Puisi-puisi Ida Ayu Wayan Sugiantari

  • By Ida Ayu Wayan Sugiantari
  • 26 Desember 2019
Koleksi Pribadi.

Senja Teduh dan Tiga Belas Catatan di Papan Tulis

 

 Seperti pagi, teduh jatuh di ruang kelas

Abu-abu di ubin menjadi rona pipi

Nadir,

Bocah-bocah mengejar angin

 

Di tubuhku tiga belas penari menabuh gemuruh

Seorang memantik api

Seorang meredam arah cahaya

Dua senja melukis gerimis

Sepasang manyar meniup gelombang

Tujuh membaca warna langit

 

Di bangku panjang

Anak-anak tertidur tanpa mimpi

Di papan tulis,

Ibu guru menggambar dua gunung,

jalan setapak, satu matahari, dua ekor burung

awan bulat, dan rumah tua di tengah sawah

 

Di Senin pagi

Senja menjelma tubuh hujan,

            hujan menyimpan petasan

            pulas,

            bocah-bocah memainkan genangan air di kepala

           

Dunia berlari sekencang musafir

Layar turun menutup lakon satir

Di tubuhku, tiga belas pemain opera kehilangan panggung

Di tubuhku, penari jalang melepas burung-burung

 

Teduh jatuh di halaman

tiga belas cahaya memendar

Di bangku panjang puluhan mata berbinar

Di dadanya bara membakar nanar

Bocah-bocah  menyulut belasan kembang api

Ah, langit penuh biru

 Di papan tulis, ibu guru menggaris pelangi

                        

November 2019          

untuk para penyemai akar rumput

            

 

Hujan Hilang di Halaman

 

Hujan hilang di halaman

Bulan kelam memburu rindu

Lelaki tua kehilangan sajak

Akar sunyi kembali menyanyikan satire

 

Ini pertengahan musim

Cuaca melemah,

Setengah malam jatuh di pangkuanmu

Sebagian menyusu di tubuhku

 

Hujan hilang di halaman

Rinai mengeras di tanah

Kita hanya punya sisa hujan deras di kepala

Simpan!

Kemarau panjang membakar rumput hingga matamu

           

Hilang arah,

Angin membawaku ke tenggara

Di sini aku menjadi pohon jati

Memintal hujan, menisik angin

 

Mencatat Kemarau, 2019

 

 

Sepotong Puisi dan Thermodinamika

 

Bagaimana bisa tiba-tiba engkau membaca puisi

Kemarin dan hari sebelumnya engkau bahkan menginjak potongan larik di tanah

 

Bagaimana bisa tiba-tiba engkau meminta sepotong sajak

Entah angin sedang salah arah, rumus-rumus rumit menjelma akar rumput

 

Bulan mungkin sedang mempermainkan cahaya di atas kepalamu,

Ini romansa, cukup satu bait

 

Kamu punya tiga potong rindu?

Seduh kopi hitammu, nikmati rindu dengan caramu!

 

Hari mulai dingin kekasih

Penghujan menyamarkan batas musim bulan ini

Aku menemukan dua lelaki di tubuhmu

seorang melepas sauh

seorang menahan ombak

 

Aku menanam tiga potong puisi

            di kebun belakang rumahmu

tak pandai menakar cuaca

satu puisiku mati di dua hari pertama

 

Di akhir musim,

puisiku tumbuh diam-diam di tubuhmu

           

Karangasem, Agustus 2019

 

 

Perempuan Terperangkap di Bangkai Pesawat Kertas

 

Bagaimana bisa bangkai pesawat dari kertas origami berwarna abu-abu

menahan perempuan berhari-hari?


Perempuan itu masih saja tinggal

menikmati sisa langit

dengan segelas teh tawar tanpa gula. 


Kali ini ia tak sedang menulis sajak,

hanya bernyanyi kecil,

suaranya menidurkan rumput liar di halaman

ia tengah menenangkan hati.

Seorang perempuan dan bangkai pesawat kertas abu-abu

di tanah berumput kering

ditampar lirih udara berkali-kali. .

Langit memanggil
Warna biru memanggil

 

 Perempuan Tanpa Akar

 

Kamu membaca sajakku?

Atau hanya mau menyetubuhiku

Semakin hari tubuhku menua kehilangan cahaya,

tersisa hanya sepasang payudara meluruh ke tanah

 

Tubuhku kini potongan-potongan senja yang kehilangan jingga,

tersisa abu-abu di sepasang mata

 

Kamu punya waktu menghabiskan kata-kataku,

atau hanya melepas satu persatu pembungkus dan bajuku?

Di tubuhku kamu tidak akan menemukan penari jalang

Hanya perempuan tanpa akar, memungut sisa sepi kemarin malam

 

Perempuan tanpa akar dengan tubuh memar di ujung kaki hingga kepala

Dipakainya kebaya merah muda menggenapi warna

Catat ini bukan potongan kain biasa,

di kebayanya perempuan menyimpan rahasia!

Di rambutnya bunga, dua pucuk kamboja menyamarkan luka

 

Lalu siapa yang sesungguhnya mencuri akar?

Lelaki pelempar sauh atau sang peneduh ?

 

 

Perahu Kertas

 

Kepadanya aku menitip sebaris sajak akar dingin

Baca dengan caramu

Dengan sebatang rokok, segelas martini

Atau secangkir kopi hitam

 

Esok hari sentuhlah daun kamboja di pagi dingin

Jika beruntung ada udara mengembun membasahi sajakku

Lipat jadikan perahu kertas!

 

Ada kenduri di bawah matahari menanti

Perahu kertasku pulang dibawa ilalang

Ada roman picisan ikut terhanyut

Tidak malamku tidak malammu, tetap senyap merayap

 

 

Kamu Bisa Menyimpan Tubuhku di Kepalamu

 

Kamu bisa menyimpan  dua mata hingga sepuluh jari kakiku

Di lipatan otak kiri, atau kanan

Kamu bisa membungkus aroma tubuhku dengan daun pisang

Habiskan di sepanjang perjalanan pulang

 

Di musim ini, aku sedang menjadi secangkir kopi

Di musim lain aku menjadi tiga zatire

Tubuhku potongan senja

Tubuhku kaldera

 

Beberapa kali aku menjatuhkan Bulan Juni ke air danau

Di rumahku gunung diam menyimpan banyak amarah

Membakar setengah ladang kaki bukit

Tubuhku menjadi abu, tubuhku jelaga

 

Kamu bisa menyimpan tubuhku di kepalamu

Saat kabut memainkan anak rambut

Kita berhenti di bawah majegau

Jangan menggaruk kepalamu,

Habiskan aku di sekali tegukan!


TAGS :

Ida Ayu Wayan Sugiantari

Lahir di Karangasem pada 29 April 1983. Aktif menulis puisi sejak duduk di kelas 3 SMP. Puisinya sering dimuat Bali Post. Saat ini bekerja sebagai kepala sekolah di SDN 1 Selumbung.

Komentar