kecil karena ia tahu temannya itu paling tidak suka dinasehati. Ia tak ingin reuninya ini jadi berantakan hanya karena soal membahas asal usul materi yang ia miliki. Dan Darman memahami itu, bahwa membahas kekayaan orang lain itu tabu dan membikin penyakit hati masuk ke dalam tubuh.

     Darman makan sambil ogah-ogahan. Ia teringat anak istrinya di rumah yang hanya makan dengan lauk tahu dan tempe agar gajinya mencukupi kebutuhan hidupnya sehari-hari. Di kafe itu ia melamunkan kemudahan apa yang diterima oleh Johan dari teman teman pengusahanya. Sementara Johan menikmati sajian dengan lahapnya, Darman meneteskan airmata entah untuk untuk Johan atau keluarganya.


TAGS :

Agus Buchori

Penulis lahir di desa nelayan, Paciran, di pesisir utara Kabupaten Lamongan. Sehari-harinya menjadi Arsiparis di Dinas Kearsipan Daerah Kabupaten Lamongan serta mengajar Bahasa Jawa di SMAM 6 dan MTsM 02 Pondok pesantren Karangasem Paciran Lamongan.

Saat ini   aktif di komunitas Literacy Institute yang bergerak dalam pengembangan literasi di lamongan. Bersama teman temanya di sana melakukan penerbitan buku baik sastra maupun budaya untuk menggiatkan kegiatan tulis menulis di Lamongan.

Puisinya tersebar di Bali Post, Radar Bojonegoro (jawa Pos grup), Balai Bahasa Jawa timur dan di qureta.com, Baru baru ini bersama komunitasnya menerbitkan antologi cerpen Bocah luar Pagar , Hikayat daun Jatuh, dan antologi puisi Ini Hari sebuah Mesjid Tumbuh di Kepala.   Bisa di hubungi di [email protected].

Komentar