Puisi-puisi Arnata Pakangraras

  • By Arnata Pakangraras
  • 31 Desember 2019
Foto: Tut Sugi

Antara Mendung dan Gerimis

Saling Memburu di Matamu

 

Seperti pikiranku

 

Kamar ini ruang sempit

Dari halaman yang terlanjur kita sekat

Tempat menumpuk setiap sisa

Pertengkaran tak selesai

 

Tapi api rindu menyulut siluetmu, selalu

Menjadi biru

 

Mengingatmu bukan sebuah rencana

Apalagi embun hanya jatuh dini hari

Melenting dari pucuk bambu

Lesap ke sepi tanah

 

Aku menjauh

Menjemput angin perbatasan

Ke arah timur, mungkin

Sebentar lagi api padam dan abu rindu

Menebal di hati

Menebal di jantung

Menebal di kening puisi

 

Kau tetap seseorang

Penimang perih tak terbagi

Bersembunyi pada dinding batu

Atau rongga kayu jendela rumahmu.

 

2018

 

 

Mengingatmu

 

(Waktukah yang menyepuh warna perak

Pada setiap helai rambutmu?)

 

1/

Jalan ini menanjak

Pada tikungan terakhir kabut tebal

Mengapung rendah

Sebuah danau samar menggigil

 

Di rindang hutan basah Bedugul

Angin dan sunyi berbagi ruang

Tanah dan dingin berpelukan

 

Malam turun tepat waktu

 

Kayu-kayu kita susun silang, menyala

Sebagai api unggun

"Apakah api hanya bisa membakar?" tanyamu

"Apakah hanya api yang membakar?" jawabku

"Apakah sisa pembakaran selalu abu?" tanyamu

"Apakah kenangan itu abu?" jawabku

 

2/

Meniti garis lengkung pantai Lovina

Ombak menghapus jejakmu

Bukan wajahmu

 

Jukung pemburu dolphin dini hari

Oleng membawamu ke tengah

Jauh ke tengah

 

Apa yang mungkin kubincang dengan laut

Ia tak paham bahasa kalbu

 

Apa yang mungkin kubisikkan kepada pasir

Ia tak mengerti isyarat luka

 

Apa yang mungkin kutawar dari waktu

Ia tak mendengar panggilan

 

2018

 

 

Rindu Ya Rindu

 

Getah kesumba           

mengendap di sudut saku baju

melekat pada benang-benangnya

begitulah rindu

 

Susu panas

kutuang ke dalam secangkir espresso

sebagai barista, kulukis wajahmu di permukaan

sore terus merambat

bertemulah bibir kita

teguk demi teguk sehingga tandas

 

Matamu tak selalu bening

 

Gerimis

pernah turun di kamar mungilmu

jejaknya kau sembunyikan sampai pagi

di balik bantal

 

Cahaya lampu lalu hilang dari puluhan kaca jendela

sengaja dimatikan

sementara dari jendelamu hanya laut

yang tak menyatukan tak memisahkan

maka jarak ke pintumu selalu menumbuhkan rindu

juga gelombang

 

Des.2017

 

 

Setelah Lilin Dipadamkan

              : gusti ayu

 

Kusebut saja bayang untuk segala hal

tentangmu

 

Pernah kuduga

waktu akan membenammu

sedalam luka

dari jendelamu, diam-diam

kau tafsir sunyi gerhana

sesunyi awan kapas

melayang

menyerah kepada angin

 

Suatu hari

kau mengendap-endap

di mataku

berkabar tentang pasir putih

elang laut pemburu tiang kapal

lalu kita bertepuk tangan

melihat matahari tenggelam, sendirian

 

Kau paham

lelah membuka menutup ratusan halaman

buku kusam

dan kita selalu keliru membuat kesimpulan

selalu

 

Sebelum malam sepenuhnya kabut, pergilah

ke timur agar bertemu matahari

muasal segala bayang

 

Setelah punggungmu lenyap di tikungan

akupun sampai ke alamat yang tak kau tahu

 

Feb 2019

 

 

Stasiun Gambir Suatu Hari

 

Di sinilah gelisah bertemu ruang

Berputar tak beraturan

Duduk dan berdiri dua hal saling memburu

 

Malam, baru saja terjaga

Bangku-bangku dingin

Anak-anak alam muram

Rebah

Okulele kusam dalam dekapan, lelah

Meminang asa

 

Kubayangkan busur raksasa menjadikan tubuhku

Anak panah

Menembus kaca jendela

Rumah mungilmu

Ada kali tua mengalir di belakangnya

Menghanyutkan setiap abu pertengkaran

 

Gadis, rinduku belum habis

Jejaknya masih basah di bibirmu

Kuncupkanlah layu mata dari perih

Lambaian peron

 

Bila bulan mekar sebagai purnama

Akan kupupuk kembang tidurmu

Dengan sajak

Kutitip pada setiap gerbong tiba.


TAGS :

Arnata Pakangraras

Lahir di Gianyar, 24 Februari 1967. Menulis puisi sejak remaja di Bali Post, Nusa Tenggara, Karya Bakti dan lain-lain. Antologi bersama : Saron: Kumpulan Puisi (Pustaka Ekspresi, 2018), Tutur Batur (Prasasti, 2019),  1000 Haiku Indonesia, NewHaiku Indonesia (Kosa Kata Kita, 2019). Sekarang tinggal di Jakarta.

Komentar