Sajak-sajak I Wayan Esa Bhaskara

  • By I Wayan Esa Bhaskara
  • 03 Januari 2020
Foto: Tut Sugi

Mencintaimu sebagai Selamat

 

siang menggantung

Tuhan menciptamu jadi udara sejuk

bagi jiwa-jiwa merindu peluk

 

tubuh di matamu

lahirkan cemas

detak liar

rasa purba

dan takut yang melelahkan

 

doa di hatimu

tak lagi cukup

suaramu patah

suaraku pasrah

aku pun pergi

lompati waktu

 

(2018)

 

 

Tualang Kata

 

kulepas kantuk, kutaruh mimpi kembali di kepala

kulepas bayang orang-orang kalah

 

di utara kulanjut tualang kata

sehampar hutan memanjang

 

pada kayuh pertama dan kayuh kedua buka terang

kayuh selanjutnya usap kabut di ekor mata

 

di sela mataku

kabut hitam kerap datang tiada dalang

kaburkan segala pandang

 

(2019)

 

 

Kidung Pantai

 

tampias ombak

lari kecil anak kecil

jadi sajak

 

kerlip lampu

aroma garam

jadi notasi

 

di kejauhan

keterasingan melebur

jadi rindu

 

(2019)

 

 

Kidung Pantai II

 

Pelan. Langkah nelayan menapaki mimpi anak istri,

bawa ikan secukupnya memilih asin laut sebagai arah.

 

Dari tahun-tahun jauh di semesta tubuh

gumamkan doa pada betara hyang.

 

semoga berbahagia, bebas derita dengki,

bawa pulang karma baik, semoga

 

Kemudian kidung ombak kala malam purnama,

dongeng-dongeng suci moyang

cukup tunaikan tiap kehendak. Gelisah anak-anakmu

dalam genggam, kuat kau jaga hingga pulang.

 

(2019)

 

 

Rumah Kopi

 

Hadiah terbaik ketika fajar

Adalah cinta menyala pada sebatang kayu yang tak ia kenal

 

Di tubuh apimu

Wangi biji kopi

adalah kekasih di antara pemuda mabuk terkekeh-kekeh?

 

Bila malam kau mulai

bercerita tentang hal-hal rahasia, kota tua,

boneka renta, terbiar di kepala

 

kekasih bagi kesendirian

diobati pendatang dari kampung seberang,

bawa mimpi membentang

 

seorang perempuan, lelaki paruh baya, bertukar duka

pada tubuh mereka: segelas kopi pembunuh kecemasan pada takut yang sama

seperti perantau malang, serupa tersesat pulang

 

siapa setuju di rumah kopi muara kata?

sibu-sibu di antara subuh, hingga subuh

 

di hadapan mereka: dua potong ubi dikunyah enyah

mari singgah, seduh sepi, temani pohon mangga penyendiri,

di antara orang-orang melantur, saat dedaun menembang sepotong lagu

 

(2019)

 

 

Amaluku

 

dalam puisi, kucatat upacara para peladang

saat malam menetas terang

 

pula-pali pada pematang

dan mulai berhitung:

kasa, jyesta, asadha

tampak tempias cahaya letih, sajen segala putih

kalima, kaenem, kapitu

tatap mata bening, sajen segala kuning

karo, katiga, kapat

cabut segala marah, sajen segala merah

kawulu, kasanga, kadasa

percaya semesta, segera akan redam, sajen segala hitam

harap restu hyang guru

 

(2019)

 

 

Sakenan

 

dari jalan sebuah syair:

aku datang diantar ombak,

disambut mekar angsana, senyum arca pandita

 

melangkah kaki

basuh pasir putih, buih letih

tarian asap dupa yang ringkih

sebentar-sebentar hilang lagi

 

jangan lupa sabda ikan makara

terucap sebagai doa tiap subuh

kala kita berteduh di bawah tanya,

“siapa siap kehilangan kepala?”

 

(2017 - 2018)

 

 

 Kabut Kintamani

 

bergulung nyanyian

derap gigil, doa tanak

menyibak perdu

lari kupu-kupu

 

berjuta tahun,

mengikat detak, meski luka

menyiram perih

anyir peluh, nyinyir keluh

renung penuh

 

air mata

jadi perbincangan musim

pergunjingan rahasia

pada celah waktu,

 

di tanganmu lewat begitu saja.

 

(2018-2019)

 

 

Haiku tentang September

 

1.

Jejak September

Mengendap seirama

Tarikan nafas

 

2.

Kini setelah

Abad-abad mendebar

Udara resah arah

 

3.

Gemuruh langkah

Aksara mengudara

Di senja arabika

 

4.

Musim mencatat

Sepoi bisik harapan

Sepotong hujan

 

5.

Segara Batur

Mencuri kata-kata

Ketika kabut tiba

 

(2018-2019)


TAGS :

I Wayan Esa Bhaskara

I Wayan Esa Bhaskara bergaul di Komunitas Mahima, Singaraja. Puisinya dimuat Bali Post, Tribun Bali, Denpost, Pos Bali, tatkala.co, Wartam, dan Jurnal Suara Saking Bali. Puisinya juga termuat dalam beberapa antolgi bersama, antara lain Saron (2018) dan Sang Guru (2019). Menanam Puisi di Emperan Matamu (2018) adalah buku puisi pertamanya.

Komentar