Tiga Puisi Ni Wayan Adnyani

  • By Ni Wayan Adnyani
  • 30 Desember 2019
Lukisan I Nyoman Suyasa

Lelaki di Atas Rumput

 

Lelaki itu tertidur di atas rumput

matanya kelam, mencari jejak bintang biru di atasnya

barangkali benaknya bermain

di antara masa kanak-kanak

yang ingin dia kembalikan

 

Lelaki itu bermimpi di atas rumput

tentang istana warna-warni yang tengah dibangunnya

barangkali tangannya gemas meremas takdir

yang sedikit bermain-main dengannya

 

Lelaki itu tersenyum dan menangis di atas rumput

hatinya bergelut memegang cinta

yang bertandang riang di matanya

barangkali dia lupa,

matahari sedang ingin menggodanya

 

(Sibetan, April 2019)

 

 

Tembang Pemuja Api di Tanah Timur

 

(1)

Di bulan kesembilan,

Wajah-wajah batu menggeliat gelisah

ada aroma panas berhembus di utara

burung-burung sedikit murung

dedaunan melayu gugur tanpa ikhlas

udara dan kabut menjalin cerita muram

di lembah-lembah yang lengang

 

Saat penghujung bulan,

cerita berlomba menggiring kaki-kaki tua menuju selatan

meninggalkan batu-batu tempatnya memuja

kisah para api yang semula menjadi cerita

dipaksa tiba-tiba menjadi nyata

pemujaan itu belum selesai tuan!

dan kami pergi menjauh

 

(2)

Bulan kesepuluh berlalu sempurna

dari selatan kunantikan cerita dari timur dan utara

wajah batu bergeming,

setia dengan aroma panas, kabut dan udara warna warni

mengarang cerita, memabukkan kerinduan kampung batu,

pemuja api, istana pasir dan kerontang di tanah timur

kaki-kaki tua melangkah kembali pulang,

biarlah pemujaan itu kembali dekat wajahMu

api itu hidup di darahku, kupuja dan kuberikan sesaji wangi

entah Engkau akan membakar atau menjiwai tanah ini,

Apakah tuan ingin peduli?

 

(3)

Tiba di akhir bulan kesebelas,

pemuja api khusuk menikmati aroma lembah,

kampung dan  halaman berpasir yang memanggil pulang

akhirnya wajah batu menangis tersedu,

mengirim air kelabu, udara abu-abu dan api yang memerah pelan

aku yakin pemujaan ini tidak sia-sia

Kau akan tersenyum memetik sesaji dan doa-doa

sesekali menggoda dengan aroma panas dan sedikit gelisah

dan pemuja apimu

mencintai wajah batumu dengan sempurna

 

(Erupsi GA, Sept-Nov 2017)

 

 

Matahari Tenggelam di Danau Batur

 

Matahariku, di tepi air ini aku menyuratkan cinta

Berikan ruang yang terang, waktu yang luas,

tempat aura putih kita bersemayam panjang

dalam doa-doa biru tempat kita menitipkan cinta

 

Senja ini, engkau kupanggil kembali matahari

Saat hujan mulai menaburkan kabut di sela-sela ilalang yang kita lewati

Hari-hari sudah menunggu begitu  lama,

 jangan engkau tenggelamkan pagi yang selalu kurindukan

 

Matahariku, dinginnya air tawar ini menggodaku sempurna

Aku enggan menyandingkan malam tak berbulan di wajahmu,

Nanti matamu tenggelam dalam pekatnya danau

yang mengheningkan cinta di jemarimu

Ingatkah engkau kita pernah menghitung pelarian dari

musim-musim kelam di masa silam

Lalu kita sepakati cerita di sudut ruang yang sedikit temaram

Engkau kupeluk lagi matahari,

Mari tenggelam bersama di sini,

tempatmu ada di sini

meski rasanya tawar,

danau ini berwarna biru dan putih yang abadi

 

(Batur, Juni 2017)


TAGS :

Ni Wayan Adnyani

Guru Fisika yang bertugas  di SMAN 1 Bebandem sejak tahun 2003  yang menggemari sastra, alumnus Pasca Sarjana Undiksha Singaraja, menekuni kegiatan menulis puisi sejak bangku SMP . Sempat vakum lama dalam mempublikasikan tulisannya, kini aktif sebagai Pembina kegiatan nyastra dalam event PKB, Utsawa dan Porseni  

Komentar